Citizen6, Jakarta: Isu terbaru dan cukup hangat adalah masalah mobil murah dan ramah lingkungan (low cost green car) produksi Kementerian Perindustrian yang direncanakan akan dijual kepada masyarakat disamping ekspor.
Reaksi keras menentang rencana produksi dan memasarkan produk tersebut kedalam masyarakat datang dari Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta, dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, yang kebetulan kedua-duanya dari PDI-P dengan alasan kemacetan kota Jakarta dan kota-kota di Jawa Tengah akan bertambah parah.
Sementara itu, media massa sedemikian jauh belum menyuarakan sikapnya, meskipun berkat media massa isu tersebut praktis telah menjadi berita yang cukup luas ditangkap masyarakat dan menjadi materi perdebatan secara terbuka oleh berbagai tokoh masyarakat, antara mereka yang pro pemerintah dan mereka yag pro Joko Widodo. Media massa menyajikan banyak membuat berita mengenai mobil murah, menandai bahwa isu mobil murah adalah isu yang sensitif.
Dengan disertai penghargaan kepada media massa yang telah secara tidak sadar menyajikan isu tersebut sebagai informasi yang luas kepada masyarakat, diantaranya kepada lembaga intelijen sekalipun seperti BIN tentunya juga merupakan informasi berharga untuk digunakan sebagai bahan mengatisipasi saran tindak yang mungkin diajukan kepada Pemerintah apabila diperlukan.
Pro Kontra Mobil Murah
Dari berbagai berita yang beredar terkait low cost green car, ternyata masih menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat. Menurut anggota Komisi V DPR dari Fraksi PDIP Nusyirwan Soejono, cara penjualan mobil murah ke seluruh wilayah Indonesia tidak ada gunanya, karena kehadiran mobil murah atau mobil LCGC akan menambah kemacetan setiap hari. Nusyirwan memberi contoh, pemasaran mobil murah dilakukan di Pacitan, Jawa Timur. Namun kendaraan yang dibeli di kota kecil sudah bisa masuk ke kota besar seperti Surabaya. "Apa kendaraan tidak boleh ke Surabaya? Tidak ada ketentuan klausul membatasi pengemudi antarpulau antardaerah," ungkap Nusyirwan. Nusyirwan menambahkan penjatahan, penjualan itu tidak sama dengan membatasi penggunaannya melakukan perjalanan. Karena hal tersebut, kota-kota besar juga akan merasakan kemacetan yang lebih parah akibat mobil murah tersebut
Pendapat berbeda disampaikan Ketua DPR-RI, Marzuki Alie. Menurut politikus Partai Demokrat ini, dirinya setuju dengan wacana mobil murah yang digulirkan pemerintah melalui Low Cost Green Car (LCGC) dengan kisaran harga di bawah Rp100 juta untuk mengurangi konsumsi bahan bakar minyak (subsidi) dan memperkuat industri otomotif Indonesia. Marzuki menilai mobil murah tersebut dapat memperkuat industri di Indonesia khususnya dalam menghadapi persaingan perdagangan bebas ASEAN 2015 mendatang. "Persoalan kemacetan jangan dikaitkan dengan industrialisasi. Bangun industri penting loh, ada lokomotif yang harus kita kedepankan. Kita unggulnya dalam bidang apa di kawasan ASEAN, kalau kita unggulnya dalam otomotif, kita kembangkan bidang otomotif," beber Marzuki di Warung Daun Cikini, Jakarta, Sabtu (21/9/2013). Sangat berbahaya bagi Indonesia tidak memiliki unggulan dalam pasar bebas ASEAN. Jika tidak siap, mau atau tidak mau, kata dia, Indonesia tetap akan dibanjiri mobil murah dari negara lain. Terkait dengan adanya keberatan soal pengadaan mobil murah yang bisa menyebabkan kemacetan, seperti dikatakan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, menurut Marzuki itu persoalan lain.
Sementara itu, berbagai kalangan yang pro atau setuju dengan program pemerintah terkait mobil murah tersebut pada intinya menyatakan, program mobil murah dan berteknologi ramah lingkungan. Hal ini merupakan kebutuhan di Indonesia, sebab saat ini mobil ramah lingkungan sangat minim. Namun, karena infrastruktur jalan dan tranasportasi umum masih dalam pembenahan, hendaknya produksi mobil murah dilakukan dalam jumlah yang tidak banyak. Sebab, jika produksi tinggi, sementara angkutan umum dan jalan masih tebatas, maka kemacetan lalu lintas yang saat ini sudah padat akan semakin parah, seperti kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang etiap hari disesaki jutaan kendaraan pribadi, baik mobil maupun motor. Nah, jika LCGC dijual secara besar-besaran di kawasan ini, maka upaya pemerintah untuk mengurai kepadatan jalan semakin sulit. Apalagi program pembangunan MRT dan Monorail di Jakarta masih belum terealisasi.
Menjelang Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015, peluang untuk pasar otomotif terlebih produk mobil murah sangat terbuka. Dia berharap Indonesia jadi salah satu produsen produk otomotif.
Reaksi keras menentang rencana produksi dan memasarkan produk tersebut kedalam masyarakat datang dari Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta, dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, yang kebetulan kedua-duanya dari PDI-P dengan alasan kemacetan kota Jakarta dan kota-kota di Jawa Tengah akan bertambah parah.
Sementara itu, media massa sedemikian jauh belum menyuarakan sikapnya, meskipun berkat media massa isu tersebut praktis telah menjadi berita yang cukup luas ditangkap masyarakat dan menjadi materi perdebatan secara terbuka oleh berbagai tokoh masyarakat, antara mereka yang pro pemerintah dan mereka yag pro Joko Widodo. Media massa menyajikan banyak membuat berita mengenai mobil murah, menandai bahwa isu mobil murah adalah isu yang sensitif.
Dengan disertai penghargaan kepada media massa yang telah secara tidak sadar menyajikan isu tersebut sebagai informasi yang luas kepada masyarakat, diantaranya kepada lembaga intelijen sekalipun seperti BIN tentunya juga merupakan informasi berharga untuk digunakan sebagai bahan mengatisipasi saran tindak yang mungkin diajukan kepada Pemerintah apabila diperlukan.
Pro Kontra Mobil Murah
Dari berbagai berita yang beredar terkait low cost green car, ternyata masih menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat. Menurut anggota Komisi V DPR dari Fraksi PDIP Nusyirwan Soejono, cara penjualan mobil murah ke seluruh wilayah Indonesia tidak ada gunanya, karena kehadiran mobil murah atau mobil LCGC akan menambah kemacetan setiap hari. Nusyirwan memberi contoh, pemasaran mobil murah dilakukan di Pacitan, Jawa Timur. Namun kendaraan yang dibeli di kota kecil sudah bisa masuk ke kota besar seperti Surabaya. "Apa kendaraan tidak boleh ke Surabaya? Tidak ada ketentuan klausul membatasi pengemudi antarpulau antardaerah," ungkap Nusyirwan. Nusyirwan menambahkan penjatahan, penjualan itu tidak sama dengan membatasi penggunaannya melakukan perjalanan. Karena hal tersebut, kota-kota besar juga akan merasakan kemacetan yang lebih parah akibat mobil murah tersebut
Pendapat berbeda disampaikan Ketua DPR-RI, Marzuki Alie. Menurut politikus Partai Demokrat ini, dirinya setuju dengan wacana mobil murah yang digulirkan pemerintah melalui Low Cost Green Car (LCGC) dengan kisaran harga di bawah Rp100 juta untuk mengurangi konsumsi bahan bakar minyak (subsidi) dan memperkuat industri otomotif Indonesia. Marzuki menilai mobil murah tersebut dapat memperkuat industri di Indonesia khususnya dalam menghadapi persaingan perdagangan bebas ASEAN 2015 mendatang. "Persoalan kemacetan jangan dikaitkan dengan industrialisasi. Bangun industri penting loh, ada lokomotif yang harus kita kedepankan. Kita unggulnya dalam bidang apa di kawasan ASEAN, kalau kita unggulnya dalam otomotif, kita kembangkan bidang otomotif," beber Marzuki di Warung Daun Cikini, Jakarta, Sabtu (21/9/2013). Sangat berbahaya bagi Indonesia tidak memiliki unggulan dalam pasar bebas ASEAN. Jika tidak siap, mau atau tidak mau, kata dia, Indonesia tetap akan dibanjiri mobil murah dari negara lain. Terkait dengan adanya keberatan soal pengadaan mobil murah yang bisa menyebabkan kemacetan, seperti dikatakan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, menurut Marzuki itu persoalan lain.
Sementara itu, berbagai kalangan yang pro atau setuju dengan program pemerintah terkait mobil murah tersebut pada intinya menyatakan, program mobil murah dan berteknologi ramah lingkungan. Hal ini merupakan kebutuhan di Indonesia, sebab saat ini mobil ramah lingkungan sangat minim. Namun, karena infrastruktur jalan dan tranasportasi umum masih dalam pembenahan, hendaknya produksi mobil murah dilakukan dalam jumlah yang tidak banyak. Sebab, jika produksi tinggi, sementara angkutan umum dan jalan masih tebatas, maka kemacetan lalu lintas yang saat ini sudah padat akan semakin parah, seperti kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang etiap hari disesaki jutaan kendaraan pribadi, baik mobil maupun motor. Nah, jika LCGC dijual secara besar-besaran di kawasan ini, maka upaya pemerintah untuk mengurai kepadatan jalan semakin sulit. Apalagi program pembangunan MRT dan Monorail di Jakarta masih belum terealisasi.
Menjelang Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015, peluang untuk pasar otomotif terlebih produk mobil murah sangat terbuka. Dia berharap Indonesia jadi salah satu produsen produk otomotif.
Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, ada tiga hal yang ingin dicapai oleh pemerintah dari dikeluarkannya aturan mobil murah seharga di bawah Rp 100 juta yaitu pertama, memperkuat strategi kita untuk mengurangi konsumsi BBM. Kedua, aturan mobil murah ini harus memperkuat strategi dan komitmen pemerintah mengurangi 26% efek gas rumah kaca pada 2020. Ketiga, harus memperkuat struktur industri otomotif kita, jangan sekedar hanya merakit saja. Tapi akhirnya menjadi mobil nasional, memproduksi sendiri, dalam lokal konten yang tinggi. Sepanjang ini dicapai, saya kira memenuhi kriteria.
Sementara soal pro dan kontra mobil murah yang timbul saat ini, Hatta mengatakan pemerintah akan memantau perkembangan mobil murah di Indonesia. Pemerintah tidak akan menutup atau menarik aturan ini, karena akan menimbulkan ketidakpastian.
Pakar Ekonomi, Didik J. Rachbini menilai positif program pemerintah melalui mobil murah yang disebut Low Cost Green Car (LCGC) dengan kisaran harga di bawah Rp 100 juta. Paling tidak menurut Didik, kebijakan mobil murah bagus sekali agar akses rakyat semakin luas pada sarana transportasi, bisa dijadikan basis untuk ekspor menambah devisa untuk kekuatan ekonomi.
Mantan Wakil Presiden RI, Muhammad Jusuf Kalla, yang juga Ketua Umum PMI pusat, mendukung kebijakan mobil murah di Indonesia. Menurut Kalla, tidak adil jika ada pihak yang melarang dan tidak setuju dengan kebijakan tersebut. Hal itu menghilangkan hak rakyat berkemampuan pas-pasan yang ingin memiliki mobil.
Mobil murah dan ramah lingkungan yang dicanangkan melalui slogan untuk sasaran industri otomotif tidak pernah terdengar, bahkan ketika Jokowi mensponsori Mobil Esemka Solo ketika ia masih menjabat Walikota Solo. Tidak satu patah kata pun Kemeterian Perindistrian mengomentari mobil murah produk Esemka Solo. Nampaknya Kementerian Perindustrian merasa tertinggal dan mulailah sejak itu program otomotif mobil murah dilakukan, tanpa pedoman yang jelas ada atau tidakkah GBHN yang telah ditetapkan Pemerintah untuk mengembangkan industry mobil murah dan ramah lingkungan.
Sikap Gubernur DKI Jokowi yang menolak mobil murah program Pemerintah cq Kementerian Perindustrian yang merencanakan akan memasarkan didalam negeri, secara formal didasarkan alasan situasional dapat mengakibatkan jumlah mobil dijalanan akan bertambah banyak dan selanjutnya kemacetan yang juga akan bertambah parah.
Pihak yang mendukung Program Pemerintah beralasan, penjualan mobil murah tersebut akan memberikan pemasukan ganda dibidang pajak, berbagai macam biaya pengurusan BPKB, Plat Nomor, dan lain-lain. Yang paling telak adalah program mobil murah tersebut adalah program Pemerintah yang mau tidak mau harus dilaksanakan. Sementara itu Jokowi hanya bisa mengatakan program pemerintah tersebut salah, yang benar adalah program transportasi murah bukan program membuat mobil murah.
Jokowi juga berdalih Pemerintah tidak konsekwen, ketika mobil Esemka Solo diperkenalkan sebagai mobil murah yang lolos uji kelayakan dan siap untuk diproduksi, Kementerian Pertindustrian diam saja. Secara tidak langsung, Jokowi mungkin menilai ada kepentingan bisnis dibelakang program mobil murah made in Kementerian Perindustrian tersebut .
Di tinjau dari perspektif ilmu politik, kontroversi mobil murah ini harus menjadikan parpol yang mempunyai kursi di DPR lekas sadar, bahwa negara ini dalam membangun dilakukan tanpa GBHN. Salah satu akibatnya adalah tiba-tiba lahir produk otomotif berupa mobil harga murah yang dikatakan ramah lingkungan, namun tidak jelas konsepsi strategisnya. Oleh karenanya, parpol di DPR perlu berinisiatif agar DPR membuat sebuah keputusan yang berbobot seperti TAP MPR yang memutuskan bahwa produk otomotif mobil murah dan ramah lingkungan yang dihasilkan oleh Pemerintah tidak dipasarkan di dalam negeri, tetapi merupakan produk untuk ekspor. Disamping itu juga perlu ada keputusan DPR yang juga mempunyai kekuatan seperti TAP MPR, bahwa Pemda dapat membuat Perda yang bersifat membatasi penggunaan mobil murah ramah lingkugan tersebut, misalnya mobil murah dan ramah lingkungan hanya boleh dibeli oleh seseorang yang sudah berkeluarga sebanyak satu unit, apabila keluarga tersebut belum mempunyai kendaraan jenis mobil merek apapun. Dengan demikian sikap pro rakyat tetap terlihat bersamaan dengan sikap yang membimbing rakyat. (Datuak Alat Tjumano/kw)
*Datuak Alat Tjumano, Peneliti senior di Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi adalah pewarta warga
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.
Advertisement