Kebutuhan hidup orang Indonesia tak lagi seputar pangan, sandang dan papan. Setelah menabung, orang Indonesia memilih traveling alias jalan-jalan sebagai prioritas keduanya.
Dengan perubahan trend seperti ini, industri pariwisata Indonesia memiliki peluang besar untuk tumbuh di masa depan. Terlebih dengan meningkatnya minat konsumen Indonesia untuk berwisata dan makin menariknya Indonesia bagi wisatawan asing.
"Para pelaku wisatawan Indonesia harus mampu menangkap kesempatan ini dan membangun industri pariwisata secara strategis. Kompetensi komunikasi pemasaran digital wajib dibangun untuk bisa menang bersaing saat ini, mengingat negara-negara tetangga sangat agresif menjual destinasinya," tegas Managing Director Fortune PR Indira Abidin saat menjadi pembicara dalam Indonesia E-Tourism Summit (IETS) 2013 di Bali, 4-6 September 2013 seperti siaran pers yang diterima Senin (9/9/2013).
Tumbuhnya populasi kelas menengah dan meningkatnya pendapatan masyarakat dalam beberapa tahun terakhir ini rupanya menjadi pemicu atas bergesernya pola konsumsi dari barang-barang kebutuhan pokok ke gaya hidup, ungkap Nielsen Global Consumer Survey Q1 2013. Karena itu, konsumen Indonesia pun kini menjadi semakin loyal dalam ‘berbelanja’ pengalaman dan hal ini membuat popularitas berwisata kian meroket.
Data Nielsen tersebut bahkan juga menyebutkan, sebanyak 37 persen responden memilih berlibur sebagai prioritas kedua pengeluaran mereka setelah menabung (74 persen).
Survei terpisah yang dilakukan oleh McKinsey & Company mengungkapkan optimisme serupa mengenai tren berwisata di tanah air. Pada tahun 2030, pengeluaran tahunan responden untuk traveling diprediksi akan mencapai angka US$ 105 miliar, melesat dari US$ 26 miliar saja di tahun 2011.
Di sisi lain, berdasarkan riset yang dilakukan oleh Visa, krisis global membuat Indonesia menjadi destinasi yang menarik karena dianggap lebih terjangkau. Meskipun sangat peka harga, wisatawan tersebut tidak segan-segan memilih hotel berbintang empat ke atas, dan membelanjakan 30% untuk berbelanja dan 25% untuk makan di tempat yang berkelas.
Menanggapi data tersebut, Managing Director dari perusahaan konsultan kehumasan yang pada ajang SABRE Awards 2013 berhasil menjadi nominasi di kategori Public Education, Travel and Leisure, Consumer Products, Financial and Professional Services, serta Public Sector/Governmen tersebut menegaskan bahwa para pelaku wisatawan Indonesia harus mampu menguasai teknologi komunikasi pemasaran berbasis digital.
"Para praktisi pariwisata perlu membangun merek dengan strategi positioning yang kuat dan kemudian membangun reputasi online yang unggul secara global, tergantung sasaran yang dituju," tegas Indira yang berbicara mengenai tiga topik dalam acara tersebut, yaitu strategi website, strategi media social, dan manajemen krisis di industri pariwisata.
Strategi merek (brand) dari sebuah usaha pariwisata perlu dibangun dengan baik, agar merek tersebut dapat mudah diingat, dipilih, dan dicintai oleh wisatawan, jelas Indira.
Pembangunan merek ini harus didukung oleh kemampuan mengkomunikasikan merek tersebut secara luas secara digital kepada khalayak sasar yang dituju, termasuk melalui website, mobile, tablet, dan jaringan media sosial.
Sebanyak 65% wisatawan mencari ide berwisata melalui pencarian sosial, 52% pengguna Facebook sangat dipengaruhi oleh foto-foto teman-teman dalam jaringan Facebook-nya untuk menentukan tempat wisata, 33% wisatawan mengubah rencana awal mereka setelah melihat foto-foto tersebut.
"Jadi, kita harus mampu membangun reputasi media sosial, menarik hati mereka agar mereka menggunakan layanan atau datang ke destinasi yang kita miliki, dan kemudian menceritakan kisah-kisah menarik melalui foto atau video di dunia virtual," jelas Indira.
Garda terdepan dalam dunia pariwisata kini adalah website. Menurut Indira, para pemilik usaha wisata harus tampil menarik dan unik melalui website sebagai wajah usaha di dunia virtual. Website kemudian harus dipromosikan melalui strategi optimasi mesin pencari, pemasaran melalui email, dan media sosial yang terintegrasi dengan baik.
Indira juga mengingatkan para praktisi wisata Indonesia untuk menjaga kepuasan tamu dan menangani keluhan dengan baik.
"Hubungan dengan tamu yang tidak ditangani dengan baik dapat berakibat fatal di media sosial. Semua pemilik usaha wisata harus memiliki kebijakan komunikasi melalui media sosial untuk mendorong seluruh karyawan menjadi duta bagi perusahaannya, dan mencegah mereka melakukan hal yang dapat merugikan merek usahanya di dunia virtual," kata Indira menutup pembicaraannya dalam sesi Crisis Management in Travel Industry. (Ndw)
Dengan perubahan trend seperti ini, industri pariwisata Indonesia memiliki peluang besar untuk tumbuh di masa depan. Terlebih dengan meningkatnya minat konsumen Indonesia untuk berwisata dan makin menariknya Indonesia bagi wisatawan asing.
"Para pelaku wisatawan Indonesia harus mampu menangkap kesempatan ini dan membangun industri pariwisata secara strategis. Kompetensi komunikasi pemasaran digital wajib dibangun untuk bisa menang bersaing saat ini, mengingat negara-negara tetangga sangat agresif menjual destinasinya," tegas Managing Director Fortune PR Indira Abidin saat menjadi pembicara dalam Indonesia E-Tourism Summit (IETS) 2013 di Bali, 4-6 September 2013 seperti siaran pers yang diterima Senin (9/9/2013).
Tumbuhnya populasi kelas menengah dan meningkatnya pendapatan masyarakat dalam beberapa tahun terakhir ini rupanya menjadi pemicu atas bergesernya pola konsumsi dari barang-barang kebutuhan pokok ke gaya hidup, ungkap Nielsen Global Consumer Survey Q1 2013. Karena itu, konsumen Indonesia pun kini menjadi semakin loyal dalam ‘berbelanja’ pengalaman dan hal ini membuat popularitas berwisata kian meroket.
Data Nielsen tersebut bahkan juga menyebutkan, sebanyak 37 persen responden memilih berlibur sebagai prioritas kedua pengeluaran mereka setelah menabung (74 persen).
Survei terpisah yang dilakukan oleh McKinsey & Company mengungkapkan optimisme serupa mengenai tren berwisata di tanah air. Pada tahun 2030, pengeluaran tahunan responden untuk traveling diprediksi akan mencapai angka US$ 105 miliar, melesat dari US$ 26 miliar saja di tahun 2011.
Di sisi lain, berdasarkan riset yang dilakukan oleh Visa, krisis global membuat Indonesia menjadi destinasi yang menarik karena dianggap lebih terjangkau. Meskipun sangat peka harga, wisatawan tersebut tidak segan-segan memilih hotel berbintang empat ke atas, dan membelanjakan 30% untuk berbelanja dan 25% untuk makan di tempat yang berkelas.
Menanggapi data tersebut, Managing Director dari perusahaan konsultan kehumasan yang pada ajang SABRE Awards 2013 berhasil menjadi nominasi di kategori Public Education, Travel and Leisure, Consumer Products, Financial and Professional Services, serta Public Sector/Governmen tersebut menegaskan bahwa para pelaku wisatawan Indonesia harus mampu menguasai teknologi komunikasi pemasaran berbasis digital.
"Para praktisi pariwisata perlu membangun merek dengan strategi positioning yang kuat dan kemudian membangun reputasi online yang unggul secara global, tergantung sasaran yang dituju," tegas Indira yang berbicara mengenai tiga topik dalam acara tersebut, yaitu strategi website, strategi media social, dan manajemen krisis di industri pariwisata.
Strategi merek (brand) dari sebuah usaha pariwisata perlu dibangun dengan baik, agar merek tersebut dapat mudah diingat, dipilih, dan dicintai oleh wisatawan, jelas Indira.
Pembangunan merek ini harus didukung oleh kemampuan mengkomunikasikan merek tersebut secara luas secara digital kepada khalayak sasar yang dituju, termasuk melalui website, mobile, tablet, dan jaringan media sosial.
Sebanyak 65% wisatawan mencari ide berwisata melalui pencarian sosial, 52% pengguna Facebook sangat dipengaruhi oleh foto-foto teman-teman dalam jaringan Facebook-nya untuk menentukan tempat wisata, 33% wisatawan mengubah rencana awal mereka setelah melihat foto-foto tersebut.
"Jadi, kita harus mampu membangun reputasi media sosial, menarik hati mereka agar mereka menggunakan layanan atau datang ke destinasi yang kita miliki, dan kemudian menceritakan kisah-kisah menarik melalui foto atau video di dunia virtual," jelas Indira.
Garda terdepan dalam dunia pariwisata kini adalah website. Menurut Indira, para pemilik usaha wisata harus tampil menarik dan unik melalui website sebagai wajah usaha di dunia virtual. Website kemudian harus dipromosikan melalui strategi optimasi mesin pencari, pemasaran melalui email, dan media sosial yang terintegrasi dengan baik.
Indira juga mengingatkan para praktisi wisata Indonesia untuk menjaga kepuasan tamu dan menangani keluhan dengan baik.
"Hubungan dengan tamu yang tidak ditangani dengan baik dapat berakibat fatal di media sosial. Semua pemilik usaha wisata harus memiliki kebijakan komunikasi melalui media sosial untuk mendorong seluruh karyawan menjadi duta bagi perusahaannya, dan mencegah mereka melakukan hal yang dapat merugikan merek usahanya di dunia virtual," kata Indira menutup pembicaraannya dalam sesi Crisis Management in Travel Industry. (Ndw)