CEO Agate Studio Arief Widhiyasa, Berkarya dan Bahagia Lewat Game

Bersama belasan teman, Arief membangun Agate Studio. Memilih drop out demi Agate Studio, hingga akhirnya rilis game bersama developer idola.

oleh Bayu Galih diperbarui 13 Sep 2013, 07:44 WIB
Industri game di Indonesia memang berkembang cukup pesat dalam setahun terakhir. Empat anak muda di Solide Studio asal Madura misalnya, sukses membuat game Save the Hamster juara dalam lomba kelas dunia Imagine Cup di Rusia yang diselenggarakan Microsoft. Selain itu, pengembang game asal Bandung Agate Studio juga baru merilis game dengan menggandeng Square Enix, pengembangasal Jepang yang membuat game Final Fantasy.

Meski begitu, CEO Agate Studio Arief Widhiyasa sadar kalau industri game Indonesia masih tertinggal. Fakta begitu terasa ketika Arief berbincang dengan beberapa orang dari pengembang terkenal mancanegara. Saat ditanya pendapatnya tentang industri game di Indonesia, banyak dari para pengembang game mancanegara yang mengaku seperti nostalgia.

"Karena Indonesia mengingatkan mereka dengan kondisi ketika game mulai berkembang di negara mereka. Ada yang bilang seperti 15 tahun lalu, ada juga yang mengaku seperti 25 tahun lalu. Saya lalu berpikir, Indonesia memang sudah tertinggal sejauh itu," kata Arief saat Liputan6.com temui di ajang Indonesia Game Show, akhir pekan lalu.

Meski begitu, Arief menyebut perkembangan industri game saat ini sudah jauh lebih baik ketimbang empat tahun lalu saat Agate Studio pertama kali berdiri. "Dulu event seperti ini (Indonesia game Show) tidak ada. Developer juga dulu sedikit, tapi sekarang developer ada sekitar 80," ucapnya.

Pengorbanan

Sedikit nostalgia, Arief lalu menceritakan awal Agate Studio berdiri. Kisah bermula ketika Arief dan sekitar 30 temannya di Institut Teknologi Bandung berkumpul saat dengar ada lomba pengembangan game di 2007. "Bikin game, kalah. Tapi terus iseng ikut lomba," ucapnya.

Dilema muncul saat salah satu teman mereka ada yang lulus pada 2009. Saat itu mulai ada tekanan dari para orang tua untuk lulus, yang tentu saja lanjut untuk cari pekerjaan. Karena itu mereka pun berpikir untuk serius dalam mengembangkan game dan berusaha profesional.

"Kami cari developer, tapi tidak ada yang mau menampung 18 orang. Ya sudah, akhirnya kami bikin developer sendiri," tutur Arief.

Pengorbanan pun dilakukan. Arief memutuskan untuk tak melanjutkan kuliahnya, alias drop out dari ITB. Tak hanya itu, di fase awal para punggawa Agate Studio juga rela dengan gaji Rp 50 ribu perorang dengan jam kerja bahkan hingga 15 jam. Pengorbanan ini tentu tak mudah, tapi orang tua mulai percaya ketika karya Agate Studio mulai memperlihatkan hasil.   

Sebagai strategi awal, game buatan Agate Studio dirilis di pasar internasional. Ini disebabkan animo dan gairah pasar game di Indonesia masih kecil. Platform game yang dibuat pun kebanyakan berbasis web. Tapi dalam waktu singkat Agate Studio terus mengembangkan game dan mulai hadir di platform mobile berupa aplikasi.

"Kalau game kami yang paling hit saat ini Football Saga 2," kata Arief. Tapi selain itu ada juga game menarik Agate lain, misalnya Smash Mania.

Berkarya dan Bahagia

Setelah empat tahun berdiri, Agate Studio semakin memiliki kesempatan untuk berkembang lebih baik, bahkan untuk mendunia. Momen ini datang ketika datang tawaran kerjasama dari Square Enix. Pengembang game asal Jepang ini tenar berkat sejumlah game populer seperti Final Fantasy, Dragon Quest, dan Kingdom Hearts.

"Kami beruntung. Karena saya sendiri fans game-game yang dirilisnya," ucap penggemar game strategi dan role playing game ini.

Proses menggandeng Square Enix butuh waktu sekitar dua tahun. Kerjasama dimulai ketika Agate Studio bikin acara Indonesia Bermain pada 2011 silam. Square Enix bersedia merilis game terbaik di Indonesia Bermain 2011. Komunikasi terus berlangsung, hingga muncul keinginan untuk kerjasama rilis game.

Momen yang mengharu-biru pun dirasakan kru Agate Studio ketika game SENGOKUIXA yang dikembangkan bersama Square Enix akhirnya resmi dirilis. "Seperti dream come true. Momen terbaik justru terasa ketika SENGOKUIXA dirilis," kata penggemar game Brigandine ini.

Perjalanan tentu saja masih jauh. Tantangan bagi Agate juga masih banyak, salah satunya untuk membuat game di konsol, termasuk generasi terbaru macam PlayStation 4 dan Xbox One.

Setidaknya, Arief merasa bersyukur bisa menggeluti dunia kerja yang sesuai dengan apa yang dicintainya: game. Arief sudah bermain game sejak di bangku Taman Kanak-Kanak. Saking gilanya dengan game di konsol Nintendo Entertainment System ketika itu, Arief bahkan sudah memakai kacamata saat duduk di kelas 1 Sekolah Dasar.

"Dari kecil samapai sekarang game bisa membuat bahagia. Hal yang sama pun jadi tujuan kami di Agate, bagaimana bisa berkarya dan bahagia dengan game . Karena game selalu mengajarkan kita berpikir positif, untuk terus mencoba dan berbahagia walaupun ketika kalah," ujarnya. (gal)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya