Terkait dengan semakin maraknya penyalahgunaan pil dekstro, Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) cabut izin edar industri farmasi dekstrometorfan sediaan tunggal.
Dekstrometorfan (DMP)merupakan derivat morfin semi sintetik dengan nama kimia d-3-methoxy-N-methyl-morphinan dan merupakan dekstro-isomer dari levomorphan.
Walaupun strukturnya mirip narkotika, DMP tidak bekerja pada reseptor opiat sub tipe mu tetapi bekerja pada reseptor opiat sub tipe sigma yang bekerja dengan meningkatkan ambang rangsang reflek batuk di susunan saraf pusat.
"DMP lebih berbahaya dibandingkan morfin dan kodein atau narkotika golongan satu karena efek dari pil dekstro sifatnya permanen langsung merusak saraf pusat dan tidak disembuhkan dengan rehabilitas melainkan psikiater," tutur Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza, BPOM RI, Dra. Retno Tyas Utami, Apt. M.Epid, Rabu (2/10/2013).
Mengapa desktrometorfan bisa sampa disalahgunakan?
Dilihat dari segi keamanan dan efeknya, penggunaan DMP tidak akan menimbulkan efek berbahaya bila penggunaannya sesuai dengan dosis yang dianjurkan.
Namun beberapa oknum menyalahgunakan dengan mengonsumsi lebih dari dosis yang dianjurkan berharap mendapatkan efek 'fly' atau 'teler'.
"Akan aman jika penggunaannya dosis yang dianjurkan tidak lebih dari 10-15 mg, tetapi kan tidak pada orang yang menyalahgunakan bisa dia mengonsumsi sampai 10 tablet supaya bisa teler," ujar Retno.
DMP digolongkan sebagai obat golongan OTC (Over the Counter) atau obat bebas terbatas yang berarti obat ini dapat dibeli bebas tanpa resep dokter namun dengan jumlah terbatas.
"Awalnya ini kan memang untuk pereda batuk dan flu namun itu orang banyak cari cara untuk bisa teler maka pil dekstro disalahgunakan dengan banyak mengonsumsinya," ungkap Retno.
Retno mengatakan sebelum peredaran obat ke pasaran, BPOM selalu memberitahukan efek samping dari obat yang dilaporkan industri farmasi jika dikonsumsi secara berlebihan yang dicantumkan pada label.
"Jadi semua obat yang dilaporkan masuk ke BPOM sudah diteliti dan dicantumkan efek sampingnya pada label. Tapi kan yang terjadi para penyalahguna itu tidak membaca label, itu yang membuat berbahaya," katanya.
Efek yang ditimbulkan dari penyalahgunaan DMP ditimbulkan dari besarnya dosis yang digunakan. Mengonsumsi DMP dengan dosis 100-200 mg dapat menimbulkan efek ringan, 200-400 mg timbul efek euphoria dan halusinasi.
Dan dosis 300-600 mg memberikan efek gangguan persepsi visual, hilangnya koordinasi motorik gerak tubuh. Untuk dosis 500-1500mg memberikan efek dissosiatif sedatif.
Dissosiatif sedatif yakni perasaan bahwa jiwa dan raga terpisah, hipertemia dengan risiko kejang dan aspirasi. Efek tersebut terkait dengan mekanisme kerja DMP yang langsung pada susunan saraf pusat (medula otak) dan berbeda dengan obat batuk lainnya yang bekerja pada saluran pernapasan.
"Jika penggunaannya sesuai dosis maka itu dapat dikatakan aman, namun dosis berlebihakan berdampak negatif bahkan bisa kematian pada dosis 500-1500mg," paparnya.
Selain memberi efek halusinansi, faktor penyebab lain yang membuat pil dekstro kerap disalahgunakan karena harganya yang murah.
"Untuk mendapatkan narkotika biasanya mahal, nah karena pil dekstro ini murah maka kerap disalahgunakan. Sebutirnya itu harga aslinya hanya 50 rupiah, penyalahguna tersebut hanya dengan uang 5000 sudah bisa teler, ini yang berbahaya maka itu kami tarik izin edarnya," pungkas Retno.
Direktur Pengawasan NAPZA Badan POM RI, Togi Hutajulu mengatakan industri farmasi yang memiliki nomor izin edar dekstrometorfan tunggal harus melaporkan kegiatan produksinya.
"Setiap tanggal 15 tiap bulannya selama tenggang waktu penarikan yakni 30 Juni 2014, industri farmasi yang memiliki izin edar dekstrometorfan sediaan tunggal harus lapor berapa banyak yang diproduksi, dan kemana saja pendistribusiannya," ujar Togi Hutajulu.
(Mia/Abd)
Dekstrometorfan (DMP)merupakan derivat morfin semi sintetik dengan nama kimia d-3-methoxy-N-methyl-morphinan dan merupakan dekstro-isomer dari levomorphan.
Walaupun strukturnya mirip narkotika, DMP tidak bekerja pada reseptor opiat sub tipe mu tetapi bekerja pada reseptor opiat sub tipe sigma yang bekerja dengan meningkatkan ambang rangsang reflek batuk di susunan saraf pusat.
"DMP lebih berbahaya dibandingkan morfin dan kodein atau narkotika golongan satu karena efek dari pil dekstro sifatnya permanen langsung merusak saraf pusat dan tidak disembuhkan dengan rehabilitas melainkan psikiater," tutur Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza, BPOM RI, Dra. Retno Tyas Utami, Apt. M.Epid, Rabu (2/10/2013).
Mengapa desktrometorfan bisa sampa disalahgunakan?
Dilihat dari segi keamanan dan efeknya, penggunaan DMP tidak akan menimbulkan efek berbahaya bila penggunaannya sesuai dengan dosis yang dianjurkan.
Namun beberapa oknum menyalahgunakan dengan mengonsumsi lebih dari dosis yang dianjurkan berharap mendapatkan efek 'fly' atau 'teler'.
"Akan aman jika penggunaannya dosis yang dianjurkan tidak lebih dari 10-15 mg, tetapi kan tidak pada orang yang menyalahgunakan bisa dia mengonsumsi sampai 10 tablet supaya bisa teler," ujar Retno.
DMP digolongkan sebagai obat golongan OTC (Over the Counter) atau obat bebas terbatas yang berarti obat ini dapat dibeli bebas tanpa resep dokter namun dengan jumlah terbatas.
"Awalnya ini kan memang untuk pereda batuk dan flu namun itu orang banyak cari cara untuk bisa teler maka pil dekstro disalahgunakan dengan banyak mengonsumsinya," ungkap Retno.
Retno mengatakan sebelum peredaran obat ke pasaran, BPOM selalu memberitahukan efek samping dari obat yang dilaporkan industri farmasi jika dikonsumsi secara berlebihan yang dicantumkan pada label.
"Jadi semua obat yang dilaporkan masuk ke BPOM sudah diteliti dan dicantumkan efek sampingnya pada label. Tapi kan yang terjadi para penyalahguna itu tidak membaca label, itu yang membuat berbahaya," katanya.
Efek yang ditimbulkan dari penyalahgunaan DMP ditimbulkan dari besarnya dosis yang digunakan. Mengonsumsi DMP dengan dosis 100-200 mg dapat menimbulkan efek ringan, 200-400 mg timbul efek euphoria dan halusinasi.
Dan dosis 300-600 mg memberikan efek gangguan persepsi visual, hilangnya koordinasi motorik gerak tubuh. Untuk dosis 500-1500mg memberikan efek dissosiatif sedatif.
Dissosiatif sedatif yakni perasaan bahwa jiwa dan raga terpisah, hipertemia dengan risiko kejang dan aspirasi. Efek tersebut terkait dengan mekanisme kerja DMP yang langsung pada susunan saraf pusat (medula otak) dan berbeda dengan obat batuk lainnya yang bekerja pada saluran pernapasan.
"Jika penggunaannya sesuai dosis maka itu dapat dikatakan aman, namun dosis berlebihakan berdampak negatif bahkan bisa kematian pada dosis 500-1500mg," paparnya.
Selain memberi efek halusinansi, faktor penyebab lain yang membuat pil dekstro kerap disalahgunakan karena harganya yang murah.
"Untuk mendapatkan narkotika biasanya mahal, nah karena pil dekstro ini murah maka kerap disalahgunakan. Sebutirnya itu harga aslinya hanya 50 rupiah, penyalahguna tersebut hanya dengan uang 5000 sudah bisa teler, ini yang berbahaya maka itu kami tarik izin edarnya," pungkas Retno.
Direktur Pengawasan NAPZA Badan POM RI, Togi Hutajulu mengatakan industri farmasi yang memiliki nomor izin edar dekstrometorfan tunggal harus melaporkan kegiatan produksinya.
"Setiap tanggal 15 tiap bulannya selama tenggang waktu penarikan yakni 30 Juni 2014, industri farmasi yang memiliki izin edar dekstrometorfan sediaan tunggal harus lapor berapa banyak yang diproduksi, dan kemana saja pendistribusiannya," ujar Togi Hutajulu.
(Mia/Abd)