Pemicu Ambruknya IHSG dan Rupiah Versi Menkeu Chatib Basri

Menkeu memastikan kejatuhan indeks bursa saham tak hanya dialami Indonesia tapi juga India, Thailand, dan Malaysia.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 19 Agu 2013, 21:09 WIB
Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri langsung angkat bicara terkait anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga 255 poin atau di atas 5,58%. Kondisi terburuk yang dialami bursa saham domestik ini disebabkan kombinasi dari faktor eksternal dan internal.

Dari situasi global, Chatib menyatakan pelaku pasar khawatir dengan pertemuan bank sentral Amerika Serikat (FOMC) yang rencananya bakal digelar bulan depan.

"Rapat FOMC per September ini akan melakukan langkah pertama dari rencana scale back Quantitative Easing (QE). Jadi kalau itu dilakukan bisa diperkirakan bahwa modal itu akan pergi ke AS sehingga bisa dilihat bahwa stock market jatuh di banyak negara," ungkap dia saat ditemui di kantornya, Jakarta, Senin (19/8/2013).

Bursa saham Indonesia, kata Chatib, merosot sekitar 5%, sedangkan Thailand sekitar 2,5%. Penurunan juga terjadi di bursa saham India dan Malaysia. Tak hanya IHSg, faktor eksternal juga telah mengakibatkan pelemahan terhadap nilai tukar mata uang beberapa negara, termasuk Indonesia, India dan Taiwan.

"Faktor eksternal lain berkaitan dengan persepsi dari kekuatiran pasar mengenai Merril Lynch yang ingin ditutup oleh bank AS. Itu yang menimbulkan kekhawatiran," tuturnya.

Faktor tersebut, sambung Chatib, lebih banyak mendorong ambruknya bursa saham dan nilai tukar mata uang terhadap dolar AS. "Ini pasti ada eksternalnya, kalau tidak ya pasti cuma Indonesia yang kena. Tapi dalam kasus Indonesia, depresiasi jatuhnya lebih rendah dari India dan Thailand," papar dia.

Dari dalam negeri, Chatib menjelaskan kejatuhan IHSG dan kurs rupiah terjadi akibat masih tingginya defisit transaksi berjalan (current account) di kuartal II akibat tingginya impor. Hal ini terjadi akibat ekspor Indonesia mengalami penurunan lantaran gejolak harga komoditas yang masih rendah.

"Tapi tidak perlu khawatir, karena memang defisit di kuartal II masih tinggi karena harga BBM baru dinaikkan pada 22 Juni lalu. Jadi belum bisa cover adjusment yang terjadi," terang dia. (Fik/Shd)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya