Pemuda Desak Segera Proklamasi, Bung Karno Tetap Pilih 17 Agustus

Salah seorang pemuda, entah siapa, mengejek Bung Karno,"Barangkali Bung Besar kita takut. Barangkali dia melihat hantu dalam gelap..."

oleh Liputan6 diperbarui 17 Agu 2013, 00:39 WIB
Jepang menyerah pada Sekutu, Selasa 14 Agustus 1945.  Sebelumnya, Hiroshima dan Nagasaki dihajar bom atom. Puluhan ribu orang meregang nyawa. Tak ada pilihan lain.

Sehari berselang, Rabu malam, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, kediaman Sukarno, berlangsung perdebatan keras antara sekelompok pemuda dengan tuan rumah mengenai kapan saat tepat menyatakan kemerdekaan setelah Jepang takluk.

Para pemuda mendesak agar sesegera mungkin. Bung Karno terlihat hati-hati. Suasana tegang. Banyak pemuda yang membawa senjata: pisau, golok, bahkan senapan.
 
Salah seorang pemuda, entah siapa, mengejek Bung Karno,"Barangkali Bung Besar kita takut. Barangkali dia melihat hantu dalam gelap. Barangkali juga dia menunggu-nunggu perintah dari Tenno Heika."

Seorang pemimpin pemuda, Wikana, mendekat. "Revolusi berada di tangan kami sekarang dan kami memerintah Bung. Kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu..." kata Wikana sebagaimana diceritakan dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

"Lalu apa?" kata Sukarno dengan suara keras. Ia bangkit dari kursi, amarahnya naik ke kepala. Ia melanjutkan, "Jangan aku diancam. Jangan aku diperintah. Engkau harus mengerjakan apa yang kuingini. Pantanganku untuk dipaksa menurut kemauanmu."

"Ini kudukku. Boleh potong...ayo! Boleh penggal kepalaku...tapi jangan kira aku bisa dipaksa untuk mengadakan pertumpahan darah yang sia-sia, hanya karena hendak menjalankan sesuatu menurut kemauanmu," teriak Bung Karno seperti dikisahkan kembali dalam otobiografi yang disusunnya bersama penulis AS, Cindy Adams, itu.

Suasana sontak senyap. Para pemuda dirundung perasaan campur-aduk: takut, marah, kaget, juga bingung. Tak ada yang buka suara.

Bung Karno kembali bicara. Kali ini, dengan tenang. "Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan seluruh pekerjaaan ini untuk dijalankan tanggal 17."

"Mengapa justru diambil tanggal 17? Mengapa tidak sekarang saja atau tanggal 16?" tanya Sukarni, salah seorang tokoh pemuda yang lain.

"Saya seorang yang percaya pada mistik....Angka 17 adalah angka keramat, 17 adalah angka suci....Al Quran diturunkan tanggal 17. Orang Islam sembahyang 17 rakaat dalam sehari. Mengapa Nabi memerintahkan 17 rakaat, mengapa tidak 10 atau 20 saja? Oleh karena kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia," ujar Bung Karno.

Ia melanjutkan, "Pada waktu saya mendengar berita penyerahan Jepang, saya berpikir bahwa kita harus segera memproklamirkan kemerdekaan. Kemudian saya menyadari, adalah Kemauan Tuhan bahwa peristiwa ini akan jatuh di hari-Nya yang keramat. Proklamasi akan diumumkan tanggal 17. Revolusi menyusul setelah itu."

Pertemuan selesai. Para pemuda meninggalkan rumah tersebut. Pada Kamis 16 Agustus dinihari, mereka kembali datang. Terjadilah "Peristiwa Rengasdengklok" yang masyhur itu. (Yus)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya