Darah Perawan, Memang Ada Ya?

Dalam agama manapun, entah itu Kristen, Islam, Hindu, maupun Yahudi, diyakini, hilangnya keperawanan sebelum nikah adalah memalukan

oleh Gabriel Abdi Susanto diperbarui 01 Okt 2013, 15:00 WIB
Dalam agama manapun, entah itu Kristen, Islam, Hindu, maupun Yahudi, diyakini bahwa hilangnya keperawanan sebelum pernikahan merupakan hal yang memalukan. Bahkan dalam agama Kristen, kepercayaan akan keperawanan Maria, Bunda Yesus merupakan landasan yang kuat yang meletakkan keperawanan sebagai sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan perkawinan seseorang. Secara tradisional, di negara-negara barat, pakaian putih yang dikenakan kedua mempelai merupakan lambang keperawanan.

Istilah ‘perawan’ biasanya digunakan untuk menggambarkan seseorang yang belum pernah mengalami hubungan seksual. Menurut Prof. Wimpie Pangkahila, Sp.And dari pusat Andrologi dan Seksologi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali dalam suatu kesempatan simposium di Surabaya beberapa waktu lalu menyebutkan, keberadaan selaput dara yang tampak secara fisik dalam hal ini seringkali dipakai sebagai bukti adanya keperawanan.

Karena itu, dalam banyak wilayah, entah yang sudah maju maupun yang sedang berkembang dengan pengetahuan dan persepsi tentang seksualitas yang masih rendah, terkoyaknya selaput dara dengan keluarnya darah ini diyakini akan terjadi saat seorang wanita baru pertama kalinya berhubungan seks. Darah inilah yang kemudian terkenal dengan sebutan “darah perawan”. Padahal, faktanya, tidak ada yang disebut “darah perawan” itu.

Selanjutnya, Wimpie yang juga spesialis andrologi yang juga berpraktek di Klinik Andrologi dan Seksologi Rumah Sakit Sanglah Denpasar ini menyebutkan bahwa wanita yang secara seksual tidak terangsang atau mengalami hambatan psikogenik (psikis dan genetika), bisa jadi mengalami perdarahan saat melakukan hubungan seksual.

Sebaliknya, wanita yang terangsang secara seksual dan tidak mengalami hambatan psikogenik tidak akan mengalami perdarahan saat berhubungan seksual sekalipun ini merupakan pengalaman seksualnya yang pertama. Dengan demikian, jelas sudah dan tidak diragukan bahwa persoalan “darah perawan” hanyalah mitos belaka dan jelas-jelas salah.

Sayangnya, mitos ini mitos “darah perawan” kerap kali memunculkan masalah  yang justru merugikan wanita dan menyulitkan mereka. Sang suami bisa jadi dengan mudah menceraikan si istri gara-gara tidak melihat “darah perawan” saat mereka berhubungan seksual.


Tak berarti sudah hubungan seks
Di negara seperti Turki, uji keperawanan atas permintaan klien yang dilakukan para dokter yang tergabung dalam Turkish Medical Association menemukan bahwa uji ini tidak menghasilkan apa-apa. Terkoyaknya selaput dara tidak berarti bahwa si perempuan tersebut sudah melakukan hubungan seksual. Bisa jadi ini terjadi akibat penggunaan tampon atau masturbasi yang menggunakan alat dan sempat menyentuh atau merusak vagina. Di sisi lain, ada juga wanita yang secara kongenital atau sejak lahir tidak memiliki selaput dara. Persentasenya sekitar 0,03 persen.

Sebaliknya, selaput dara yang tidak terkoyak tidak berarti bahwa si wanita tidak pernah berhubungan seksual. Terkoyaknya selaput dara tidak mesti akibat hubungan seksual. Penelitian pada selaput dara atas 1000 wanita dewasa yang memiliki pengalaman berhubungan seksual menunjukkan bahwa penampilan selaput dara pada kebanyakan dari mereka tampak kacau, tidak menentu dan mengumpul di bagian pinggir vagina. Jarang terjadi selaput dara terbelah secara komplit atau benar-benar sobek.

Lebih lanjut, status selaput dara pada dasarnya tidak bisa dikaitkan dengan kebiasaan seksual. Selaput dara yang utuh atau lengkap, tidak bisa diartikan bahwa si wanita tidak pernah berhubungan seks sama sekali. Sebaliknya, seorang wanita mungkin sangat aktif dengan segala bentuk hubungan seks termasuk oral seks, tetapi selaput daranya tetap utuh.

Situasi yang tidak jelas ini menuntut para dokter menjelaskan hal yang sesungguhnya mengenai keperawanan dan selaput dara ini. Saying, ada beberapa dokter yangjustru malah melakukan praktik memperbaiki atau meniru selaput dara. Pada tahun 1960, praktik yang disebut hymenoplasty ini berkembang di Jepang pada banyak gadis yang sudah sering melakukan hubungan seks.

Meski para dokter yang memraktekkan hymenoplasty ini berasalah bahwa etika rekonstruksi selaput dara iini bisa dibandingkan dengan bedah plastik, pendapat ini tidaklah ilmiah. Tindakan bedah plastik dilakukan pada bagian tubuh seperti wajah atau payudara dan tidak terkait dengan mitos. Soal keperawanan atau selaput dara ini mitos.

Karena itu, para dokter ini diharapkan memiliki tanggung jawab moral untuk menghadang mitos yang membodohi dan tidak membawa manfaat apa pun.

Dengan demikian, tindakan peniruan selaput dara atau hymenoplasty pada gadis yang sudah tidak perawan lagi merupakan tindakan memelihara, mengabadikan mitos tentang selaput dara dan keperawanan.

(Abd)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya