Ramalan yang menyebutkan Indonesia akan menjadi negara pengimpor energi terbesar di dunia kurun 2018-2019 dianggap sebagai sebuah skenario ke depan apabila negara ini tak mampu mengendalikan laju konsumsi minyak yang setiap tahun membengkak.
"Itu suatu skenario yang bisa saja terjadi jika kita tidak bisa mengendalikan dengan baik (penggunaan energi). Kalau keyakinan saya, tidak akan terjadi. Tapi bisa juga terjadi," ungkap Anggota Ekonomi (DEN), Herman Darnel Ibrahim di Nusa Dua, Bali, seperti ditulis Rabu (2/10/2013).
Menurutnya, hal itu dapat terjadi apabila Indonesia terus mengekspor batu bara dalam jumlah besar yang dibarengi dengan kurang berhasilnya program energi terbarukan.
Pasalnya Indonesia memiliki jumlah cadangan batu bara melimpah, namun belum maksimal dimanfaatkan untuk pembangkit listrik karena kerap mengandalkan diesel.
"Jadi memang ada kelompok yang bilang jika Indonesia akan terjadi krisis energi pada 2019. Tapi yang terpenting, harusnya subsidi dikurangi supaya tidak membebani pemerintah sehingga APBN jebol dan pada akhirnya kemampuan Indonesia untuk membangun sedikit," papar Herman.
Antisipasinya, sambung dia, pemerintah harus menggelar konsensus nasional untuk mengurangi subsidi energi. Langkah tersebut dapat dimulai dengan menerapkan kebijakan subsidi tetap.
"Misalnya subsidi per liter BBM Rp 4 ribu, jadi kalau terjadi kenaikan harga minyak, harga BBM ke konsumen juga naik. Lalu tahap selanjutnya adalah mengurangi konsumsi secara bertahap," tutur dia.
Jika tidak dikurangi, kata Herman, kas APBN akan habis untuk membiayai subsidi, karena seharusnya dana itu dialokasikan ke pembangunan kilang, pembangkit listrik.
"Jadi kalau ada konsensus nasional, elemen-elemen politik, partai akan satu kata untuk menghapus subsidi. Jangan menggunakan subsidi sebagai isu popularitas terhadap rakyat," tandas dia.
Salah satunya adalah mencampur solar dengan biodiesel 10%. Herman memperkirakan kebijakan ini akan menghemat impor hingga dua juta kiloliter (kl).
"Kalau impor, jika dihitung dengan rata-rata kurs rupiah Rp 11 ribu, maka nilainya mencapai Rp 22 triliun. Jadi bisa menghemat devisa jika menggunakan biodiesel 10% dan ke depan harus dinaikkan," pungkas Herman. (Fik/Nur)
"Itu suatu skenario yang bisa saja terjadi jika kita tidak bisa mengendalikan dengan baik (penggunaan energi). Kalau keyakinan saya, tidak akan terjadi. Tapi bisa juga terjadi," ungkap Anggota Ekonomi (DEN), Herman Darnel Ibrahim di Nusa Dua, Bali, seperti ditulis Rabu (2/10/2013).
Menurutnya, hal itu dapat terjadi apabila Indonesia terus mengekspor batu bara dalam jumlah besar yang dibarengi dengan kurang berhasilnya program energi terbarukan.
Pasalnya Indonesia memiliki jumlah cadangan batu bara melimpah, namun belum maksimal dimanfaatkan untuk pembangkit listrik karena kerap mengandalkan diesel.
"Jadi memang ada kelompok yang bilang jika Indonesia akan terjadi krisis energi pada 2019. Tapi yang terpenting, harusnya subsidi dikurangi supaya tidak membebani pemerintah sehingga APBN jebol dan pada akhirnya kemampuan Indonesia untuk membangun sedikit," papar Herman.
Antisipasinya, sambung dia, pemerintah harus menggelar konsensus nasional untuk mengurangi subsidi energi. Langkah tersebut dapat dimulai dengan menerapkan kebijakan subsidi tetap.
"Misalnya subsidi per liter BBM Rp 4 ribu, jadi kalau terjadi kenaikan harga minyak, harga BBM ke konsumen juga naik. Lalu tahap selanjutnya adalah mengurangi konsumsi secara bertahap," tutur dia.
Jika tidak dikurangi, kata Herman, kas APBN akan habis untuk membiayai subsidi, karena seharusnya dana itu dialokasikan ke pembangunan kilang, pembangkit listrik.
"Jadi kalau ada konsensus nasional, elemen-elemen politik, partai akan satu kata untuk menghapus subsidi. Jangan menggunakan subsidi sebagai isu popularitas terhadap rakyat," tandas dia.
Salah satunya adalah mencampur solar dengan biodiesel 10%. Herman memperkirakan kebijakan ini akan menghemat impor hingga dua juta kiloliter (kl).
"Kalau impor, jika dihitung dengan rata-rata kurs rupiah Rp 11 ribu, maka nilainya mencapai Rp 22 triliun. Jadi bisa menghemat devisa jika menggunakan biodiesel 10% dan ke depan harus dinaikkan," pungkas Herman. (Fik/Nur)