Citizen6, Yogyakarta: Menyala, terus menyala. Bak cahaya lilin yang menerangi sekitarnya. Cahayanya tidak pernah redup karena sang penjaga silih berganti.
Seperti itulah menggambarkan komunitas Teater Lilin, sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Teater Lilin menjadi komunitas yang bisa dikatakan sebagai sarangnya orang-orang kreatif dan tidak pernah lekang oleh waktu. Setiap waktu selalu dihiasi dengan kreasi yang baru dan membuat komunitas ini aktif, baik didalam maupun diluar kampus.
Komunitas yang lahir pada April 1990 ini sejak awal berdirinya memang bertujuan untuk memberikan ruang ekspresi mahasiswa dibidang kesenian, khususnya seni pertunjukkan. Memasuki 2 dekade, Teater Lilin tidak sepi penghuni. Anggota aktif Teater Lilin hingga saat ini mencapai 60 orang sedangkan bala kurawa mencapai ratusan orang.
Saat ini, komunitas yang dipimpin oleh Ratna Patria bisa dibilang sangat aktif dalam kegiatannya. Aktivitasnya tidak selalu berhubungan dengan pementasan saja, melainkan merambah dunia sastra dan pers kampus. Aktivitas diluar kampus Teater Lilin juga bisa dikatakan cukup semarak, beberapa kali diminta untuk mengisi berbagai kegiatan. Seperti opening ceremony, lauching produk, sebagai pengisi acara dibeberapa instansi.
Tentunya jika ditelaah, dengan aktivitas yang tinggi. Bagaimana komunitas yang notabene dihuni oleh mahasiswa dalam terus eksis dikampus maupun luar kampus. Ya jawabannya adalah Teater Lilin memang tidak hanya sekedar komunitas atau UKM semata, melainkan lebih sebuah arena untuk anggotanya berkembang. Kami didalamnya begitu bebas bergerak, seakan sepakat untuk selalu mewujudkan angan dalam tiap waktunya.
Untuk itu penulis mencoba menjabarkan secara detil segala aktivitas yang dilakukan Teater Lilin, ya komunitas tempat kami berkembang, belajar dan mencari jati diri. Berikut ini berbagai aktivitas rutin Teater Lilin:
1. Workshop Teater
Sebagai Unit kegiatan sekaligus komunitas yang fokus pada seni pertunjukkan pengenalan terhadap teknik dasar, seperti dramaturgi, manajemen seni pertunjukkan dan lain-lain selalu diajarkan kepada setiap calon anggota. Agenda ini tidaklah dilakukan seperti proses belajar mengajar, akan tetapi sharing pengalaman. Hal ini menjadikan pengetahuan yang diberikan mudah ditangkap dan tidak terlalu sulit untuk diterima.
2. Studi Pentas
Merupakan ajang bari para newcomers untuk menjajal bagaimana melakukan proses pementasan yang sesungguhnya. Dari mulai pra, produksi hingga pascaproduksi. Pementasan ini benar-benar ajang untuk anggota yang baru menikmati dunia seni pertunjukkan, tidak hanya sebagai aktor, tetapi juga pendukung pementasan belakang panggung yang tak kalah pentingnya.
3. Pementasan independen
Yup, ketika studi pentas sudah terlaksana. Sekarang saatnya kami unjuk gigi bagaimana mengelola pementasan secara independen. Biasanya lingkupnya lebih luas, pada momen ini kami siap untuk menjajal bagaimana kejamnya panggung kesenian Yogyakarta yang dihuni oleh banyak sekali seniman. Dalam pementasan seperti ini, banyak sekali hasil yang kami dapat. Tidak hanya sekedar bisa manggung, tetapi menjalankan manajemen pertunjukkan dan menghadirkannya secara nyata merupakan kepuasan tersendiri. Dan dipastikan ingatan atau memori itu tidak pernah lekang oleh waktu.
4. Regenerasi
Sebagai komunitas yang berada dibawah naungan institusi pendidikan dan Teater Lilin juga salah satu Unit kegiatan mahasiswa. Hal ini menuntut sebuah regenerasi, agar dalam organisasinya tidak mengalami kebuntuan pengurus. Regenerasi sangat penting, mengingat kami tidak selamanya berada dalam lingkup kampus. Disinilah kami belajar berorganisasi, berpolitik (saat memilih dan dipilih sebagai pengurus organisasi).
Selain kegiatan rutin itu, masih banyak aktivitas Teater Lilin. Aktivitas ini muncul sebagai bentuk pencarian atau kegelisahan akan sekitar. Hal ini tidak hanya bersinggungan dengan dunia seni pertunjukan saja. Apapun itu baik aktivitas politik kampus, bercocok tanam, sebagai agen pencari bakat/pengisi acara.
Dalam lingkup kampus, kami sangat respect dengan isu-isu sensitive dengan kebijakan yang ada. Apalagi yang bersinggungan langsung dengan mahasiswa, ya seperti ditempat lainnya. Sulit untuk kami hanya diam dan menonton. Sebagai bagian dari agent of change, kami menyuarakan protes, opini, harapan lewat tulisan. Ya semacam buletin yang kami buat secara cuma-cuma agar civitas akademika dapat melihat bahwa tidak semua mahasiswa hanya menyuarakan protes, ketidaksenanggan dengan berunjuk rasa.
Itu diranah politik kampus, ada hal yang lebih keren lagi nih. Beberapa saat yang lalu, kami memutuskan diri untuk menjadi petani disepetak tanah yang tidak digunakan diarea kampus. Kami memutuskan menanam beberapa tanaman dan berharap mendapat hasil. Dan memang benar kata pepatah "kita menanam maka kita menuai". Kami menikmati beberapa hasil kebun kami. Seperti, semangka, cabe, tomat, sawi. Memang tidak banyak, berhubung tanah yang kami olah hanya sekitar 5 x 3 meter. Tapi ada sebuah kepuasan yang tak terhingga, dan secara tidak sengaja kami juga belajar bagaimana bercocok tanam yang benar.
Teater Lilin sebagai wadah dan tempat kami berekspresi, tidak selalu dipandang positif oleh lingkungan kami. Stigma negatif tidak hilang dengan mudah tentang komunitas teater. Beberapa pihak menilai, komunitas teater merupakan tempat orang gila, yang hidup semaunya, berperilaku semaunya. Waktu demi waktu kami terus berusaha mengurangi anggapan itu terhadap komunitas kami. (David Eka Issetiabudi/Arn)
*David Eka Issetiabudi adalah pewarta warga.
Seperti itulah menggambarkan komunitas Teater Lilin, sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Teater Lilin menjadi komunitas yang bisa dikatakan sebagai sarangnya orang-orang kreatif dan tidak pernah lekang oleh waktu. Setiap waktu selalu dihiasi dengan kreasi yang baru dan membuat komunitas ini aktif, baik didalam maupun diluar kampus.
Komunitas yang lahir pada April 1990 ini sejak awal berdirinya memang bertujuan untuk memberikan ruang ekspresi mahasiswa dibidang kesenian, khususnya seni pertunjukkan. Memasuki 2 dekade, Teater Lilin tidak sepi penghuni. Anggota aktif Teater Lilin hingga saat ini mencapai 60 orang sedangkan bala kurawa mencapai ratusan orang.
Saat ini, komunitas yang dipimpin oleh Ratna Patria bisa dibilang sangat aktif dalam kegiatannya. Aktivitasnya tidak selalu berhubungan dengan pementasan saja, melainkan merambah dunia sastra dan pers kampus. Aktivitas diluar kampus Teater Lilin juga bisa dikatakan cukup semarak, beberapa kali diminta untuk mengisi berbagai kegiatan. Seperti opening ceremony, lauching produk, sebagai pengisi acara dibeberapa instansi.
Tentunya jika ditelaah, dengan aktivitas yang tinggi. Bagaimana komunitas yang notabene dihuni oleh mahasiswa dalam terus eksis dikampus maupun luar kampus. Ya jawabannya adalah Teater Lilin memang tidak hanya sekedar komunitas atau UKM semata, melainkan lebih sebuah arena untuk anggotanya berkembang. Kami didalamnya begitu bebas bergerak, seakan sepakat untuk selalu mewujudkan angan dalam tiap waktunya.
Untuk itu penulis mencoba menjabarkan secara detil segala aktivitas yang dilakukan Teater Lilin, ya komunitas tempat kami berkembang, belajar dan mencari jati diri. Berikut ini berbagai aktivitas rutin Teater Lilin:
1. Workshop Teater
Sebagai Unit kegiatan sekaligus komunitas yang fokus pada seni pertunjukkan pengenalan terhadap teknik dasar, seperti dramaturgi, manajemen seni pertunjukkan dan lain-lain selalu diajarkan kepada setiap calon anggota. Agenda ini tidaklah dilakukan seperti proses belajar mengajar, akan tetapi sharing pengalaman. Hal ini menjadikan pengetahuan yang diberikan mudah ditangkap dan tidak terlalu sulit untuk diterima.
2. Studi Pentas
Merupakan ajang bari para newcomers untuk menjajal bagaimana melakukan proses pementasan yang sesungguhnya. Dari mulai pra, produksi hingga pascaproduksi. Pementasan ini benar-benar ajang untuk anggota yang baru menikmati dunia seni pertunjukkan, tidak hanya sebagai aktor, tetapi juga pendukung pementasan belakang panggung yang tak kalah pentingnya.
3. Pementasan independen
Yup, ketika studi pentas sudah terlaksana. Sekarang saatnya kami unjuk gigi bagaimana mengelola pementasan secara independen. Biasanya lingkupnya lebih luas, pada momen ini kami siap untuk menjajal bagaimana kejamnya panggung kesenian Yogyakarta yang dihuni oleh banyak sekali seniman. Dalam pementasan seperti ini, banyak sekali hasil yang kami dapat. Tidak hanya sekedar bisa manggung, tetapi menjalankan manajemen pertunjukkan dan menghadirkannya secara nyata merupakan kepuasan tersendiri. Dan dipastikan ingatan atau memori itu tidak pernah lekang oleh waktu.
4. Regenerasi
Sebagai komunitas yang berada dibawah naungan institusi pendidikan dan Teater Lilin juga salah satu Unit kegiatan mahasiswa. Hal ini menuntut sebuah regenerasi, agar dalam organisasinya tidak mengalami kebuntuan pengurus. Regenerasi sangat penting, mengingat kami tidak selamanya berada dalam lingkup kampus. Disinilah kami belajar berorganisasi, berpolitik (saat memilih dan dipilih sebagai pengurus organisasi).
Selain kegiatan rutin itu, masih banyak aktivitas Teater Lilin. Aktivitas ini muncul sebagai bentuk pencarian atau kegelisahan akan sekitar. Hal ini tidak hanya bersinggungan dengan dunia seni pertunjukan saja. Apapun itu baik aktivitas politik kampus, bercocok tanam, sebagai agen pencari bakat/pengisi acara.
Dalam lingkup kampus, kami sangat respect dengan isu-isu sensitive dengan kebijakan yang ada. Apalagi yang bersinggungan langsung dengan mahasiswa, ya seperti ditempat lainnya. Sulit untuk kami hanya diam dan menonton. Sebagai bagian dari agent of change, kami menyuarakan protes, opini, harapan lewat tulisan. Ya semacam buletin yang kami buat secara cuma-cuma agar civitas akademika dapat melihat bahwa tidak semua mahasiswa hanya menyuarakan protes, ketidaksenanggan dengan berunjuk rasa.
Itu diranah politik kampus, ada hal yang lebih keren lagi nih. Beberapa saat yang lalu, kami memutuskan diri untuk menjadi petani disepetak tanah yang tidak digunakan diarea kampus. Kami memutuskan menanam beberapa tanaman dan berharap mendapat hasil. Dan memang benar kata pepatah "kita menanam maka kita menuai". Kami menikmati beberapa hasil kebun kami. Seperti, semangka, cabe, tomat, sawi. Memang tidak banyak, berhubung tanah yang kami olah hanya sekitar 5 x 3 meter. Tapi ada sebuah kepuasan yang tak terhingga, dan secara tidak sengaja kami juga belajar bagaimana bercocok tanam yang benar.
Teater Lilin sebagai wadah dan tempat kami berekspresi, tidak selalu dipandang positif oleh lingkungan kami. Stigma negatif tidak hilang dengan mudah tentang komunitas teater. Beberapa pihak menilai, komunitas teater merupakan tempat orang gila, yang hidup semaunya, berperilaku semaunya. Waktu demi waktu kami terus berusaha mengurangi anggapan itu terhadap komunitas kami. (David Eka Issetiabudi/Arn)
*David Eka Issetiabudi adalah pewarta warga.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.
Mulai 10-20 September ini, Citizen6 mengadakan program menulis bertopik "Komunitasku Keren!". Ada merchandise eksklusif bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.
Advertisement