Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berimbas pada industri tahu dan tempe di sejumlah daerah. Para petani tahu tempe pun harus menaikkan harga atau memperkecil ukuran. Sementara Bank Indonesia menilai melemahnya rupiah masih wajar.
Industri tahu tempe milik Bukhori, warga Ngoto Sewon, Bantul, Yogyakarta, terkena imbas langsung dari melemajnya nilai tukar rupiah terhadap dolar. Pasalnya, tempe yang diproduksinya menggunakan kedelai impor yang harganya mencapai Rp 9.500 per kilogram (kg).
"Harganya jadi naik, misalnya harganya Rp 2.000 jadi Rp 2.500," ungkap Bukhori seperti dikutip dari Tayangan Liputan6 Petang SCTV, Sabtu (24/8/2013).
"Masih berat untuk saya. Oleh karena itu harus ada tambahan paket kebijakan baru, bahwa bagaimana restrukturisasi utang. Itu (restrukturisasi) mungkin tidak paket, tapi dipanggil saja pengusahanya. Kalau dibikin paket, nanti semua pengusaha minta restrukturisasi bahaya juga," ungkap pengamat ekonomi Aviliani. (Ndw)
Industri tahu tempe milik Bukhori, warga Ngoto Sewon, Bantul, Yogyakarta, terkena imbas langsung dari melemajnya nilai tukar rupiah terhadap dolar. Pasalnya, tempe yang diproduksinya menggunakan kedelai impor yang harganya mencapai Rp 9.500 per kilogram (kg).
"Harganya jadi naik, misalnya harganya Rp 2.000 jadi Rp 2.500," ungkap Bukhori seperti dikutip dari Tayangan Liputan6 Petang SCTV, Sabtu (24/8/2013).
Meski nilai tukar rupiah sempat menembus 11.000 per AS, namun Direktur Eksekutif Perencanaan Strategis Humas Bank Indonesia Difi Johansyah menilai kondisi ini masih wajar.
"Rupiah melemah menguat itu hal biasa. Nilai tukar kita inikan mengambang bebas, ada saatnya menguat ada saatnya melemah. Bahkan di beberapa negara kalau mata uang melemah itu malah jadi suatu manfaat karena ekspor meningkat. Kita harus terbiasa dengan kondisi itu. Tapi kalau rupiah melemah terus disebut kita mendekati krisis, ya itu tidak," terang Difi.
"Masih berat untuk saya. Oleh karena itu harus ada tambahan paket kebijakan baru, bahwa bagaimana restrukturisasi utang. Itu (restrukturisasi) mungkin tidak paket, tapi dipanggil saja pengusahanya. Kalau dibikin paket, nanti semua pengusaha minta restrukturisasi bahaya juga," ungkap pengamat ekonomi Aviliani. (Ndw)