Tarif 14 ruas tol bakal naik pada akhir September ini. Kenaikan itu dilakukan guna mengembalikan investasi yang sudah dikeluarkan operator jalan tol.
Kondisi ini berbeda dengan sejumlah negara yang justru menggratiskan jalan tol yang dilewati warganya. Lalu mungkinkah tol di Indonesia digratiskan?
Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Achmad Gani Ghazali menjelaskan pembangunan jalan tol dilakukan perusahaan swasta yang mengeluarkan investasi. Data BPJT menyebutkan kebutuhan investasi rata-rata untuk membangun jalan tol di Indonesia Rp 80 miliar-100 miliar per kilometer.
Meski dibangun swasta sebenarnya jalan tol tersebut merupakan milik negara. Si operator hanya mendapatkan konsensi untuk mengelola jalan tol dalam jangka waktu tertentu misalnya, sekitar 35 tahun- 40 tahun.
Pendapatan operator diperoleh melalui penarikan tol selama masa konsesi dan digunakan untuk pengembalian investasi. Agar investasi yang telah dikeluarkan bisa balik modal selama masa konsensi, maka sesuai dengan pasal 48 ayat (3) Undang-undang nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan, disebutkan kenaikan tarif tol dapat dilakukan setiap dua tahun apabila memenuhi SPM (Standar Pelayanan Minimum).
Setelah masa konsensi selesai, para operator wajib mengembalikannya ke negara. Dari situ, Kementerian Pekerjaan Umum akan menentukan nasib jalan tol tersebut.
"Bisa jadi free (gratis) dengan menjadikannya sebagai jalan umum biasa," kata Achmad saat berbincang dengan Liputan6.com, di kantor Kementerian PU, Jakarta seperti ditulis Selasa (17/9/2013).
Masalahnya, saat jalan tol berubah jadi jalan umum biasa maka pengelolaannya akan menjadi beban pemerintah karena harus mengeluarkan biaya operasional dan pemeliharaan.
"Buat masyarakat dulu biasanya kalau jalan tol itu sudah diubah jadi jalan biasa tidak ada pelayanan seperti mobil derek atau patroli," terang dia.
Hal lain yang perlu juga diperhatikan yaitu, saat jalan tol disulap jadi jalan umum akan perubahan tata ruang yang harus diantisipasi pemerintah. Achmad menyebutkan, ketika jalan itu masih menjadi jalan tol, maka di sekitar jalan tol itu kosong dan hanya ada tempat peristirahatan.
"Kalau sudah jadi jalan umum, pasti di pinggir jalan itu dibangun mal, perumahan, industri dan jadinya berantakan. Dalam rangka
menjaga itu, bisa saja pemerintah menetapkan jalan tol itu tetap berfungsi sebagai jalan tol, tapi tarifnya tidak terlalu tinggi. Hanya untuk pemeliharaan dan pengoperaisan saja," tuturnya.
Di Indonesia, ada sejumlah jalan yang semula berbayar sekarang digratiskan. Misalnya, Jembatan Rajamandala di daerah Cianjur, Jawa Barat dan sebuah jembatan di pontianak, Kalimantan Barat.
"Dulu jembatan itu berbayar sekarang jadi berbayar. Tapi kebanyakan jalan tol belum gratis karena sampai sekarang belum ada yang masa konsensinya sudah habis," ungkap Achmad.
Lalu bagaimana dengan jalan tol di luar negeri?
Achmad menyebutkan ada sejumlah negara yang sudah menggratiskan jalan tol yang dipakai rakyatnya. Salah satunya, Inggris. Seluruh biaya pemeliharaan dan pengoperasian ditanggung pemerintah.
"Di sana gratis, tapi ada pengelola. Pengguna tidak bayar, pemerintah yang bayar uang untuk operatornya. Pemerintah dapat uangnya dari pajak yang tinggi," ujar Achmad. (Ndw)
Kondisi ini berbeda dengan sejumlah negara yang justru menggratiskan jalan tol yang dilewati warganya. Lalu mungkinkah tol di Indonesia digratiskan?
Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Achmad Gani Ghazali menjelaskan pembangunan jalan tol dilakukan perusahaan swasta yang mengeluarkan investasi. Data BPJT menyebutkan kebutuhan investasi rata-rata untuk membangun jalan tol di Indonesia Rp 80 miliar-100 miliar per kilometer.
Meski dibangun swasta sebenarnya jalan tol tersebut merupakan milik negara. Si operator hanya mendapatkan konsensi untuk mengelola jalan tol dalam jangka waktu tertentu misalnya, sekitar 35 tahun- 40 tahun.
Pendapatan operator diperoleh melalui penarikan tol selama masa konsesi dan digunakan untuk pengembalian investasi. Agar investasi yang telah dikeluarkan bisa balik modal selama masa konsensi, maka sesuai dengan pasal 48 ayat (3) Undang-undang nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan, disebutkan kenaikan tarif tol dapat dilakukan setiap dua tahun apabila memenuhi SPM (Standar Pelayanan Minimum).
Setelah masa konsensi selesai, para operator wajib mengembalikannya ke negara. Dari situ, Kementerian Pekerjaan Umum akan menentukan nasib jalan tol tersebut.
"Bisa jadi free (gratis) dengan menjadikannya sebagai jalan umum biasa," kata Achmad saat berbincang dengan Liputan6.com, di kantor Kementerian PU, Jakarta seperti ditulis Selasa (17/9/2013).
Masalahnya, saat jalan tol berubah jadi jalan umum biasa maka pengelolaannya akan menjadi beban pemerintah karena harus mengeluarkan biaya operasional dan pemeliharaan.
"Buat masyarakat dulu biasanya kalau jalan tol itu sudah diubah jadi jalan biasa tidak ada pelayanan seperti mobil derek atau patroli," terang dia.
Hal lain yang perlu juga diperhatikan yaitu, saat jalan tol disulap jadi jalan umum akan perubahan tata ruang yang harus diantisipasi pemerintah. Achmad menyebutkan, ketika jalan itu masih menjadi jalan tol, maka di sekitar jalan tol itu kosong dan hanya ada tempat peristirahatan.
"Kalau sudah jadi jalan umum, pasti di pinggir jalan itu dibangun mal, perumahan, industri dan jadinya berantakan. Dalam rangka
menjaga itu, bisa saja pemerintah menetapkan jalan tol itu tetap berfungsi sebagai jalan tol, tapi tarifnya tidak terlalu tinggi. Hanya untuk pemeliharaan dan pengoperaisan saja," tuturnya.
Di Indonesia, ada sejumlah jalan yang semula berbayar sekarang digratiskan. Misalnya, Jembatan Rajamandala di daerah Cianjur, Jawa Barat dan sebuah jembatan di pontianak, Kalimantan Barat.
"Dulu jembatan itu berbayar sekarang jadi berbayar. Tapi kebanyakan jalan tol belum gratis karena sampai sekarang belum ada yang masa konsensinya sudah habis," ungkap Achmad.
Lalu bagaimana dengan jalan tol di luar negeri?
Achmad menyebutkan ada sejumlah negara yang sudah menggratiskan jalan tol yang dipakai rakyatnya. Salah satunya, Inggris. Seluruh biaya pemeliharaan dan pengoperasian ditanggung pemerintah.
"Di sana gratis, tapi ada pengelola. Pengguna tidak bayar, pemerintah yang bayar uang untuk operatornya. Pemerintah dapat uangnya dari pajak yang tinggi," ujar Achmad. (Ndw)