Kebutuhan setiap orang tentu berbeda dan tak semuanya bisa dipenuhi dengan uang yang banyak. Katakan saja ada seorang wanita single parent yang bekerja dengan gaji minimum. Lalu bandingkan dengan kekayaan CEO yang menyandang gelar miliarder. Siapa yang lebih kaya?
Seperti dilansir dari Business Insider, Kamis (19/8/2013), tak ada yang lebih kaya di antara keduanya. Si ibu rumah tangga tak pernah memperoleh cukup uang sedangkan CEO tersebut selalu kehabisan waktu mengingat banyaknya rapat yang harus dia hadiri.
Mengutip tulisan dari buku terbaru yang diterbitkan ekonom Harvard Sendhil Mullainathan dan Psikolog Eldar Shafir, meskipun kebutuhan keduanya berbeda, tapi dampak ketakutan mental akan finansial yang dihadapinya tetap mrip. Keduanya tetap merasa miskin meski telah bekerja dengan sangat keras.
Dalam buku berjudul 'Scarcity: Why Having So Little Means So Much' Mullainathan dan Shafir menggunakan sejumlah eksperimen untuk menelusuri seberapa besar kekurangan seseorang membuatnya berjuang sehari-hari guna menutupinya.
"Saat Anda mengalami ketakutan, seperti takut kekurangan uang, makanan, atau waktu, dampaknya justru membuat Anda melewatkan banyak hal penting dalam kehidupan," ujar Shafir.
Ketakutan finansial menjadi alasan CEO tersebut terlalu fokus pada beban kerjanya. Kesibukan tersebut membuatnya miskin waktu dan bisa jadi melewatkan berbagai kebersamaan dengan anaknya. Dia juga sulit untuk berkumpul dengan keluarga karena seringkali terdapat banyak rapat dadakan bersama klien. Meski kaya raya, CEO tersebut tak bisa menikmatinya karena miskin waktu.
Sedangkan kecemasan finasial juga menjadi alasan ibu rumah tangga terlalu fokus memikirkan banyak pembayaran yang harus dipenuhinya seperti kontrak rumah, pinjaman dan lainnya. Meski sudah bekerja keras, wanita yang menjadi single parent itu tetap miskin secara finansial.
Kaya atau miskin, kemampuan seseorang memiliki batasan kemampuan dalam mengatasi berbagai tantangan hidup sehari-hari. Seluruh kesibukan yang dilakukannya bisa membuat seseorang merasa miskin. (Sis/Ndw)
Seperti dilansir dari Business Insider, Kamis (19/8/2013), tak ada yang lebih kaya di antara keduanya. Si ibu rumah tangga tak pernah memperoleh cukup uang sedangkan CEO tersebut selalu kehabisan waktu mengingat banyaknya rapat yang harus dia hadiri.
Mengutip tulisan dari buku terbaru yang diterbitkan ekonom Harvard Sendhil Mullainathan dan Psikolog Eldar Shafir, meskipun kebutuhan keduanya berbeda, tapi dampak ketakutan mental akan finansial yang dihadapinya tetap mrip. Keduanya tetap merasa miskin meski telah bekerja dengan sangat keras.
Dalam buku berjudul 'Scarcity: Why Having So Little Means So Much' Mullainathan dan Shafir menggunakan sejumlah eksperimen untuk menelusuri seberapa besar kekurangan seseorang membuatnya berjuang sehari-hari guna menutupinya.
"Saat Anda mengalami ketakutan, seperti takut kekurangan uang, makanan, atau waktu, dampaknya justru membuat Anda melewatkan banyak hal penting dalam kehidupan," ujar Shafir.
Ketakutan finansial menjadi alasan CEO tersebut terlalu fokus pada beban kerjanya. Kesibukan tersebut membuatnya miskin waktu dan bisa jadi melewatkan berbagai kebersamaan dengan anaknya. Dia juga sulit untuk berkumpul dengan keluarga karena seringkali terdapat banyak rapat dadakan bersama klien. Meski kaya raya, CEO tersebut tak bisa menikmatinya karena miskin waktu.
Sedangkan kecemasan finasial juga menjadi alasan ibu rumah tangga terlalu fokus memikirkan banyak pembayaran yang harus dipenuhinya seperti kontrak rumah, pinjaman dan lainnya. Meski sudah bekerja keras, wanita yang menjadi single parent itu tetap miskin secara finansial.
Kaya atau miskin, kemampuan seseorang memiliki batasan kemampuan dalam mengatasi berbagai tantangan hidup sehari-hari. Seluruh kesibukan yang dilakukannya bisa membuat seseorang merasa miskin. (Sis/Ndw)