Citizen6, Aceh: Aceh pasca damai mengalami perubahan struktur politik yang drastis. Perubahan ini semakin kuat setelah adanya partai politik lokal, di mana mayoritas eks komandan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berestorasi ke dalam Partai Aceh (PA) yang kemudian berkuasa di eksekutif dan legislatif.
Perjuangan GAM secara legal melalui partai untuk melanjutkan cita-cita politiknya, sepertinya belum padam. Pada Pemilu 2009, PA menjadi partai pemenang di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) maupun di 17 DPR kabupaten/kota. Pada saat itu eks-GAM/PA menguasai sekitar 10 kepala daerah kabupaten/kota. Kondisi ini memperkuat konsolidasi PA secara logistik, politik, dan struktur partainya. Ini tentunya semakin memudahkan mereka dalam membangun kekuatan politik dan ekonomi.
Kekuatan politik secara de facto, sebenarnya sudah mereka dapatkan selama konflik Aceh. Tetapi, dengan kemenangan Pemilukada 2006 di beberapa kabupaten/kota, Gubernur Aceh, dan Pemilu 2009, PA telah mendapatkan kekuatan politik secara de jure. Dengan begitu mereka semakin mudah melakukan manuver politik kepada pemerintah pusat dan internasional untuk mencapai cita-cita mereka.
Pasca-Pemilukada 2012, kekuatan politik PA mengalami peningkatan drastis. Mereka menguasai Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota di 10 kabupaten/kota, sekaligus kekuatan di parlemen. Inilah yang membuat PA begitu berani dan terbuka mengajukan usulan pembuatan qanun Lembaga Wali Nangroe, sebagai cikal bakal Kepala Pemerintahan Negara Aceh (karena Aceh dirancang sebagai sebuah negara monarki konstitusional), dan mengajukan usulan pembuatan qanun Bendera dan Lambang Aceh.
Polemik Qanun Wali Nanggroe, Lambang, dan Bendera
Disahkannya Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 tentang Wali Nanggroe dan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh telah mengubah konstalasi politik antara pemerintah Aceh dengan pemerintah pusat. Setting pemerintah Aceh, perlahan tapi pasti, memunculkan identitas sebenarnya melalui mekanisme Qanun Aceh di DPRA.
Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat pemersatu masyarakat independen, berwibawa, berwenang membina/mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat-istiadat, pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya. Namun, dalam qanun tersebut, hak dan wewenang Wali Nanggroe bertambah luas termasuk membina kehidupan politik di Provinsi Aceh. Kewenangan dan struktur organisasi Wali Nanggroe pun tumpang tindih dengan fungsi pemerintahan yang selama ini dijalankan oleh Pemerintah Aceh.
Beberapa keistimewaan lain dari Wali Nanggroe adalah memiliki hak imunitas terkait pertanyaan, pernyataan, pendapat, dan/atau tindakan yang berkaitan dengan tugas, fungsi, dan kewenangannya. Wali Nanggroe juga mempunyai kewenangan melakukan kerja sama dengan lembaga atau badan luar negeri. Syarat menjadi Wali Nanggroe juga bisa dikatakan diskriminatif karena hanya dibatasi bagi yang fasih berbahasa Aceh serta dikenal keturunan dan nasabnya sebagai orang Aceh sampai 4 keturunan ke atas. Pembatasan ini berlaku bagi struktur organisasi Wali Nanggroe lainnya seperti majelis tuha peuet, majelis fatwa dan majelis tuha lapan. Sedangkan sruktur lainnya juga dibatasi pada kemampuan berbahasa Aceh.
Hal ini kemudian memunculkan gesekan vertikal dan horizontal. Selain "berseteru" dengan Jakarta, beberapa suku minoritas yang tidak setuju dengan pengesahan kedua qanun tersebut mulai menganggap kedua qanun itu tidak mewakili aspirasi semua suku di Aceh seperti Gayo, Alas, Tamiang, Singkil, Aceh Selatan (Aneuk Jamee). Bahkan mereka menilai, selain diskriminatif, Qanun Wali Nanggroe melampau batas kewenangannya.
Keistimewaan lain yang diberikan dalam UU Nomor 11/2006 adalah terkait bendera dan lambang daerah Aceh. Pada 25 Maret 2013, Gubernur Aceh menetapkan Qanun Nomor 3/2013 tentang Lambang dan Bendera Aceh, dengan menetapkan binatang Buraq Singa sebagai lambang dan Bulan Sabit Merah sebagai bendera Aceh. Lambang maupun bendera tersebut merupakan lambang dan bendera yang selama ini dipakai oleh GAM. Padahal, sebelumnya disepakati bendera Aceh adalah Alam Pedang.
Setelah pengesahan kedua qanun tersebut, Mendagri memberikan koreksi, namun Pemerintah Aceh mengabaikannya. Pengabaian koreksi ini direspons Mendagri dengan cara dingin, malah Mendagri mengajak pihak legislatif dan eksekutif Aceh untuk berdialog. Sikap Mendagri ini terkesan membiarkan apa yang sedang terjadi di Aceh dan memberi angin segar bagi PA/GAM untuk terus memperjuangkan kepentingan mereka. Pertemuan antara Mendagri dengan Gubernur Aceh untuk membahas masalah kedua qanun juga terkesan ditutupi. Misalnya, pertemuan tersebut dilakukan secara tertutup antara Mendagri, Gubernur Aceh, dan Malik Mahmud (Pemangku Wali Nanggroe), tanpa melibatkan Pangdam IM, Kapolda Aceh, BIN, serta muspida lainnya.
Sikap Mendagri tersebut telah melahirkan ancaman nyata terhadap keberlangsungan NKRI di Aceh. Sikap Mendagri ini membuat PA/GAM semakin berani mengabaikan aturan hukum negara ini. Bahkan, dalam aspek penganggaran serta pengesahannya, PA/GAM melalui eksekutif dan legislatif telah mengesahkan APBA siluman sebesar Rp1,8 triliun.
Aceh (Tidak Bisa) Merdeka
Dilihat secara teoritik, keberadaan negara bangsa akan terbentuk apabila memenuhi lima syarat penting, yaitu mempunyai wilayah/daerah tertentu; adanya rakyat; adanya pemerintahan; adanya pengakuan negara dari negara-negara lain; dan adanya tujuan negara.
Jika kita mau jujur, kelima syarat tersebut bukanlah hal yang "jauh panggang dari api" lagi bagi Aceh. Sikap pemerintah pusat yang terkesan melakukan pembiaran dapat semakin menguatkan pergerakan politik GAM dan PA. Ini bisa berubah menjadi "tsunami politik", apalagi Aceh kini telah memiliki payung hukum kokoh, yaitu MoU dan UUPA yang masyarakatnya dipersatukan dengan Lambang dan Bendera Aceh. Lambang dan bendera ini pun terus memberikan roh kebangkitan heroisme perjuangan kemerdekaan dan kebencian terhadap pemerintah pusat.
Selain itu, sebagai pemegang kendali di eksekutif dan legislatif, akan memudahkan PA untuk mendapatkan simpati dan dukungan internasional. Bahkan, tujuan bernegara pun akan dengan mudah direalisasikan, mengingat GAM atau PA adalah organisasi yang sudah memiliki tujuan dan cita-cita. Kondisi ini sungguh merisaukan keberlangsungan NKRI di Aceh, terlebih lagi dalam event politik tahun 2014, di mana PA dapat dipastikan akan menguasai parlemen tanpa penyeimbang yang tangguh. Jika ini dibiarkan, maka cita-cita mengamankan NKRI di Aceh akan menjadi kenangan sejarah.
Keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI sebenarnya bukanlah keinginan dari masyarakat Aceh, melainkan kelompok-kelompok kepentingan seperti GAM. Hal ini terlihat dari banyaknya masyarakat Aceh yang turut memprotes lambang dan bendera Aceh yang mirip dengan milik GAM. Keinginan merdeka tersebut tentunya tidak lepas dari kepentingan asing, yang tanpa disadari telah memanfaatkan kelompok tersebut.
Walaupun pemerintah pusat terkesan melakukan pembiaran terhadap masalah-masalah di Aceh, tanpa mereka sadari, berbagai upaya juga telah dilakukan pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat Aceh. Berbagai upaya tersebut juga tidak memakan usaha dan dana yang sedikit. Contohnya, saat Aceh dilanda tsunami tahun 2004. Bagaimana Aceh mampu bertahan dan bangkit kembali tanpa turun tangan pemerintah pusat? Selain itu, pemberian otonomi khusus bagi Aceh yang tidak diberikan kepada provinsi lain di Indonesia. Jika mereka mau menyadari, sebenarnya pemerintah telah melakukan banyak hal bagi Aceh. Oleh karena itu, merdeka bukanlah keinginan yang tepat, dan sampai kapan pun Aceh akan tetap menjadi bagian dari NKRI. (Titi Viorika/Mar)
Titi Viorika adalah pewarta warga.
Perjuangan GAM secara legal melalui partai untuk melanjutkan cita-cita politiknya, sepertinya belum padam. Pada Pemilu 2009, PA menjadi partai pemenang di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) maupun di 17 DPR kabupaten/kota. Pada saat itu eks-GAM/PA menguasai sekitar 10 kepala daerah kabupaten/kota. Kondisi ini memperkuat konsolidasi PA secara logistik, politik, dan struktur partainya. Ini tentunya semakin memudahkan mereka dalam membangun kekuatan politik dan ekonomi.
Kekuatan politik secara de facto, sebenarnya sudah mereka dapatkan selama konflik Aceh. Tetapi, dengan kemenangan Pemilukada 2006 di beberapa kabupaten/kota, Gubernur Aceh, dan Pemilu 2009, PA telah mendapatkan kekuatan politik secara de jure. Dengan begitu mereka semakin mudah melakukan manuver politik kepada pemerintah pusat dan internasional untuk mencapai cita-cita mereka.
Pasca-Pemilukada 2012, kekuatan politik PA mengalami peningkatan drastis. Mereka menguasai Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota di 10 kabupaten/kota, sekaligus kekuatan di parlemen. Inilah yang membuat PA begitu berani dan terbuka mengajukan usulan pembuatan qanun Lembaga Wali Nangroe, sebagai cikal bakal Kepala Pemerintahan Negara Aceh (karena Aceh dirancang sebagai sebuah negara monarki konstitusional), dan mengajukan usulan pembuatan qanun Bendera dan Lambang Aceh.
Polemik Qanun Wali Nanggroe, Lambang, dan Bendera
Disahkannya Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 tentang Wali Nanggroe dan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh telah mengubah konstalasi politik antara pemerintah Aceh dengan pemerintah pusat. Setting pemerintah Aceh, perlahan tapi pasti, memunculkan identitas sebenarnya melalui mekanisme Qanun Aceh di DPRA.
Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat pemersatu masyarakat independen, berwibawa, berwenang membina/mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat-istiadat, pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya. Namun, dalam qanun tersebut, hak dan wewenang Wali Nanggroe bertambah luas termasuk membina kehidupan politik di Provinsi Aceh. Kewenangan dan struktur organisasi Wali Nanggroe pun tumpang tindih dengan fungsi pemerintahan yang selama ini dijalankan oleh Pemerintah Aceh.
Beberapa keistimewaan lain dari Wali Nanggroe adalah memiliki hak imunitas terkait pertanyaan, pernyataan, pendapat, dan/atau tindakan yang berkaitan dengan tugas, fungsi, dan kewenangannya. Wali Nanggroe juga mempunyai kewenangan melakukan kerja sama dengan lembaga atau badan luar negeri. Syarat menjadi Wali Nanggroe juga bisa dikatakan diskriminatif karena hanya dibatasi bagi yang fasih berbahasa Aceh serta dikenal keturunan dan nasabnya sebagai orang Aceh sampai 4 keturunan ke atas. Pembatasan ini berlaku bagi struktur organisasi Wali Nanggroe lainnya seperti majelis tuha peuet, majelis fatwa dan majelis tuha lapan. Sedangkan sruktur lainnya juga dibatasi pada kemampuan berbahasa Aceh.
Hal ini kemudian memunculkan gesekan vertikal dan horizontal. Selain "berseteru" dengan Jakarta, beberapa suku minoritas yang tidak setuju dengan pengesahan kedua qanun tersebut mulai menganggap kedua qanun itu tidak mewakili aspirasi semua suku di Aceh seperti Gayo, Alas, Tamiang, Singkil, Aceh Selatan (Aneuk Jamee). Bahkan mereka menilai, selain diskriminatif, Qanun Wali Nanggroe melampau batas kewenangannya.
Keistimewaan lain yang diberikan dalam UU Nomor 11/2006 adalah terkait bendera dan lambang daerah Aceh. Pada 25 Maret 2013, Gubernur Aceh menetapkan Qanun Nomor 3/2013 tentang Lambang dan Bendera Aceh, dengan menetapkan binatang Buraq Singa sebagai lambang dan Bulan Sabit Merah sebagai bendera Aceh. Lambang maupun bendera tersebut merupakan lambang dan bendera yang selama ini dipakai oleh GAM. Padahal, sebelumnya disepakati bendera Aceh adalah Alam Pedang.
Setelah pengesahan kedua qanun tersebut, Mendagri memberikan koreksi, namun Pemerintah Aceh mengabaikannya. Pengabaian koreksi ini direspons Mendagri dengan cara dingin, malah Mendagri mengajak pihak legislatif dan eksekutif Aceh untuk berdialog. Sikap Mendagri ini terkesan membiarkan apa yang sedang terjadi di Aceh dan memberi angin segar bagi PA/GAM untuk terus memperjuangkan kepentingan mereka. Pertemuan antara Mendagri dengan Gubernur Aceh untuk membahas masalah kedua qanun juga terkesan ditutupi. Misalnya, pertemuan tersebut dilakukan secara tertutup antara Mendagri, Gubernur Aceh, dan Malik Mahmud (Pemangku Wali Nanggroe), tanpa melibatkan Pangdam IM, Kapolda Aceh, BIN, serta muspida lainnya.
Sikap Mendagri tersebut telah melahirkan ancaman nyata terhadap keberlangsungan NKRI di Aceh. Sikap Mendagri ini membuat PA/GAM semakin berani mengabaikan aturan hukum negara ini. Bahkan, dalam aspek penganggaran serta pengesahannya, PA/GAM melalui eksekutif dan legislatif telah mengesahkan APBA siluman sebesar Rp1,8 triliun.
Aceh (Tidak Bisa) Merdeka
Dilihat secara teoritik, keberadaan negara bangsa akan terbentuk apabila memenuhi lima syarat penting, yaitu mempunyai wilayah/daerah tertentu; adanya rakyat; adanya pemerintahan; adanya pengakuan negara dari negara-negara lain; dan adanya tujuan negara.
Jika kita mau jujur, kelima syarat tersebut bukanlah hal yang "jauh panggang dari api" lagi bagi Aceh. Sikap pemerintah pusat yang terkesan melakukan pembiaran dapat semakin menguatkan pergerakan politik GAM dan PA. Ini bisa berubah menjadi "tsunami politik", apalagi Aceh kini telah memiliki payung hukum kokoh, yaitu MoU dan UUPA yang masyarakatnya dipersatukan dengan Lambang dan Bendera Aceh. Lambang dan bendera ini pun terus memberikan roh kebangkitan heroisme perjuangan kemerdekaan dan kebencian terhadap pemerintah pusat.
Selain itu, sebagai pemegang kendali di eksekutif dan legislatif, akan memudahkan PA untuk mendapatkan simpati dan dukungan internasional. Bahkan, tujuan bernegara pun akan dengan mudah direalisasikan, mengingat GAM atau PA adalah organisasi yang sudah memiliki tujuan dan cita-cita. Kondisi ini sungguh merisaukan keberlangsungan NKRI di Aceh, terlebih lagi dalam event politik tahun 2014, di mana PA dapat dipastikan akan menguasai parlemen tanpa penyeimbang yang tangguh. Jika ini dibiarkan, maka cita-cita mengamankan NKRI di Aceh akan menjadi kenangan sejarah.
Keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI sebenarnya bukanlah keinginan dari masyarakat Aceh, melainkan kelompok-kelompok kepentingan seperti GAM. Hal ini terlihat dari banyaknya masyarakat Aceh yang turut memprotes lambang dan bendera Aceh yang mirip dengan milik GAM. Keinginan merdeka tersebut tentunya tidak lepas dari kepentingan asing, yang tanpa disadari telah memanfaatkan kelompok tersebut.
Walaupun pemerintah pusat terkesan melakukan pembiaran terhadap masalah-masalah di Aceh, tanpa mereka sadari, berbagai upaya juga telah dilakukan pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat Aceh. Berbagai upaya tersebut juga tidak memakan usaha dan dana yang sedikit. Contohnya, saat Aceh dilanda tsunami tahun 2004. Bagaimana Aceh mampu bertahan dan bangkit kembali tanpa turun tangan pemerintah pusat? Selain itu, pemberian otonomi khusus bagi Aceh yang tidak diberikan kepada provinsi lain di Indonesia. Jika mereka mau menyadari, sebenarnya pemerintah telah melakukan banyak hal bagi Aceh. Oleh karena itu, merdeka bukanlah keinginan yang tepat, dan sampai kapan pun Aceh akan tetap menjadi bagian dari NKRI. (Titi Viorika/Mar)
Titi Viorika adalah pewarta warga.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan,wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.
Mulai 10-20 September ini, Citizen6 mengadakan program menulis bertopik "Komunitasku Keren!". Ada merchandise eksklusif bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.
Advertisement