Anak perempuan di sebuah desa di China dan anak pekerja migran lebih mungkin menjadi korban serangan seksual bila ditinggalkan sendiri.
Menurut laporan tersebut, anak perempuan yang ditinggalkan paling rentan terhadap serangan seksual di wilayah kurang berkembang, dan anak perempuan migran atau anak pekerja migran menghadapi kemungkinan lebih tinggi menghadapi serangan di daerah berkembang.
Laporan tersebut, yang disiarkan bersama oleh Dana Remaja dan Anak China (CCTF) dan Pusat Penelitian bagi Filantropi dan Perusahaan Sosial di Beijing Normal University, menuduh kurangnya pengawasan sebagai penyebab langsung bagi serangan seksual lebih banyak dan gangguan yang ditujukan kepada kelompok itu.
Bertambahnya jumlah pekerja desa yang pergi ke kota besar telah mengakibatkan banyak anak jadi migran dan ditinggalkan di China.
Anak yang ditinggalkan adalah anak yang tinggal di rumah mereka di desa setelah orang tua mereka pindah ke kota besar untuk bekerja. Anak-anak itu biasanya dirawat oleh kakek-nenek dan kerabat lain mereka.
Kurangnya pengawalan dasar bahkan dapat mengarah kepada serangan dan gangguan seksual yang berulangkali dan berkepanjangan, kata laporan seperti dikutip dari Xinhua, Senin (16/9/2013).
Chen Xiaoxia, Sekretaris Jenderal CCTF, mengatakan laporan itu didasarkan atas analisis oleh beberapa kelompok peneliti yang telah mengumpulkan daftar pertanyaan dan melakukan studi lapangan di Provinsi Guangdong, Guizhou dan Jilin sejak Maret tahun.
Menurut statistik yang disiarkan oleh federasi perempuan Provinsi Guangdong, anak perempuan migran berjumlah 88 persen dari korban serangan seksual di beberapa kabupaten di Shenzhen, dan anak perempuan yang ditinggalkan berjumlah 94 persen korban di Huazhou.
Anak perempuan yang menghadapi tantangan mental berhadapan dengan kemungkinan lebih besar serangan seksual dibandingkan dengan anak perempuan lain, kata laporan itu.
Masalah perlindungan anak perempuan dari serangan seksual diangkat di China setelah sejumlah skandal seks terungkap tahun ini.
Pada Mei, seorang kepala sekolah dan seorang pegawai pemerintah setempat dari Provinsi Hainan bermalam bersama beberapa siswi sekolah dasar yang berusia 11 dan 14 tahun, sehingga memicu kemarahan masyarakat di seluruh negara tersebut.
Laporan itu menambahkan kurangnya kesadaran pencegahan korban dan pengetahuan serta kekhawatiran mereka mengenai kerentanan telah mengakibatkan terjadinya serangan seksual di dalam keluarga dan antara tetangga, murid dan guru sekolah.
Laporan tersebut menyarankan sektor non-pemerintah memberi perhatian lebih besar kepada anak perempuan yang kekurangan pengawalan dan memperkuat pendidikan buat anak-anak dan wali mereka guna meningkatkan kesadaran mengenai serangan seksual.
Menurut laporan tersebut, anak perempuan yang ditinggalkan paling rentan terhadap serangan seksual di wilayah kurang berkembang, dan anak perempuan migran atau anak pekerja migran menghadapi kemungkinan lebih tinggi menghadapi serangan di daerah berkembang.
Laporan tersebut, yang disiarkan bersama oleh Dana Remaja dan Anak China (CCTF) dan Pusat Penelitian bagi Filantropi dan Perusahaan Sosial di Beijing Normal University, menuduh kurangnya pengawasan sebagai penyebab langsung bagi serangan seksual lebih banyak dan gangguan yang ditujukan kepada kelompok itu.
Bertambahnya jumlah pekerja desa yang pergi ke kota besar telah mengakibatkan banyak anak jadi migran dan ditinggalkan di China.
Anak yang ditinggalkan adalah anak yang tinggal di rumah mereka di desa setelah orang tua mereka pindah ke kota besar untuk bekerja. Anak-anak itu biasanya dirawat oleh kakek-nenek dan kerabat lain mereka.
Kurangnya pengawalan dasar bahkan dapat mengarah kepada serangan dan gangguan seksual yang berulangkali dan berkepanjangan, kata laporan seperti dikutip dari Xinhua, Senin (16/9/2013).
Chen Xiaoxia, Sekretaris Jenderal CCTF, mengatakan laporan itu didasarkan atas analisis oleh beberapa kelompok peneliti yang telah mengumpulkan daftar pertanyaan dan melakukan studi lapangan di Provinsi Guangdong, Guizhou dan Jilin sejak Maret tahun.
Menurut statistik yang disiarkan oleh federasi perempuan Provinsi Guangdong, anak perempuan migran berjumlah 88 persen dari korban serangan seksual di beberapa kabupaten di Shenzhen, dan anak perempuan yang ditinggalkan berjumlah 94 persen korban di Huazhou.
Anak perempuan yang menghadapi tantangan mental berhadapan dengan kemungkinan lebih besar serangan seksual dibandingkan dengan anak perempuan lain, kata laporan itu.
Masalah perlindungan anak perempuan dari serangan seksual diangkat di China setelah sejumlah skandal seks terungkap tahun ini.
Pada Mei, seorang kepala sekolah dan seorang pegawai pemerintah setempat dari Provinsi Hainan bermalam bersama beberapa siswi sekolah dasar yang berusia 11 dan 14 tahun, sehingga memicu kemarahan masyarakat di seluruh negara tersebut.
Laporan itu menambahkan kurangnya kesadaran pencegahan korban dan pengetahuan serta kekhawatiran mereka mengenai kerentanan telah mengakibatkan terjadinya serangan seksual di dalam keluarga dan antara tetangga, murid dan guru sekolah.
Laporan tersebut menyarankan sektor non-pemerintah memberi perhatian lebih besar kepada anak perempuan yang kekurangan pengawalan dan memperkuat pendidikan buat anak-anak dan wali mereka guna meningkatkan kesadaran mengenai serangan seksual.