Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan membukukan penurunan realisasi penerimaan bea keluar (BK) menjadi Rp 9,8 triliun hingga 13 September 2013. Raihan tersebut mencapai 56,2% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun ini sebesar Rp 17,61 triliun.
"Capaian itu dibanding periode yang sama 2012, terjadi penyusutan sangat tajam sebesar 37,17%. Dan hanya mencapai 79,08% dari target proporsional yang telah ditetapkan kami sebesar Rp 12,4 triliun," terang Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai DJBC Susiwijono Moegiarso di Jakarta, Kamis (26/9/2013) malam.
Dia merinci, beberapa faktor yang mempengaruhi merosotnya penerimaan BK secara signifikan, antara lain, pertama harga internasional atas komoditas ekspor utama yang wajib dikenakan BK yakni minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) serta turunan CPO dan bijih mineral.
"Rata-rata harga referensi CPO pada Januari-September 2012 mencapai US$ 1.081,19 per metrik ton (MT) dengan rata-rata tarif BK 16,5%. Lalu turun drastis menjadi US$ 832,73 per MT dan tarif BK 9,5% di periode yang sama 2013," jelasnya.
Susiwijono menambahkan, faktor kedua, kebijakan hilirisasi yang mengakibatkan pergeseran jenis komoditas ekspor dari CPO ke produk turunan CPO dengan tarif BK lebih rendah.
Sedangkan faktor eksternal yang mengakibatkan menurunnya raihan BK karena berkurangnya permintaan produk minyak kepala sawit lantaran perlambatan ekonomi Cina. Padahal pasokan sangat berlebih.
"Shipments CPO masih lemah karena pelambatan ekonomi Cina di kuartal II 2013 sekitar 7,5% karena gains in factory output menurun, sehingga permintaan CPO berkurang dan harga CPO menurun pada semester II ini.
Kurs Indian Rupee juga terdepresiasi dan akhirnya membuat impor menjadi lebih mahal," ujar dia.
Pembeli CPO, kata Susiwijono telah berpaling ke Malaysia karena RBD minyak kelapa sawit dari Malaysia tidak dikenakan pajak ekspor. Sementara Malaysia mengenakan 0% pajak ekspor untuk CPO pada Januari dan Februari 2013 dan sejak Maret 2013, pajak ekspor CPO 4,5%.
"India (pengguna cooking oil tebesar setelah Cina), memberlakukan impor tarif 2,5% atas CPO sejak Januari 2013 untuk melindungi lokal oilseed growers, sedangkan untuk refined varieties (turunan CPO) tetap pada tarif 7,5%," ucapnya.
Pabrik CPO di India, sambung dia, beroperasi dalam kapasitas yang sangat rendah karena impor refined CPO yang tinggi. Dibanding mengimpor CPO kemudian melakukan refinery, pabrik CPO di India mengimpor refined CPO dari Indonesia dan Malaysia karena lebih murah.
"Melihat kecederungan perkembangan harga internasional CPO dan mineral yang cukup rendah selama 2013, kami perkirakan target Penerimaan BK tahun ini masih di bawah target APBN-P 2013," pungkas
Susiwijono.
"Capaian itu dibanding periode yang sama 2012, terjadi penyusutan sangat tajam sebesar 37,17%. Dan hanya mencapai 79,08% dari target proporsional yang telah ditetapkan kami sebesar Rp 12,4 triliun," terang Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai DJBC Susiwijono Moegiarso di Jakarta, Kamis (26/9/2013) malam.
Dia merinci, beberapa faktor yang mempengaruhi merosotnya penerimaan BK secara signifikan, antara lain, pertama harga internasional atas komoditas ekspor utama yang wajib dikenakan BK yakni minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) serta turunan CPO dan bijih mineral.
"Rata-rata harga referensi CPO pada Januari-September 2012 mencapai US$ 1.081,19 per metrik ton (MT) dengan rata-rata tarif BK 16,5%. Lalu turun drastis menjadi US$ 832,73 per MT dan tarif BK 9,5% di periode yang sama 2013," jelasnya.
Susiwijono menambahkan, faktor kedua, kebijakan hilirisasi yang mengakibatkan pergeseran jenis komoditas ekspor dari CPO ke produk turunan CPO dengan tarif BK lebih rendah.
Sedangkan faktor eksternal yang mengakibatkan menurunnya raihan BK karena berkurangnya permintaan produk minyak kepala sawit lantaran perlambatan ekonomi Cina. Padahal pasokan sangat berlebih.
"Shipments CPO masih lemah karena pelambatan ekonomi Cina di kuartal II 2013 sekitar 7,5% karena gains in factory output menurun, sehingga permintaan CPO berkurang dan harga CPO menurun pada semester II ini.
Kurs Indian Rupee juga terdepresiasi dan akhirnya membuat impor menjadi lebih mahal," ujar dia.
Pembeli CPO, kata Susiwijono telah berpaling ke Malaysia karena RBD minyak kelapa sawit dari Malaysia tidak dikenakan pajak ekspor. Sementara Malaysia mengenakan 0% pajak ekspor untuk CPO pada Januari dan Februari 2013 dan sejak Maret 2013, pajak ekspor CPO 4,5%.
"India (pengguna cooking oil tebesar setelah Cina), memberlakukan impor tarif 2,5% atas CPO sejak Januari 2013 untuk melindungi lokal oilseed growers, sedangkan untuk refined varieties (turunan CPO) tetap pada tarif 7,5%," ucapnya.
Pabrik CPO di India, sambung dia, beroperasi dalam kapasitas yang sangat rendah karena impor refined CPO yang tinggi. Dibanding mengimpor CPO kemudian melakukan refinery, pabrik CPO di India mengimpor refined CPO dari Indonesia dan Malaysia karena lebih murah.
"Melihat kecederungan perkembangan harga internasional CPO dan mineral yang cukup rendah selama 2013, kami perkirakan target Penerimaan BK tahun ini masih di bawah target APBN-P 2013," pungkas
Susiwijono.