Guru Besar UI: Wacana Pembubaran SKK Migas Tak Tepat

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai wacana pembentukan lembaga baru pengganti SKK Migas tidaklah tepat

oleh Nurseffi Dwi Wahyuni diperbarui 28 Agu 2013, 16:52 WIB
Guru Besar Ilmu Hukum dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai wacana pembentukan lembaga baru pengganti SKK Migas tidaklah tepat. Pasalnya, pembentukan lembaga baru tidak menjamin bisa bebas dari korupsi.

Pernyataan Hikmahanto ini merespons pendapat dari sejumlah kalangan yang menilai kasus suap Rudi terjadi karena SKK Migas tidak memiliki kewenangan untuk menjual migas hak pemerintah secara langsung.

"Sebenarnya hal tersebut tidak benar," terang Hikmahanto dalam keterangan tertulisnya, Selasa (28/8/2013).

Dia mencontohkan, saat Pertamina berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 1971 masih eksis dan Pertamina kala itu dapat menjual migas hak negara secara langsung, korupsi pun ditenggarai marak.

Begitupun, saat Bulog di zaman pemerintahan Soeharto yang merupakan Lembaga Pemerintah Non Departmen mirip dengan status SKK Migas saat ini, dapat melakukan jual beli langsung untuk kebutuhan pokok, korupsi pun diduga marak terjadi.

Hikmahanto berpendapat, keinginan untuk menghilangkan perbuatan korupsi tidak seharusnya berkutat pada bagaimana status dari suatu lembaga, ataupun kewenangan apa yang dimiliki oleh lembaga tersebut.

Upaya pemberantasan korupsi sepatutnya difokuskan pada manusia yang menduduki jabatan, kesejahteraan terperhatikan  governance berjalan dengan baik dan tata kelola industri transparan.

Adapun masalah kelembagaan hanya relevan dibicarakan dalam konteks sejauh mana tanggung jawab lembaga tersebut.

"Apakah tanggung jawab tersebut dapat diatribusikan atau ditarik ke negara atau tidak," tuturnya.

Hikmahanto menuturkan, kedudukan SKK Migas saat ini secara ketatanegaraan merupakan bagian dari pemerintah. Konsekuensinya secara kontraktual, cidera janji oleh SKK Migas dapat diatribusikan ke negara.

Atribusi tanggung jawab ke negara tidak bisa dilakukan bila negara mendirikan lembaga yang terpisah.  Contohnya adalah Pertamina berdasarkan UU 8/1971 atau BP Migas yang telah dibubarkan Mahkamah Konstitusi.

"Oleh karenanya wacana pembentukan lembaga baru pengganti BP Migas harus berada dalam koridor tersebut. Wacana tidak seharusnya dalam rangka pemberantasan korupsi, inefisiensi atau para pejabat yang kurang berpihak pada investor nasional, termasuk BUMN," ungkap Hikmahanto. (Ndw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya