Siapa yang tak tahu Kabupaten Sumedang. Kota yang terkenal dengan tahu ini cukup tersohor. Menelisik lebih dalam, ada Kecamatan Jatinangor yang juga terkenal dengan wilayah pendidikan. Lalu bagaimana dengan Cipacing?
Tak banyak yang tahu nama Cipacing. Jika mampir ke Bandung, Sumedang, atau Jatinangor, hampir pasti desa ini terlewatkan oleh para wisatawan. Tapi tidak bagi mereka yang memiliki hobi mengoleksi atau memainkan senapan angin.
Ya, Cipacing. Desa yang merupakan bagian dari Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Namanya sangat tersohor sebagai sentra pengrajin senapan angin.
Pada September ini, Cipacing kembali menjadi buah bibir karena tertangkapnya dua pembuat senjata api rakitan di wilayah itu.
"Mereka menjadi pemasok senjata pelaku penembakan," ucap Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Pol Slamet Riyanto saat jumpa pers di Mapolda Metro Jaya, Jumat, 6 September 2013.
Slamet menjelaskan, hal tersebut dapat dilihat saat polisi berhasil mendapatkan sisa peluru ketika kejadian penembakan polisi di Pondok Aren, Tangerang, Banten. "Nah, ketika diteliti di laboratorium, hasilnya sama dengan apa yang ditemukan di Cipacing," jelas Slamet.
Cipacing dan beberapa desa sekitarnya telah menjadi sentra produksi senapan angin jauh sebelum kejadian itu, yaitu sejak zaman penjajahan Belanda. Para pejuang membuat senapan untuk mempertahankan diri dari serangan penjajah. Bahkan, semua itu diawali dari pembuatan senjata api.
Pada 1894, banyaknya bengkel besi di Desa Cikeruh membuat tentara Belanda meminta warga membuat pedang. Seiring berjalannya waktu, pembuatan pedang beralih menjadi pembuatan berongsong anjing. Selepas itu, para pengrajin harus membuat jarum.
"Zaman dulu jarum susah. Bentuknya juga tidak kayak sekarang. Dulu jarum yang dibuat sebesar jarum yang sekarang dibuat sol sepatu," kata Ketua Koperasi Pengrajin Senapan Angin Bina Karya Idih Sunaedi (70), saat ditemui di kediamannya di Jalan Sayang, Cikeruh, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Selasa, 24 September 2013.
DI/TII Merajalela, Pesanan Datang
Baru pada 1959, ungkap Idih, pembuatan dorlok atau senjata api laras panjang dilakukan. Kala itu, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) merajalela. Saat itu, pihak Korem Garut datang ke Cikeruh dan meminta para pengrajin untuk membuat dorlok atau senjata api laras panjang.
"Dorlok ini digunakan untuk OKD (Organisasi Keamanan Desa)," lanjut pria dengan 4 anak ini. Kepemilikan dorlok untuk pada OKD pun tidak sembarangan. Semua orang yang diberi kuasa untuk memegang dan menggunakan senjata ini harus seizin pihak Korem Garut.
Lima tahun berlalu, DI/TII akhirnya tumbang. Sejak itu pula, Korem Garut mencabut izin seluruh kepemilikan dorlok yang dipegang oleh OKD kala itu. Sejak itu pula, para pandai besi di Cikeruh beralih membuat senapan angin.
"Dari Cikeruh, pengrajin terus berkembang ke Cipacing. Jadi awal mulanya ada di Cikeruh ini," tegasnya.
Meski telah melewati masa itu, Idih mengaku tidak pernah sekali pun membuat senjata api. Latar belakang keluarganya memang sangat dekat dengan senjata mematikan ini.
Sang ayah, Yusuf, merupakan karyawan PT Pindad yang dulu masih bernama Pabrik Senjata dan Meriam. Namun, ilmu membuat senapan tidak didapat dari sang ayah karena kala itu dia bekerja di pembuatan senjata berat seperti meriam. Ilmu itu justru diperoleh dari paman dan buku-buku.
Berbeda dengan Idih, Pengrajin senapan angin lain, Sugiat mengaku pernah membuat senjata api. Hal itu dilakukan saat masa penjajahan hingga pasca-kemerdekaan.
"Saya pernah membuat senjata api untuk pejuang. Saat itu dari tahun 1945 sampai tahun 1980," ungkapnya saat ditemui di tokonya di Jalan Raya Cipacing, Jatinangor, Jawa Barat.
Semua hal yang berhubungan dengan senjata api akhirnya dihentikan pada 1980-an. Hal ini terkait peraturan pemerintah melalui Aturan Sapu Jagad yang dilakukan pemerintahan Soeharto pada masa itu.
"Aturan sapu jagad, isinya siapa pun tidak boleh memproduksi, memiliki, atau mereparasi senjata api. Karena kita warga negara yang baik, kita ikut aturan itu," ungkapnya.
Pria yang juga membuka warung makan tepat di toko senapan miliknya itu mengungkapkan, sejak itu dirinya hanya memproduksi senapan angin kaliber 4,5 mm yang diizinkan pemerintah. Senapan ini bebas dimiliki oleh siapa pun tanpa memiliki izin khusus.
Godaan untuk membuat senjata api bukan tidak pernah datang kepadanya. Namun, dirinya menolak keras tawaran itu. Dia tidak ingin usaha yang dirintisnya puluhan tahun hilang hanya gara-gara kesalahan seperti itu.
"Ada saja yang nawarin itu. Cuma saya nggak mau. Saya nggak mau hancur cuma gara-gara hal sesaat," tandasnya. (Yus)
Tak banyak yang tahu nama Cipacing. Jika mampir ke Bandung, Sumedang, atau Jatinangor, hampir pasti desa ini terlewatkan oleh para wisatawan. Tapi tidak bagi mereka yang memiliki hobi mengoleksi atau memainkan senapan angin.
Ya, Cipacing. Desa yang merupakan bagian dari Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Namanya sangat tersohor sebagai sentra pengrajin senapan angin.
Pada September ini, Cipacing kembali menjadi buah bibir karena tertangkapnya dua pembuat senjata api rakitan di wilayah itu.
"Mereka menjadi pemasok senjata pelaku penembakan," ucap Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Pol Slamet Riyanto saat jumpa pers di Mapolda Metro Jaya, Jumat, 6 September 2013.
Slamet menjelaskan, hal tersebut dapat dilihat saat polisi berhasil mendapatkan sisa peluru ketika kejadian penembakan polisi di Pondok Aren, Tangerang, Banten. "Nah, ketika diteliti di laboratorium, hasilnya sama dengan apa yang ditemukan di Cipacing," jelas Slamet.
Cipacing dan beberapa desa sekitarnya telah menjadi sentra produksi senapan angin jauh sebelum kejadian itu, yaitu sejak zaman penjajahan Belanda. Para pejuang membuat senapan untuk mempertahankan diri dari serangan penjajah. Bahkan, semua itu diawali dari pembuatan senjata api.
Pada 1894, banyaknya bengkel besi di Desa Cikeruh membuat tentara Belanda meminta warga membuat pedang. Seiring berjalannya waktu, pembuatan pedang beralih menjadi pembuatan berongsong anjing. Selepas itu, para pengrajin harus membuat jarum.
"Zaman dulu jarum susah. Bentuknya juga tidak kayak sekarang. Dulu jarum yang dibuat sebesar jarum yang sekarang dibuat sol sepatu," kata Ketua Koperasi Pengrajin Senapan Angin Bina Karya Idih Sunaedi (70), saat ditemui di kediamannya di Jalan Sayang, Cikeruh, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Selasa, 24 September 2013.
DI/TII Merajalela, Pesanan Datang
Baru pada 1959, ungkap Idih, pembuatan dorlok atau senjata api laras panjang dilakukan. Kala itu, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) merajalela. Saat itu, pihak Korem Garut datang ke Cikeruh dan meminta para pengrajin untuk membuat dorlok atau senjata api laras panjang.
"Dorlok ini digunakan untuk OKD (Organisasi Keamanan Desa)," lanjut pria dengan 4 anak ini. Kepemilikan dorlok untuk pada OKD pun tidak sembarangan. Semua orang yang diberi kuasa untuk memegang dan menggunakan senjata ini harus seizin pihak Korem Garut.
Lima tahun berlalu, DI/TII akhirnya tumbang. Sejak itu pula, Korem Garut mencabut izin seluruh kepemilikan dorlok yang dipegang oleh OKD kala itu. Sejak itu pula, para pandai besi di Cikeruh beralih membuat senapan angin.
"Dari Cikeruh, pengrajin terus berkembang ke Cipacing. Jadi awal mulanya ada di Cikeruh ini," tegasnya.
Meski telah melewati masa itu, Idih mengaku tidak pernah sekali pun membuat senjata api. Latar belakang keluarganya memang sangat dekat dengan senjata mematikan ini.
Sang ayah, Yusuf, merupakan karyawan PT Pindad yang dulu masih bernama Pabrik Senjata dan Meriam. Namun, ilmu membuat senapan tidak didapat dari sang ayah karena kala itu dia bekerja di pembuatan senjata berat seperti meriam. Ilmu itu justru diperoleh dari paman dan buku-buku.
Berbeda dengan Idih, Pengrajin senapan angin lain, Sugiat mengaku pernah membuat senjata api. Hal itu dilakukan saat masa penjajahan hingga pasca-kemerdekaan.
"Saya pernah membuat senjata api untuk pejuang. Saat itu dari tahun 1945 sampai tahun 1980," ungkapnya saat ditemui di tokonya di Jalan Raya Cipacing, Jatinangor, Jawa Barat.
Semua hal yang berhubungan dengan senjata api akhirnya dihentikan pada 1980-an. Hal ini terkait peraturan pemerintah melalui Aturan Sapu Jagad yang dilakukan pemerintahan Soeharto pada masa itu.
"Aturan sapu jagad, isinya siapa pun tidak boleh memproduksi, memiliki, atau mereparasi senjata api. Karena kita warga negara yang baik, kita ikut aturan itu," ungkapnya.
Pria yang juga membuka warung makan tepat di toko senapan miliknya itu mengungkapkan, sejak itu dirinya hanya memproduksi senapan angin kaliber 4,5 mm yang diizinkan pemerintah. Senapan ini bebas dimiliki oleh siapa pun tanpa memiliki izin khusus.
Godaan untuk membuat senjata api bukan tidak pernah datang kepadanya. Namun, dirinya menolak keras tawaran itu. Dia tidak ingin usaha yang dirintisnya puluhan tahun hilang hanya gara-gara kesalahan seperti itu.
"Ada saja yang nawarin itu. Cuma saya nggak mau. Saya nggak mau hancur cuma gara-gara hal sesaat," tandasnya. (Yus)