Desa Cipacing, Sumedang, Jawa Barat, geger. Polisi menyergap beberapa orang karena terlibat dalam menyalurkan senjata api kepada terduga pelaku penembakan kepada beberapa anggota kepolisian.
Tapi, semudah itukah senjata ilegal itu dibuat?
Sejak puluhan tahun, Cipacing lalu sudah terkenal dengan sentra pembuatan senjata. Tapi, bukan senjata api ilegal yang kerap digunakan para penjahat beraksi. Desa dengan 18 RW ini terkenal sebagai penghasil kerajinan senapan angin. Namanya pun sudah tersohor hingga ke seluruh pelosok nusantara.
Keahlian ini sudah turun-temurun diwariskan oleh para sesepuh sejak zaman penjajahan lalu. Para leluhur mereka membuat senapan angin untuk melawan penjajah. Butuh waktu satu bulan untuk dapat menghasilkan satu pucuk senapan angin. Tak seperti sekarang, pengrajin rata-rata menghasilkan 30-60 pucuk senapan angin per bulannya.
Lalu apa yang membuat mereka yang memiliki keahlian pandai besi dan pandai kayu beralih menjadi bagian dari bandit pembuat senjata api ilegal yang kerap digunakan untuk tindakan kriminal. Jawabannya hanya ketebalan iman.
Pembuatan senjata api sejatinya tidak jauh berbeda dengan pembuatan senapan angin. Ditelisik dari ukuran, bahan, dan modal, pembuatan senjata api jauh lebih murah dibanding pembuatan senapan angin. Iman kembali tergoda saat nilai jual dari modal mini ini menghasilkan laba maksi.
Pengrajin yang pernah membuat senjata api, Sugiat (79) menuturkan, secara prinsip membuat senjata api jauh lebih mudah dibanding dari membuat senapan angin. Tak perlu keahlian khusus dan ketelitian ekstra untuk membuat senjata api.
“Nggak perlu jadi senjata, cari pipa seukuran peluru, masukkan peluru ke pipa itu, ketok pakai palu pantatnya. Pasti meledak. Jadi siapa pun di sini bisa membuat senjata api sebenarnya, tapi tidak mau karena memang melanggar hukum,” katanya saat ditemui galeri senapan angin miliknya di Jalan Raya Cipacing No. 17.
Pengalaman membuat senjata api didapatnya saat memasok senjata kepada pejuang. Pada zaman penjajahan dulu, dia terlibat membantu para sesepuhnya untuk membuat senjata api dalam melawan penjajah.
Selepas kemerdekaan, kegiatan membuat senjata api dilanjutkan di samping memproduksi senapan angin yang jadi sumber mata pencariannya sejak dulu. Kegiatan itu berhenti saat pemerintah mengeluarkan peraturan melarang memproduksi, memiliki, atau mereparasi senjata api.
Cerita berbeda dituturkan Ujang Cuhyana. Pria paruh baya ini mengetahui cara membuat senjata api justru jadi anggota kepolisian atau tentara yang kerap datang ke rumahnya.
“Mereka datang awalnya ingin reparasi. Dia bongkar semua senjatanya sendiri. Saya lihat, tahu cara kerja senjata api itu seperti apa,” ungkapnya.
Ujang mengungkapkan, secara prinsip senjata api hanya membutuhkan pelatuk dan memastikan peluru naik ke atas dengan baik. Tidak seperti senapan angin yang membutuhkan ketelitian dalam merancangnya.
“Kalau senjata api itu kan cuma memastikan peluru naik ke atas, pelatuknya nggak macet. Itu saja,” tambahnya.
Justru Petugas yang Meminta
Godaan pun dimulai. Selain meminta Ujang mereparasi, para penegak hukum itu pun meminta dibuatkan senjata api untuk keperluan pribadi. Namun, dirinya menolak keras permintaan itu.
“Saya tahu bentuknya, cara kerjanya saya tahu, cuma nggak pernah megang, buat, bikin. Reparasi juga ogah. Pernah anggota minta pangkatnya Kombes padahal dari Mabes Polri. Awalnya minta tolong reparasi, terus dia minta saya buat bikin. Saya bilang, bapak ini penegak hukum, tahu hukum, masak minta saya buat bikin yang nggak boleh? jelas saya tolak,” tegasnya.
Sementara Ketua Koperasi Pengrajin Senapan Angin Bina Karya Idih Sunaedi mengatakan, oknum yang membuat senjata api tidak ada hubungannya dengan pengrajin senapan angin di Cikeruh dan Cipacing. Mereka hanya segelintir orang yang ingin untung dengan cepat.
“Jadi bukan karena hasil dari senapan angin menurun. Karena kondisi menurun seperti sekarang ini bukan pertama kali terjadi. Ini hanya karena mereka nakal dan tidak bisa menjaga iman saja,” katanya.
Idih mengakui, modal yang diperlukan untuk membuat senpi jauh lebih kecil dari pembuatan senapan angin. Sedangkan, keuntungan menjual senjata api jauh lebih besar dari senapan angin.
“Modal satu senapan angin bisa untuk membuat dua senjata api. Tapi untungnya jauh. Senapan angin paling hanya bisa dijual ratusan ribu, tapi kalau senjata api mereka bisa jual bisa jutaan,” ungkapnya. (Yus)
baca juga: Dihempas Operasi Sapu Jagat, Raup Rezeki Pasca-Kerusuhan 1998 (2)
Tapi, semudah itukah senjata ilegal itu dibuat?
Sejak puluhan tahun, Cipacing lalu sudah terkenal dengan sentra pembuatan senjata. Tapi, bukan senjata api ilegal yang kerap digunakan para penjahat beraksi. Desa dengan 18 RW ini terkenal sebagai penghasil kerajinan senapan angin. Namanya pun sudah tersohor hingga ke seluruh pelosok nusantara.
Keahlian ini sudah turun-temurun diwariskan oleh para sesepuh sejak zaman penjajahan lalu. Para leluhur mereka membuat senapan angin untuk melawan penjajah. Butuh waktu satu bulan untuk dapat menghasilkan satu pucuk senapan angin. Tak seperti sekarang, pengrajin rata-rata menghasilkan 30-60 pucuk senapan angin per bulannya.
Lalu apa yang membuat mereka yang memiliki keahlian pandai besi dan pandai kayu beralih menjadi bagian dari bandit pembuat senjata api ilegal yang kerap digunakan untuk tindakan kriminal. Jawabannya hanya ketebalan iman.
Pembuatan senjata api sejatinya tidak jauh berbeda dengan pembuatan senapan angin. Ditelisik dari ukuran, bahan, dan modal, pembuatan senjata api jauh lebih murah dibanding pembuatan senapan angin. Iman kembali tergoda saat nilai jual dari modal mini ini menghasilkan laba maksi.
Pengrajin yang pernah membuat senjata api, Sugiat (79) menuturkan, secara prinsip membuat senjata api jauh lebih mudah dibanding dari membuat senapan angin. Tak perlu keahlian khusus dan ketelitian ekstra untuk membuat senjata api.
“Nggak perlu jadi senjata, cari pipa seukuran peluru, masukkan peluru ke pipa itu, ketok pakai palu pantatnya. Pasti meledak. Jadi siapa pun di sini bisa membuat senjata api sebenarnya, tapi tidak mau karena memang melanggar hukum,” katanya saat ditemui galeri senapan angin miliknya di Jalan Raya Cipacing No. 17.
Pengalaman membuat senjata api didapatnya saat memasok senjata kepada pejuang. Pada zaman penjajahan dulu, dia terlibat membantu para sesepuhnya untuk membuat senjata api dalam melawan penjajah.
Selepas kemerdekaan, kegiatan membuat senjata api dilanjutkan di samping memproduksi senapan angin yang jadi sumber mata pencariannya sejak dulu. Kegiatan itu berhenti saat pemerintah mengeluarkan peraturan melarang memproduksi, memiliki, atau mereparasi senjata api.
Cerita berbeda dituturkan Ujang Cuhyana. Pria paruh baya ini mengetahui cara membuat senjata api justru jadi anggota kepolisian atau tentara yang kerap datang ke rumahnya.
“Mereka datang awalnya ingin reparasi. Dia bongkar semua senjatanya sendiri. Saya lihat, tahu cara kerja senjata api itu seperti apa,” ungkapnya.
Ujang mengungkapkan, secara prinsip senjata api hanya membutuhkan pelatuk dan memastikan peluru naik ke atas dengan baik. Tidak seperti senapan angin yang membutuhkan ketelitian dalam merancangnya.
“Kalau senjata api itu kan cuma memastikan peluru naik ke atas, pelatuknya nggak macet. Itu saja,” tambahnya.
Justru Petugas yang Meminta
Godaan pun dimulai. Selain meminta Ujang mereparasi, para penegak hukum itu pun meminta dibuatkan senjata api untuk keperluan pribadi. Namun, dirinya menolak keras permintaan itu.
“Saya tahu bentuknya, cara kerjanya saya tahu, cuma nggak pernah megang, buat, bikin. Reparasi juga ogah. Pernah anggota minta pangkatnya Kombes padahal dari Mabes Polri. Awalnya minta tolong reparasi, terus dia minta saya buat bikin. Saya bilang, bapak ini penegak hukum, tahu hukum, masak minta saya buat bikin yang nggak boleh? jelas saya tolak,” tegasnya.
Sementara Ketua Koperasi Pengrajin Senapan Angin Bina Karya Idih Sunaedi mengatakan, oknum yang membuat senjata api tidak ada hubungannya dengan pengrajin senapan angin di Cikeruh dan Cipacing. Mereka hanya segelintir orang yang ingin untung dengan cepat.
“Jadi bukan karena hasil dari senapan angin menurun. Karena kondisi menurun seperti sekarang ini bukan pertama kali terjadi. Ini hanya karena mereka nakal dan tidak bisa menjaga iman saja,” katanya.
Idih mengakui, modal yang diperlukan untuk membuat senpi jauh lebih kecil dari pembuatan senapan angin. Sedangkan, keuntungan menjual senjata api jauh lebih besar dari senapan angin.
“Modal satu senapan angin bisa untuk membuat dua senjata api. Tapi untungnya jauh. Senapan angin paling hanya bisa dijual ratusan ribu, tapi kalau senjata api mereka bisa jual bisa jutaan,” ungkapnya. (Yus)
baca juga: Dihempas Operasi Sapu Jagat, Raup Rezeki Pasca-Kerusuhan 1998 (2)