Keputusan Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan BI Rate 50 basis poin (bsp) ke level 7% bak pedang bermata dua. Ada pihak yang dipastikan untung maupun rugi dari kebijakan ini.
Ekonom Universitas Indonesia, Nina Sapti menilai BI memang harus kembali menaikkan BI rate karena kondisi moneter yang sudah memburuk. Kendati, kebijakan ini memberikan dampak ganda.
"Kita butuh aliran inflow atau modal jangan banyak keluar dan membuat rupiah kembali kuat," kata dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jumat (30/8/2013).
Menurut dia, kenaikan BI rate memberikan keuntungan bagi mereka yang kembali masuk untuk berinvestasi di sektor keuangan, seperti deposito.
Suku bunga acuan BI yang lebih tinggi membuat resiko bagi mereka yang berinvestasi dalam rupiah lebih berkurang.
Sebelumnya, tutur dia, masih terdapat selisih yang besar antara BI rate dan tingkat inflasi. Sebelum naik, BI rate bertengger di 6,5% sementara inflasi mencapai 9%.
"Dengan ini investor yang mau masuk akan berhitung, inflasi tinggi daya tarik rendah. Nah, BI rate naik maka resiko berkurang bagi mereka yang investasi dalam rupiah," tutur dia.
Para investor inilah, menurut dia yang untung dari kebijakan BI. Investor tersebut bisa berasal dari dalam negeri maupun luar negeri yang jumlahnya tak banyak.
Di sisi lain, kenaikan BI rate memberikan beban lebih besar bagi mereka yang memiliki kredit dengan suku bunga tinggi. Sebutlah, masyarakat yang mengambil kredit seperti perumahan dan modal.
"Jadi mereka yang sudah terlanjur kredit dengan bunga yang tinggi maka akan tambah tinggi dan naik pelan-pelan. Itu mereka yang kena dampak negatif, misalnya cicilan sektor riil, rumah mobil dan lainnya," lanjut dia.
Ironisnya, jumlah masyarakat ini lebih banyak dibandingkan investor yang diuntungkan dari BI rate. Seperti diketahui, kredit menjadi salah satu pilihan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti perumahan.
"Jadi ada dua sisi yang dilihat memberikan keseimbangan situasi sedang buruk. Ada yang merasa senang dan buruk dari kebijakan BI ini," tandas dia. (Nur/*)
Ekonom Universitas Indonesia, Nina Sapti menilai BI memang harus kembali menaikkan BI rate karena kondisi moneter yang sudah memburuk. Kendati, kebijakan ini memberikan dampak ganda.
"Kita butuh aliran inflow atau modal jangan banyak keluar dan membuat rupiah kembali kuat," kata dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jumat (30/8/2013).
Menurut dia, kenaikan BI rate memberikan keuntungan bagi mereka yang kembali masuk untuk berinvestasi di sektor keuangan, seperti deposito.
Suku bunga acuan BI yang lebih tinggi membuat resiko bagi mereka yang berinvestasi dalam rupiah lebih berkurang.
Sebelumnya, tutur dia, masih terdapat selisih yang besar antara BI rate dan tingkat inflasi. Sebelum naik, BI rate bertengger di 6,5% sementara inflasi mencapai 9%.
"Dengan ini investor yang mau masuk akan berhitung, inflasi tinggi daya tarik rendah. Nah, BI rate naik maka resiko berkurang bagi mereka yang investasi dalam rupiah," tutur dia.
Para investor inilah, menurut dia yang untung dari kebijakan BI. Investor tersebut bisa berasal dari dalam negeri maupun luar negeri yang jumlahnya tak banyak.
Di sisi lain, kenaikan BI rate memberikan beban lebih besar bagi mereka yang memiliki kredit dengan suku bunga tinggi. Sebutlah, masyarakat yang mengambil kredit seperti perumahan dan modal.
"Jadi mereka yang sudah terlanjur kredit dengan bunga yang tinggi maka akan tambah tinggi dan naik pelan-pelan. Itu mereka yang kena dampak negatif, misalnya cicilan sektor riil, rumah mobil dan lainnya," lanjut dia.
Ironisnya, jumlah masyarakat ini lebih banyak dibandingkan investor yang diuntungkan dari BI rate. Seperti diketahui, kredit menjadi salah satu pilihan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti perumahan.
"Jadi ada dua sisi yang dilihat memberikan keseimbangan situasi sedang buruk. Ada yang merasa senang dan buruk dari kebijakan BI ini," tandas dia. (Nur/*)