Uji Materi Cukai Rokok, Ahli: Pajak Ganda Rokok Tidak Adil

MK menggelar kembali sidang uji materi 'pasal cukai rokok' dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

oleh Oscar Ferri diperbarui 03 Sep 2013, 13:17 WIB
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar kembali sidang uji materi 'pasal cukai rokok' dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Agenda kali ini mendengarkan keterangan ahli dari Pakar Hukum Tata Negara, Laica Marzuki.

Menurut Laica, berdasarkan konstitusi, cukai termasuk pajak. Di mana cukai dipandang masuk kategori 'pungutan liar yang bersifat memaksa'.

"Menurut konstitusi seperti itu. Selengkapnya menurut Pasal 23A UUD 1945, bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang," kata Laica dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Selasa (3/9/2013).

Mantan hakim MK periode 2003-2008 itu menjelaskan, pengenaan cukai rokok dan pajak rokok secara serempak merupakan pungutan pajak yang tidak adil. Sebab, keduanya berada pada dilema ketidakpastian hukum.

Itu bisa dilihat, jelas Laica, manakala UU DPRD memandang pajak rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dikenakan pemerintah, dan tarif pajak rokok ditetapkan sebesar 10% dari cukai rokok, maka itu mengandung makna bahwasannya pajak rokok dan cukai rokok merupakan 2 kategori pungutan yang berbeda.

"Dengan demikian, para warga perokok dikenakan pajak ganda itu dilarang konstitusi," jelas dia.

Laica berpendapat, menurut Pasal 28J ayat 2 UUD 1945, merokok bagian dari hak dan kebebasan warga yang merupakan hak konstitusional, sama halnya dengan para warga lain yang juga berhak tidak merokok di udara yang bebas.

"Konstitusi tidak melarang para warganya merokok. Itu merupakan hak konstitusional para warga," ujar Laica.

Bebankan Industri

Kuasa hukum pemohon, Robikin Emhas mengatakan, sudah sangat jelas apa yang disampaikan ahli. Yakni cukai sudah masuk kategori pungutan yang memaksa.

"Secara kontsitusi menurut keterangan ahli itu sudah sangat jelas, bahwa cukai itu pungutan yang sifatnya memaksa," ucap Robikin.

Ia juga menerangkan, pengenaan pajak rokok sebesar 10% atas cukai rokok itu bisa berakibat pada industri rokok di Indonesia. "Beban industri rokok, khususnya yang menengah ke bawah akan semakin tinggi. Potensi untuk industri rokok menengah ke bawah itu gulung tikar juga makin tinggi," papar Robikin.

Sebagai informasi, uji materi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) ini dimohonkan oleh 5 orang yang mengaku sebagai perokok sejati. Mereka adalah anggota tim RUU HAM Mulyana Wirakusumah, anggota PHBI Hendardi, anggota Dewan Pimpinan Kerukunan Tani Indonesia Aizzudin, Ketua Presidium IPW Neta S Pane, dan Bambang Isti Nugroho.

Sebagai perokok, para Pemohon itu merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan ketentuan pajak ganda terhadap rokok, yakni pajak rokok atas cukai rokok. Mereka mempermasalahkan Pasal 1 angka 19, Pasal 2 ayat 1 huruf e, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 94 ayat 1 huruf c, dan Pasal 181 dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (DPRD), yang dinilai telah bertentangan dengan konstitusional, yakni Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.

Sebab, menurut para Pemohon, UU No 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No 11 Tahun 1995 tentang Cukai, juga telah menetapkan cukai rokok sebagai jenis pajak tidak langsung yang dipungut Negara atas produk rokok. (Mut/Ism)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya