[VIDEO] Produsen Beras No.1 di ASEAN, kok RI Masih Suka Impor?

Indonesia saat ini tercatat sebagai produsen beras terbesar di Asean dengan tingkat produksi 40 juta ton per tahun.

oleh Nurseffi Dwi Wahyuni diperbarui 06 Sep 2013, 07:09 WIB
Indonesia saat ini tercatat sebagai produsen beras terbesar di Asean dengan tingkat produksi 40 juta ton per tahun. Bahkan Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan menyebutkan Indonesia sudah swasembada beras sejak tahun lalu.

Khusus untuk beras, Indonesia telah bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari rakyatnya. Menurut catatan Rusman, saat ini konsumsi beras 250 juta Indonesia mencapai 33 juta ton per tahun, atau rata-rata 2,7 juta-2,8 juta ton per bulan.

Dengan begitu, Indonesia mengalami surplus beras hingga 7 juta ton dalam per tahun.

"Ini sudah swasembada beras. Tapi target Pak Presiden kan tidak hanya swasembada, tapi juga mencapai surplus beras 10 juta ton," jelas Rusman saat berbincang dengan Liputan6.com yang ditulis Jumat (6/9/2013).

Kenapa surplus beras ditargetkan sampai 10 juta?

Rusman menjelaskan, dengan tingkat konsumsi 2,7-2,8 juta ton per bulan, maka stok beras 10 juta ton cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selama 3,5 bulan atau satu kali musim tanam padi.

"Stok itu diperlukan jika petani mengalami gagal panen sehingga satu musim tidak hasilkan beras. Nah, kita bisa pakai stok itu. Tapi jangan sampai ini terjadi," tutur Pria kelahiran Bogor, 4 November 1951 tersebut.

Dengan produksi beras sebesar 40 juta ton per tahun, Rusman mengklaim Indonesia sebagai negara penghasil beras terbesar di kawasan Asean.

"Produksi beras kita paling tinggi di Asean, produktivitas tapi kita kasih makan 250 juta penduduk. Kalau negara lain seperti Thailand itu kan penduduknya  60 juta. Jadi mereka lebihnya banyak sehingga bisa mengekspor," terang dia.

Kalau sudah swasembada, kenapa Indonesia masih impor beras?

Data BPS menyebutkan Indonesia telah menghabiskan US$ 137,19 juta untuk mengimpor 266,88 juta kilogram (kg) beras sepanjang Januari-Juli 2013. Beras yang diimpor Indonesia berasal dari Vietnam, Thailand, Pakistan, India, Myanmar, dan lainnya.

Rusman membenarkan hal tersebut. Pria berkacamata itu  menerangkan meskipun Indonesia sudah swasembada, namun negeri ini masih mengimpor beras-beras khusus yang tidak dikembangkan di Indonesia karena kebutuhannya relatif kecil.

"Misalnya beras ketan dari Thailand atau beras menir (broken rice) itu kan khusus dipakai untuk industri makanan minuman, juga restoran. Kalau dikembangkan di sini tidak signifikan terhadap kebutuhan," papar dia.


Myanmar Belajar dari Indonesia

Tingginya tingkat produktivitas pertanian di Tanah Air, membuat Myanmar memutuskan belajar bertani dari Indonesia. Saat ini satu hektare lahan di Indonesia bisa menghasilkan 5,1 ton padi. Sementara di Myanmar hanya 2- 3 ton per hektare.

"Di sana lebih rendah karena masih gunakan cara tradisional," ungkap Rusman.

Saat ini, lanjut dia, pemerintah tengah melakukan uji coba penanaman padi dengan menggunakan metode yang diterapkan di Indonesia. Dalam uji coba tersebut, pupuk yang digunakan untuk menyuburkan tanah juga berasal dari PT Pupuk Indonesia.

Namun, untuk bibit padi masih menggunakan varietas asli Myanmar karena bedanya iklim Indonesia dengan negeri tersebut.

"Saya sudah ke Myamnar dalam rangka tanam perdana bersama 200 petani di sana. Tiga bulan lagi sudah bisa panen," terang Rusman.

Jika metode ini berhasil diterapkan, Rusman berpendapat, ada banyak manfaat yang bisa diperoleh Indonesia. Salah satunya, peluang PT Pupuk Indonesia menjadi pemasok pupuk di sana.

"Nanti kalau mereka jatuh cinta, akan ada pasar yang besar. Satu juta ton pupuk dari PT Pupuk Indonesia bisa diserap Myanmar setiap tahunnya," ujar Rusman.

Tak hanya itu, lanjut dia,  Indonesia juga kemungkinan akan membuka lahan pertanian dan menanam padi di Myanmar. "Kalau hasil bagus, beras yang dihasilkan bisa dibawa ke Indonesia untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di sini," kata Rusman. (Ndw)


Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya