Asosiasi Penyalur Bahan Bakar Minyak Indonesia (APBBMI) meminta pemerintah mengeluarkan kebijakan pemberian insentif untuk masyarakat menggunakan bahan bakar minyak (BBM) non subsidi seperti pertamax.
Sekretaris Jenderal APBBMI Sofyano Zakaria mengatakan, APBBMI berharap Pemerintah melahirkan kebijakan yang bisa membuat masyarakat tertarik menggunakan BBM non subsidi.
"Untuk itu harus ada insentif yang menarik bagi masyarakat atau konsumen yang menggunakan BBM non subsidi," kata Sofyano dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (10/9/2013).
Menurut dia, insentif tersebut antara lain berupa kebijakan penghapusan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor pada BBM non subsidi. Bahkan akan lebih menarik lagi jika pemerintah mengurangi Pajak Penambahan nilai (PPn) atas penjualan BBM non subsidi yang selama ini ditetapkan sebesar 10% menjadi hanya 5%.
"Dengan kebijakan tersebut akan memperkecil disparitas harga antara harga BBM bersubsidi dengan BBM non subsidi, yang pada akhirnya mampu pula memberantas penyelewengan bbm bersubsidi," ungkapnya.
Jika pemerintah ingin mengoptimalkan pemanfaatan penggunaan BBM non subsidi, kegiatan distribusi BBM non subsidi jangan sampai diatur dengan peraturan yang ketat sebagaimana yang diperlakukan terhadap kegiatan penyaluran BBM Bersubsidi.
"BBM non subsidi adalah komoditas yang tidak ada muatan subsidi pemerintah, karena itu tidak perlu dibentengi dengan Peraturan yang justru bisa kontraproduktif dengan upaya menekan penggunaan BBM bersubsidi," tuturnya.
Misalnya, terbitnya Peraturan Menteri ESDM nomor 16 tahun 2011 tentang Kegiatan Penyaluran Bahan Bakar Minyak, telah terbukti menimbulkan persoalan bagi kegiatan distribusi bbm non subsidi.
Padahal Permen 16/2011 tersebut adalah Petunjuk Pelaksanaan dari Pasal 66 Peraturan Pemerintah no 36/2004 , Perpres 71 Tahun 2005 dan Perpres 45 Tahun 2009 yang kesemuanya menetapkan sebagai Peraturan untuk Kegiatan Penyaluran BBM Bersubsidi (BBM Tertentu).
Namun yang jadi pertanyaan, lanjut dia, mengapa pada judul Permen 16/2011 tersebut dinyatakan tentang Kegiatan Penyaluran Bahan Bakar Minyak saja tetapi tidak untuk Kegiatan Penyaluran Bahan Bakar Minyak Tertentu.
"Inilah yang kemudian menjadi multi tafsir ketika Permen tersebut dijadikan dasar pelaksanaan di lapangan," pungkasnya. (Pew/Ndw)
Sekretaris Jenderal APBBMI Sofyano Zakaria mengatakan, APBBMI berharap Pemerintah melahirkan kebijakan yang bisa membuat masyarakat tertarik menggunakan BBM non subsidi.
"Untuk itu harus ada insentif yang menarik bagi masyarakat atau konsumen yang menggunakan BBM non subsidi," kata Sofyano dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (10/9/2013).
Menurut dia, insentif tersebut antara lain berupa kebijakan penghapusan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor pada BBM non subsidi. Bahkan akan lebih menarik lagi jika pemerintah mengurangi Pajak Penambahan nilai (PPn) atas penjualan BBM non subsidi yang selama ini ditetapkan sebesar 10% menjadi hanya 5%.
"Dengan kebijakan tersebut akan memperkecil disparitas harga antara harga BBM bersubsidi dengan BBM non subsidi, yang pada akhirnya mampu pula memberantas penyelewengan bbm bersubsidi," ungkapnya.
Jika pemerintah ingin mengoptimalkan pemanfaatan penggunaan BBM non subsidi, kegiatan distribusi BBM non subsidi jangan sampai diatur dengan peraturan yang ketat sebagaimana yang diperlakukan terhadap kegiatan penyaluran BBM Bersubsidi.
"BBM non subsidi adalah komoditas yang tidak ada muatan subsidi pemerintah, karena itu tidak perlu dibentengi dengan Peraturan yang justru bisa kontraproduktif dengan upaya menekan penggunaan BBM bersubsidi," tuturnya.
Misalnya, terbitnya Peraturan Menteri ESDM nomor 16 tahun 2011 tentang Kegiatan Penyaluran Bahan Bakar Minyak, telah terbukti menimbulkan persoalan bagi kegiatan distribusi bbm non subsidi.
Padahal Permen 16/2011 tersebut adalah Petunjuk Pelaksanaan dari Pasal 66 Peraturan Pemerintah no 36/2004 , Perpres 71 Tahun 2005 dan Perpres 45 Tahun 2009 yang kesemuanya menetapkan sebagai Peraturan untuk Kegiatan Penyaluran BBM Bersubsidi (BBM Tertentu).
Namun yang jadi pertanyaan, lanjut dia, mengapa pada judul Permen 16/2011 tersebut dinyatakan tentang Kegiatan Penyaluran Bahan Bakar Minyak saja tetapi tidak untuk Kegiatan Penyaluran Bahan Bakar Minyak Tertentu.
"Inilah yang kemudian menjadi multi tafsir ketika Permen tersebut dijadikan dasar pelaksanaan di lapangan," pungkasnya. (Pew/Ndw)