Tiga Sektor Penunggak Utang Terbesar

BI menegaskan tidak ada korporasi besar pemilik utang jumbo dan bisa memicu krisis ekonomi Indonesia.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 26 Sep 2013, 09:12 WIB
Bank Indonesia (BI) memastikan utang-utang perusahaan korporasi besar takkan memicu krisis di Indonesia kendati nilai tukar rupiah tengah mengalam pelemahan.

Penegasan tersebut sekaligus membantah klaim yang menyebutkan kekhawatiran rontoknya bisnis lima korporasi besar karena harus menanggung utang yang cukup besar.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Difi Johansyah menegaskan perusahaan swasta yang memiliki utang luar negeri cukup besar memiliki nilai yang tak terlalu signifikan terhadap keseluruhan utang Indonesia.

"Tidak benar jika memang ada lima perusahaan yang mendominasi kalau tidak bayar terus krisis," ungkapnya kepada Liputan6.com di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, baru-baru ini.

Difi menambahkan klaim yang diberikan merupakan provokasi dari pihak-pihak tertentu yang ingin memanfaatkan situasi ditengah kondisi perekonomian Indonesia yang sedang tertekan. "Sebenarnya begini, di luar banyak yang mengkait-kaitkan kalau Indonesia itu mendekati krisis atau apalah, itu tidak benar," jelasnya.

Untuk mendukung pernyataan tersebut, Data BI menunjukan sektor perusahaan yang paling banyak memiliki utang luar negeri cukup besar berasal dari sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar US$ 111,8 miliar, sektor industri pengolahan US$ 28,1 miliar, dan terakhir sektor pertambangan senilai US$ 25,8 miliar dolar.

Selama ini, bank sentral menilai sejumlah korporasi di Indonesia sudah sangat cerdas dalam mengelola sistem keuangannya terutama dalam hal utang.

"Perusahaan Indonesia sekarang lebih hati-hati. Kalau ada apa-apa kan mereka juga yang rugi. Yang jelas secara data, seluruh utang tidak didominasi oleh 5 perusahaan," tutupnya.

Sebelumnya, Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal Ramli, memperingatkan pemerintah terhadap ancaman bahaya dari pelemahan nilai tukar rupiah. Salah satu peringatan yang disampaikan adalah kemungkinan rontoknya lima kelompok bisnis skala besar yang berisiko pada perekonomian nasional.

Rizal menjelaskan, Indonesia saat ini tengah mengalami quadro defisit pada data-data makro perekonomian. Selain neraca perdagangan, ekonomi nasional juga tengah berhadapan dengan defisit transaksi berjalan, defisit pembayaran Indonesia dan desifit anggaran. (Yas/Shd)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya