Citizen6, Jakarta: Mengutip pernyataan sejumlah pejabat senior AS, NBC News melaporkan bahwa militer Amerika Serikat siap melancarkan serangan ke Suriah jika Presiden Barack Obama memerintahkannya. Bahkan AS telah berencana melancarkan serangan rudal terhadap Suriah secepatnya pada 29 Agustus 2013 sampai 1 September 2013 dengan menggunakan rudal Tomahawk.
Serangan itu untuk menghukum rezim Suriah atas dugaan penggunaan senjata kimia. Serangan itu akan dibatasi jangkauannya dan lebih dimaksudkan untuk "mengirimkan pesan kepada Presiden Suriah Bashar al-Assad daripada menghancurkan kemampuan militernya." Pertanyaan besarnya adalah beranikah Amerika Serikat menyerang Suriah?. Mengupas pertanyaan “berani” ini akan ditelusuri berdasarakan teori T= I.C.C (Threats = Intentions.Circuumstances.Capability)
Menurut Llyota and Lloyd, threats atau ancaman dapat terjadi jika ada intention (niat) didukung oleh circumstances (situasi dan kondisi yang mendukung) serta diperkuat dengan capability (kemampuan) untuk mewujudkan serangan tersebut.
Dari segi threats, Amerika Serikat telah memandang apa yang terjadi di Suriah juga menjadi ancaman terhadap kepentingan nasionalnya, karena jatuhnya suatu negara akan membuat banyak senjata diperoleh oleh Al Qaida. Menurut Wakil komandan Central Intelligence Agency (CIA) Michael Morell kepada surat kabar Wall Street Journal, saat ini ada lebih banyak petempur asing yang datang ke Suriah setiap bulannya untuk mengangkat senjata bersama kelompok-kelompok yang tergabung dengan Al Qaida daripada mereka yang berangkat ke Irak untuk bertempur bersama Al Qaida. Persenjataan pemerintahan Suriah "akan bisa diperoleh oleh siapa saja dan bisa dibeli oleh siapa saja" seperti yang terjadi di Libya ketika Moamer Kadhafi jatuh dari kekuasaan. Kekerasan di Suriah berpotensi merembet melintasi batas ke Lebanon, Yordania dan Irak.
Menyusul eskalasi ancaman Amerika Serikat dan peningkatan kemungkinan serangan militer ke Suriah, muncul berbagai skenario dalam hal ini dan terkait reaksi balasan pemerintah Suriah.
Tasnimnews pada 27 Agustus 2013 seperti dikutip dalam the global-review.com melaporkan, terdapat berbagai indikasi bahwa Amerika Serikat mulai mempertimbangkan secara serius rencana serangannya ke Suriah dan tampaknya masalah ini juga telah disadari oleh pihak Suriah sendiri begitu juga Rusia, Cina dan Republik Islam Iran. Akan tetapi tentang apakah ancaman serangan ke Suriah itu benar-benar serius atau tidak, masih ada dua kemungkinan. Pertama bahwa kubu pro-Suriah hanya menilai ancaman-ancaman tersebut untuk konsumsi media dan publik. Kemungkinan kedua, kubu pro-Suriah mengetahui bahwa ancaman tersebut serius dan oleh karena itu mereka sedang mempersiapkan diri.
Jika kemungkinan kedua itu terjadi, maka akan ada dua skenario. Skenario pertama, kubu pro-Suriah benar-benar siap dan bahkan menantang Amerika Serikat dan sekutunya untuk berperang. Perang seperti ini menyimpan banyak kejutan bagi kubu musuh Suriah dan akan menjadi paku terakhir yang akan mengunci peti mati imperium Amerika Serikat. Dengan kata lain, perang tersebut memang sengaja dijadikan "lumpur maut" bagi Amerika Serikat oleh kubu pro-Suriah.
Skenario kedua, kubu pro-Suriah tidak memiliki kemampuan maupun persiapan menghadapi serangan Amerika Serikat dan sekutunya. Jika skenario ini terjadi, dapat dipastikan Suriah harus memberikan insentif kepada kubu lawan agar terhindar dari serangan dan dampaknya.
Dari sudut intention atau niat, AS dalam rangka mempersiapkan serangannya maka sejak 26 Agustus 2013 sudah menempatkan empat kapal perang AS telah ditempatkan di wilayah Mediterania. Kapal-kapal tersebut dilengkapi dengan rudal-rudal penjelajah yang bisa menjangkau wilayah Suriah. Sejumlah kapal selam bertenaga nuklir yang dilengkapi rudal-rudal juga telah ditempatkan di perairan dekat Suriah.
Sedangkan circumstances yang mendorong AS kemungkinan menyerang Suriah adalah penggunaan senjata kimia dalam perang Suriah yang dituding AS digunakan oleh kelompok teroris, bahkan mobil PBB yang akan meneliti benar tidaknya digunakan senjata kimia di Suriah juga dilaporkan telah diserang kelompok bersenjata tak dikenal.
Setidaknya, ada tiga jenis senjata kimia dalam konflik Suriah yaitu : pertama, Sarin. Dikembangkan oleh Jerman pada PDII tapi tidak digunakan, Irak menggunakan sarin untuk melawan Iran, digunakan dalam serangan di stasiun kereta api bawah tanah di Tokyo pada 1995, sangat beracun, tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau. Dapat menguap dan menyebar melalui udara atau air. Batas mematikan sebesar 50 miligram dan paparannya antara lain terhirup, tertelan atau terserap kulit. Kedua, VX. Versi sarin yang telah disempurnakan. VX menyerang sistem pusat syaraf lalu menyebabkan kejang, menghentikan kerja paru paru dan jantung. Tidak berwarna dan tidak berasa, langsung berubah menjadi gas bila terpapar oksigen, dapat menyebar melalui udara atau air. Batas mematikan yaitu 70-100 miligram, paparan melalui terhirup, terserap di kulit pada suhu yang lebih tinggi. Ketiga, Tabun. Awalnya dikembangkan sebagai pestisida di Jerman pada 1936. Amat mungkin digunakan selama perang Iran-Irak pada 1980-an, tidak berwarna, tidak berasa, berbau seperti aroma buah-buahan, menguap bila dipanaskan. Batas mematikan sebesar 150 miligram dan paparan melalui terhirup, tertelan atau terserap di kulit. (Sumber : WHO, Center for Disease Control and Prevention, Global Security, 2013).
[foto: Toni Ervianto * dokumen pribadi)
Kekalahan AS di Vietnam Akan Terulang?
Presiden Suriah Bashar al-Assad pada Senin, 26 Agustus 2013, mengingatkan jika Amerika Serikat memilih opsi serangan militer ke Damaskus, Washington akan mengalami bencana seperti di Vietnam. "Kegagalan menunggu Amerika Serikat sebagaimana berbagai perang yang dilakoninya, berawal pada Perang Vietnam hingga peperangan berikutnya," kata Assad dalam sebuah wawancara dengan koran Rusia, Izvestia seperti dikutip Reuters.
"Suriah bukan target yang mudah. Kami punya pertahanan yang akan mengejutkan pihak lain," kata Menteri Luar Negeri Suriah Walid al-Muallem seperti dilansir News.com.au, Rabu (28/8/2013). "Kami punya dua opsi: apakah menyerah atau mempertahankan diri kami dengan cara-cara yang kami punya," tuturnya. "Pilihan kedua adalah yang terbaik: kami akan mempertahankan diri kami," imbuh Muallem. Dikatakan Muallem, serangan militer terhadap Suriah akan sejalan dengan kepentingan Israel dan para militan terkait Al-Qaeda (Front al Nusra) yang memerangi pemerintah Suriah.
Sebelumnya, pemerintah Rusia dan China telah mengingatkan untuk tidak melancarkan intervensi militer di Suriah. Moskow menegaskan, aksi militer akan mendatangkan konsekuensi parah bagi seluruh wilayah.
Iran menyakini AS tidak akan menyerang Suriah setelah “berinvestasi perang” secara mahal di Afganistan dan Irak. "Saya yakin bahwa pengalaman-pengalaman yang diperoleh AS dari invasi dan keberadaannya di Irak dan Afghanistan, akan mencegahnya melakukan kesalahan lain dengan terjebak dalam lumpur ketiga di wilayah ini," kata Menteri Pertahanan Iran, Brigjen Hossein Dehqan seperti dilansir Press TV, (28/8/2013).
Politikus Partai Republik yang pernah mencalonkan diri sebagai presiden, Newt Gingrich, dalam opininya di situs CNN menyebut konyol langkah AS jika masuk dalam konflik Suriah. Menurutnya, dengan masuk dalam konflik Suriah, AS hanya akan menghabiskan waktu, uang, dan nyawa serta tidak ada kemenangan yang akan digapai.
Jika AS menyerang Suriah, maka “sahabat-sahabat Suriah” seperti Rusia, Iran, Hizbullah Lebanon, Cina dan kemungkinan negara-negara yang tergabung dalam BRIC tidak akan tinggal diam. So, AS tidak akan berani menyerang Suriah !
Serge Brammerts (2012) mengatakan, kegagalan menghormati martabat manusia berdampak sangat serius di masa depan. Konflik kekerasan bersenjata merupakan lahan paling subur untuk menumbuhkan kejahatan yang terorganisasi. Pemerintahan pusat yang lemah dan masyarakat madani yang tercerai berai menjadi lahan subur bagi pertumbuhan kejahatan terorganisir. Situasi akan menjadi kronis apabila kejahatan yang terorganisasi memiliki jaringan mata rantai dengan institusi-institusi negara. Itulah yang terjadi di Suriah, dan semoga tidak terjadi di Indonesia. (Toni Ervianto/kw)
*) Toni Ervianto adalah alumnus Fisipol Universitas Jember dan alumnus pasca sarjana Kajian Stratejik Intelijen, Universitas Indonesia. Tinggal di Jakarta Timur.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas, Ramadan atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media, kuliner dan lainnya ke citizen6@liputan6.com
Serangan itu untuk menghukum rezim Suriah atas dugaan penggunaan senjata kimia. Serangan itu akan dibatasi jangkauannya dan lebih dimaksudkan untuk "mengirimkan pesan kepada Presiden Suriah Bashar al-Assad daripada menghancurkan kemampuan militernya." Pertanyaan besarnya adalah beranikah Amerika Serikat menyerang Suriah?. Mengupas pertanyaan “berani” ini akan ditelusuri berdasarakan teori T= I.C.C (Threats = Intentions.Circuumstances.Capability)
Menurut Llyota and Lloyd, threats atau ancaman dapat terjadi jika ada intention (niat) didukung oleh circumstances (situasi dan kondisi yang mendukung) serta diperkuat dengan capability (kemampuan) untuk mewujudkan serangan tersebut.
Dari segi threats, Amerika Serikat telah memandang apa yang terjadi di Suriah juga menjadi ancaman terhadap kepentingan nasionalnya, karena jatuhnya suatu negara akan membuat banyak senjata diperoleh oleh Al Qaida. Menurut Wakil komandan Central Intelligence Agency (CIA) Michael Morell kepada surat kabar Wall Street Journal, saat ini ada lebih banyak petempur asing yang datang ke Suriah setiap bulannya untuk mengangkat senjata bersama kelompok-kelompok yang tergabung dengan Al Qaida daripada mereka yang berangkat ke Irak untuk bertempur bersama Al Qaida. Persenjataan pemerintahan Suriah "akan bisa diperoleh oleh siapa saja dan bisa dibeli oleh siapa saja" seperti yang terjadi di Libya ketika Moamer Kadhafi jatuh dari kekuasaan. Kekerasan di Suriah berpotensi merembet melintasi batas ke Lebanon, Yordania dan Irak.
Menyusul eskalasi ancaman Amerika Serikat dan peningkatan kemungkinan serangan militer ke Suriah, muncul berbagai skenario dalam hal ini dan terkait reaksi balasan pemerintah Suriah.
Tasnimnews pada 27 Agustus 2013 seperti dikutip dalam the global-review.com melaporkan, terdapat berbagai indikasi bahwa Amerika Serikat mulai mempertimbangkan secara serius rencana serangannya ke Suriah dan tampaknya masalah ini juga telah disadari oleh pihak Suriah sendiri begitu juga Rusia, Cina dan Republik Islam Iran. Akan tetapi tentang apakah ancaman serangan ke Suriah itu benar-benar serius atau tidak, masih ada dua kemungkinan. Pertama bahwa kubu pro-Suriah hanya menilai ancaman-ancaman tersebut untuk konsumsi media dan publik. Kemungkinan kedua, kubu pro-Suriah mengetahui bahwa ancaman tersebut serius dan oleh karena itu mereka sedang mempersiapkan diri.
Jika kemungkinan kedua itu terjadi, maka akan ada dua skenario. Skenario pertama, kubu pro-Suriah benar-benar siap dan bahkan menantang Amerika Serikat dan sekutunya untuk berperang. Perang seperti ini menyimpan banyak kejutan bagi kubu musuh Suriah dan akan menjadi paku terakhir yang akan mengunci peti mati imperium Amerika Serikat. Dengan kata lain, perang tersebut memang sengaja dijadikan "lumpur maut" bagi Amerika Serikat oleh kubu pro-Suriah.
Skenario kedua, kubu pro-Suriah tidak memiliki kemampuan maupun persiapan menghadapi serangan Amerika Serikat dan sekutunya. Jika skenario ini terjadi, dapat dipastikan Suriah harus memberikan insentif kepada kubu lawan agar terhindar dari serangan dan dampaknya.
Dari sudut intention atau niat, AS dalam rangka mempersiapkan serangannya maka sejak 26 Agustus 2013 sudah menempatkan empat kapal perang AS telah ditempatkan di wilayah Mediterania. Kapal-kapal tersebut dilengkapi dengan rudal-rudal penjelajah yang bisa menjangkau wilayah Suriah. Sejumlah kapal selam bertenaga nuklir yang dilengkapi rudal-rudal juga telah ditempatkan di perairan dekat Suriah.
Sedangkan circumstances yang mendorong AS kemungkinan menyerang Suriah adalah penggunaan senjata kimia dalam perang Suriah yang dituding AS digunakan oleh kelompok teroris, bahkan mobil PBB yang akan meneliti benar tidaknya digunakan senjata kimia di Suriah juga dilaporkan telah diserang kelompok bersenjata tak dikenal.
Setidaknya, ada tiga jenis senjata kimia dalam konflik Suriah yaitu : pertama, Sarin. Dikembangkan oleh Jerman pada PDII tapi tidak digunakan, Irak menggunakan sarin untuk melawan Iran, digunakan dalam serangan di stasiun kereta api bawah tanah di Tokyo pada 1995, sangat beracun, tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau. Dapat menguap dan menyebar melalui udara atau air. Batas mematikan sebesar 50 miligram dan paparannya antara lain terhirup, tertelan atau terserap kulit. Kedua, VX. Versi sarin yang telah disempurnakan. VX menyerang sistem pusat syaraf lalu menyebabkan kejang, menghentikan kerja paru paru dan jantung. Tidak berwarna dan tidak berasa, langsung berubah menjadi gas bila terpapar oksigen, dapat menyebar melalui udara atau air. Batas mematikan yaitu 70-100 miligram, paparan melalui terhirup, terserap di kulit pada suhu yang lebih tinggi. Ketiga, Tabun. Awalnya dikembangkan sebagai pestisida di Jerman pada 1936. Amat mungkin digunakan selama perang Iran-Irak pada 1980-an, tidak berwarna, tidak berasa, berbau seperti aroma buah-buahan, menguap bila dipanaskan. Batas mematikan sebesar 150 miligram dan paparan melalui terhirup, tertelan atau terserap di kulit. (Sumber : WHO, Center for Disease Control and Prevention, Global Security, 2013).
[foto: Toni Ervianto * dokumen pribadi)
Kekalahan AS di Vietnam Akan Terulang?
Presiden Suriah Bashar al-Assad pada Senin, 26 Agustus 2013, mengingatkan jika Amerika Serikat memilih opsi serangan militer ke Damaskus, Washington akan mengalami bencana seperti di Vietnam. "Kegagalan menunggu Amerika Serikat sebagaimana berbagai perang yang dilakoninya, berawal pada Perang Vietnam hingga peperangan berikutnya," kata Assad dalam sebuah wawancara dengan koran Rusia, Izvestia seperti dikutip Reuters.
"Suriah bukan target yang mudah. Kami punya pertahanan yang akan mengejutkan pihak lain," kata Menteri Luar Negeri Suriah Walid al-Muallem seperti dilansir News.com.au, Rabu (28/8/2013). "Kami punya dua opsi: apakah menyerah atau mempertahankan diri kami dengan cara-cara yang kami punya," tuturnya. "Pilihan kedua adalah yang terbaik: kami akan mempertahankan diri kami," imbuh Muallem. Dikatakan Muallem, serangan militer terhadap Suriah akan sejalan dengan kepentingan Israel dan para militan terkait Al-Qaeda (Front al Nusra) yang memerangi pemerintah Suriah.
Sebelumnya, pemerintah Rusia dan China telah mengingatkan untuk tidak melancarkan intervensi militer di Suriah. Moskow menegaskan, aksi militer akan mendatangkan konsekuensi parah bagi seluruh wilayah.
Iran menyakini AS tidak akan menyerang Suriah setelah “berinvestasi perang” secara mahal di Afganistan dan Irak. "Saya yakin bahwa pengalaman-pengalaman yang diperoleh AS dari invasi dan keberadaannya di Irak dan Afghanistan, akan mencegahnya melakukan kesalahan lain dengan terjebak dalam lumpur ketiga di wilayah ini," kata Menteri Pertahanan Iran, Brigjen Hossein Dehqan seperti dilansir Press TV, (28/8/2013).
Politikus Partai Republik yang pernah mencalonkan diri sebagai presiden, Newt Gingrich, dalam opininya di situs CNN menyebut konyol langkah AS jika masuk dalam konflik Suriah. Menurutnya, dengan masuk dalam konflik Suriah, AS hanya akan menghabiskan waktu, uang, dan nyawa serta tidak ada kemenangan yang akan digapai.
Jika AS menyerang Suriah, maka “sahabat-sahabat Suriah” seperti Rusia, Iran, Hizbullah Lebanon, Cina dan kemungkinan negara-negara yang tergabung dalam BRIC tidak akan tinggal diam. So, AS tidak akan berani menyerang Suriah !
Serge Brammerts (2012) mengatakan, kegagalan menghormati martabat manusia berdampak sangat serius di masa depan. Konflik kekerasan bersenjata merupakan lahan paling subur untuk menumbuhkan kejahatan yang terorganisasi. Pemerintahan pusat yang lemah dan masyarakat madani yang tercerai berai menjadi lahan subur bagi pertumbuhan kejahatan terorganisir. Situasi akan menjadi kronis apabila kejahatan yang terorganisasi memiliki jaringan mata rantai dengan institusi-institusi negara. Itulah yang terjadi di Suriah, dan semoga tidak terjadi di Indonesia. (Toni Ervianto/kw)
*) Toni Ervianto adalah alumnus Fisipol Universitas Jember dan alumnus pasca sarjana Kajian Stratejik Intelijen, Universitas Indonesia. Tinggal di Jakarta Timur.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas, Ramadan atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media, kuliner dan lainnya ke citizen6@liputan6.com