PT Indofarma Tbk berencana akan melobi pemerintah untuk bisa menaikkan harga jual obat generik. Upaya ini terpaksa dilakukan perseroan mengingat nilai tukar rupiah yang tak kunjung menguat secara signifikan.
Direktur Keuangan Indofarma, John Sebayang mengungkapkan, adanya depresiasi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sejak beberapa bulan terakhir ini mengerek harga bahan baku obat yang mayoritas masih diimpor dari China.
"Kami melihat nilai tukar rupiah masih di atas Rp 11 ribu per dolar AS dan jika ini terus berlanjut, maka kami akan berusaha mendatangi Departemen Kesehatan (Depkes) untuk merevisi harga obat generik dari pemerintah dalam e-katalog," ungkap dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Minggu (22/9/2013).
Rencana tersebut, menurut dia akan dilakukan sekitar akhir bulan ini supaya perseroan dapat memperoleh marjin atau keuntungan yang cukup dari penjualan obat generik di dalam negeri.
Namun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berkode emiten INAF itu mengaku masih mempertahankan harga jual obat generik hingga saat ini meskipun marjin semakin tergerus. John mengatakan, perseroan masih memiliki stok bahan baku untuk memproduksi 128 jenis obat.
"Kami masih punya stok bahan baku obat yang cukup untuk 1-2 bulan ini dengan nilai US$ 9 juta. Tapi jika membeli bahan baku lagi dengan harga yang baru, maka kami harus naikkan harga jual obat," jelasnya.
Dia menghitung, harga pokok produksi (HPP) obat generik telah meningkat sekitar 8%-10%. Perhitungan tersebut memang di luar perkiraan perseroan yang memprediksi kurs rupiah akan bertengger di posisi Rp 9.600 per dolar AS. "Kalau tidak dinaikkan (harga) maka kami bisa rugi saking marjinnya tipis. Dan kami tidak mungkin produksi obat yang rugi," keluh John.
Meski begitu dia bilang, lebih mudah menaikkan harga obat non generik secara perlahan. Namun kenaikan harga tidak mencapai 10%. "Kami berharap rupiah tidak terus melemah dan bisa melaju di bawah Rp 11 ribu karena untuk kembali ke Rp 9.600 atau Rp 10 ribu akan sangat sulit," tukas John. (Fik/Igw)
Direktur Keuangan Indofarma, John Sebayang mengungkapkan, adanya depresiasi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sejak beberapa bulan terakhir ini mengerek harga bahan baku obat yang mayoritas masih diimpor dari China.
"Kami melihat nilai tukar rupiah masih di atas Rp 11 ribu per dolar AS dan jika ini terus berlanjut, maka kami akan berusaha mendatangi Departemen Kesehatan (Depkes) untuk merevisi harga obat generik dari pemerintah dalam e-katalog," ungkap dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Minggu (22/9/2013).
Rencana tersebut, menurut dia akan dilakukan sekitar akhir bulan ini supaya perseroan dapat memperoleh marjin atau keuntungan yang cukup dari penjualan obat generik di dalam negeri.
Namun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berkode emiten INAF itu mengaku masih mempertahankan harga jual obat generik hingga saat ini meskipun marjin semakin tergerus. John mengatakan, perseroan masih memiliki stok bahan baku untuk memproduksi 128 jenis obat.
"Kami masih punya stok bahan baku obat yang cukup untuk 1-2 bulan ini dengan nilai US$ 9 juta. Tapi jika membeli bahan baku lagi dengan harga yang baru, maka kami harus naikkan harga jual obat," jelasnya.
Dia menghitung, harga pokok produksi (HPP) obat generik telah meningkat sekitar 8%-10%. Perhitungan tersebut memang di luar perkiraan perseroan yang memprediksi kurs rupiah akan bertengger di posisi Rp 9.600 per dolar AS. "Kalau tidak dinaikkan (harga) maka kami bisa rugi saking marjinnya tipis. Dan kami tidak mungkin produksi obat yang rugi," keluh John.
Meski begitu dia bilang, lebih mudah menaikkan harga obat non generik secara perlahan. Namun kenaikan harga tidak mencapai 10%. "Kami berharap rupiah tidak terus melemah dan bisa melaju di bawah Rp 11 ribu karena untuk kembali ke Rp 9.600 atau Rp 10 ribu akan sangat sulit," tukas John. (Fik/Igw)