Wood Mackenzie, perusahaan konsultansi dan riset pertambangan dan energi internasional, China diprediksi menjadi importir minyak terbesar di dunia pada 2017. Hal ini seiring dengan meningkatnya konsumsi minyak di negeri tirai bambu tersebut.
Sementara itu, Amerika Serikat yang saat ini tercatat sebagai importir minyak terbesar, telah memproduksi lebih banyak energi untuk kebutuhan nasionalnya dibandingkan yang diperolehnya dari impor.
Seperti dilansir dari CNBC, Senin (26/8/2013), laporan dari Wood Mackenzie tersebut juga menekankan adanya kebutuhan energi besar-besaran di China karena para penduduk kelas menengahnya mulai beralih pada mobil pribadi. Sayangnya, harga impor minyak ke China akan meningkat hingga US$ 500 miliar pada 2020 mendatang.
Menurut data dari Energy Information and Administration (EIA), meski saat ini China berada di peringkat ke-4 sebagai produsen minyak mentah dunia, kehausan China akan energi masih sulit dipenuhi.
"China merupakan importir minyak besar," ujar ahli strategi komoditas di Roubini Global Economics yang berbasis di London, Gary Clark. Hal ini membuatnya harus mencari sumber minyak di luar negeri guna menutupi kebutuhannya tersebut.
Menurut data Wood Mackenzie, China menjadi lebih bergantung pada volume minyak yang diproduksi OPEC. Jumlah impor minyak China pada 2004 senilai US$ 20 miliar meningkat hingga sekitar US$ 190 miliar pada 2008.
Mengingat AS memproduksi minyak dan gasnya sendiri, impor minyak AS berkurang hinga 4 juta barel per hari. Sebaliknya, impor China meningkat dari satu juga barel per hari menjadi 3 juta barel pada 2012.
AS memproduksi lebih banyak energi dengan mengurangi kebutuhan minyak di dalam negerinya. Langkah tersebut tetap akan dilakukan meski pasokan minyaknya masih belum diproduksi secara mandiri menyeluruh.
"Memang, AS tak akan pernah bisa memenuhi seluruh kebutuhan energinya secara mandiri, terlepas dari hambatan hukum di negaranya. AS juga mungkin akan sulit untuk menjadi eksportir minyak besar di dunia. Meski demikian, jumlah impor minyaknya akan terus merosot," papar Capital Economics dalam laporan tertulisnya.
Sementara itu, kisah impor China memiliki dampak luas bagi ekonomi domestiknya yang mengarah pada sejumlah realitas ekonominya. Negara dengan ekonomi terbesar kedua dunia ini sangat rentan terhadap inflasi. Hingga saat ini China masih menikmati salah satu surplus perdagangan terbesar di dunia.
Dengan mengimpor lebih banyak energi, China bisa sangat rentah terhadap fluktuasi harga minyak. Hal tersebut juga bisa mengikis neraca perdagangan China yang sempat anjlok 29,6% pada Juli dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya. Negara-negara lain menganggap pertumbuhan ekonomi tak stabil ditambah investasi asing yang melambat.
"Kami memprediksi investasi asing akan menyeimbangkan konsumsi minyak China," ujar Clark. Dari waktu ke waktu, permintaan minyak China terus menguat dan akan mengurani surplus perdagangan China. (Sis/Ndw)
Sementara itu, Amerika Serikat yang saat ini tercatat sebagai importir minyak terbesar, telah memproduksi lebih banyak energi untuk kebutuhan nasionalnya dibandingkan yang diperolehnya dari impor.
Seperti dilansir dari CNBC, Senin (26/8/2013), laporan dari Wood Mackenzie tersebut juga menekankan adanya kebutuhan energi besar-besaran di China karena para penduduk kelas menengahnya mulai beralih pada mobil pribadi. Sayangnya, harga impor minyak ke China akan meningkat hingga US$ 500 miliar pada 2020 mendatang.
Menurut data dari Energy Information and Administration (EIA), meski saat ini China berada di peringkat ke-4 sebagai produsen minyak mentah dunia, kehausan China akan energi masih sulit dipenuhi.
"China merupakan importir minyak besar," ujar ahli strategi komoditas di Roubini Global Economics yang berbasis di London, Gary Clark. Hal ini membuatnya harus mencari sumber minyak di luar negeri guna menutupi kebutuhannya tersebut.
Menurut data Wood Mackenzie, China menjadi lebih bergantung pada volume minyak yang diproduksi OPEC. Jumlah impor minyak China pada 2004 senilai US$ 20 miliar meningkat hingga sekitar US$ 190 miliar pada 2008.
Mengingat AS memproduksi minyak dan gasnya sendiri, impor minyak AS berkurang hinga 4 juta barel per hari. Sebaliknya, impor China meningkat dari satu juga barel per hari menjadi 3 juta barel pada 2012.
AS memproduksi lebih banyak energi dengan mengurangi kebutuhan minyak di dalam negerinya. Langkah tersebut tetap akan dilakukan meski pasokan minyaknya masih belum diproduksi secara mandiri menyeluruh.
"Memang, AS tak akan pernah bisa memenuhi seluruh kebutuhan energinya secara mandiri, terlepas dari hambatan hukum di negaranya. AS juga mungkin akan sulit untuk menjadi eksportir minyak besar di dunia. Meski demikian, jumlah impor minyaknya akan terus merosot," papar Capital Economics dalam laporan tertulisnya.
Sementara itu, kisah impor China memiliki dampak luas bagi ekonomi domestiknya yang mengarah pada sejumlah realitas ekonominya. Negara dengan ekonomi terbesar kedua dunia ini sangat rentan terhadap inflasi. Hingga saat ini China masih menikmati salah satu surplus perdagangan terbesar di dunia.
Dengan mengimpor lebih banyak energi, China bisa sangat rentah terhadap fluktuasi harga minyak. Hal tersebut juga bisa mengikis neraca perdagangan China yang sempat anjlok 29,6% pada Juli dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya. Negara-negara lain menganggap pertumbuhan ekonomi tak stabil ditambah investasi asing yang melambat.
"Kami memprediksi investasi asing akan menyeimbangkan konsumsi minyak China," ujar Clark. Dari waktu ke waktu, permintaan minyak China terus menguat dan akan mengurani surplus perdagangan China. (Sis/Ndw)