Mata Uang Negara Berkembang Ambruk, Salah AS atau Eropa?

Kurs mata uang di negara berkembang tengah babak belur. Tappering stimulus AS dituding jadi penyebabnya? Benarkah itu?

oleh Siska Amelie F Deil diperbarui 10 Sep 2013, 14:00 WIB
Kepanikan para investor menghadapi persiapan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed), berujung petaka bagi ekonomi negara-negara berkembang. Banyaknya dana yang ditarik ke luar membuat nilai tukar mata uang sejumlah negara berkembang terus melemah terhadap dolar AS.

Alhasil, bank-bank sentral di negara berkembang sibuk memperketat sejumlah kebijakan guna menstabilkan pasar uangnya. Lalu siapa yang harus disalahkan atas kekacauan ekonomi tersebut?

Dilansir dari laman CNBC, Selasa (10/9/2013), Director of the Center for European Policy Studies, Daniel Gros, menilai penyebab utama hancurnya mata uang di negara-negara berkembang bukanlah ulah The Fed tapi rendahnya impor dari kawasan Eropa. Selama lima tahun terakhir negara-negara di kawasan Eropa berupaya keras mengatasi defisit transaksi berjalan menjadi surplus yang nyaris menembus US$ 300 miliar saat ini.

Beberapa tahun lalu, saat The Fed memulai babak baru program stimulus Quantitative Easing, beberapa pemimpin negara berkembang memberi kiritikan keras. Para pemimpin itu menilai sistem buka-tutup pembelian sekuritas jangka panjang sebagai upaya AS untuk merancang devaluasi dolar yang kompetitif.

Tak hanya itu, kebijakan moneter yang lebih longgar dari AS dapat mendorong aliran masuk dana panas (hot money) dalam jumlah besar sehingga memicu kenaikan nilai tukar di negara-negaranya.

Kekhawatiran tersebut tak akan hanya mengurangi daya saing ekspor, tapi juga menyebabkan defisit neraca eksternal. Selain itu, negara-negara berkembang juga harus siap menerima risiko dan konsekuensi yang berat jika The Fed menghentikan aliran dananya secara tiba-tiba.

Selintas, lanjut Daniel, ketakutan tersebut cukup beralasan. Terlebih lagi, sebuah jurnal yang diterbitkan International Monetary Fund (IMF), dengan singkat mengungkapkan, aliran dana tersebut bersifat fana, ada dimana pun dan kapan pun. Satu pengumuman saja dari The Fed bahwa pihaknya mungkin akan menurunkan pembelian obligasinya telah menyebabkan banyak dana dilarikan dari negara-negara berkembang hingga saat ini.

Namun pandangan tersebut melewatkan penyebab utama mengalirnya dana segar ke negara-negara berkembang selama beberapa tahun terakhir dan mengapa banyak transaksi eksternal di sejumlah negara berkembang berakhir defisit. Penyebab utamanya adalah euro.

Daniel menuding penghematan Eropa justru berdampak pada transaksi berjalan di kawasan tersebut, dari defisit US$ 100 miliar pada 2008 menjadi surplus yang nyaris menembus US$ 300 miliar tahun ini. Peningkatan tersebut merupakan akibat dari penghentian aliran dana secara tiba-tiba ke anggota kawasan Eropa bagian tenggara.

Alhasil negara-negara tersebut terdorong untuk membalikkan defisit transaksinya sebesar US$ 300 miliar lima tahun lalu menjadi surplus meski masih dalam jumlah kecil saat ini. Kawasan Eropa secara keseluruhan memiliki surplus transaksi berjalan terbesar di dunia mengingat negara-negara di bagian utaranya seperti Jerman dan Belanda tak menambah permintaannya.

Surplus transaksi berjalan yang luar biasa ini tak berdampak pada pelemahan nilai mata uangnya, euro tetap kuat. Maka alasan utama besarnya surplus eksternal Eropa adalah lemahnya impor yang stagnan selama lima tahun terakhir.

Penghematan merupakan alasan utama tingginya surplus di Eropa. Permintaan yang lemah di Eropa merupakan alasan utama hancurnya nilai tukar mata uang di negara-negara berkembang saat ini. (Sis/Shd)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya