Seksualitas pada dasarnya mewakili hubungan yang kompleks antara berbagai faktor seperti fisiologis, psikologis dan faktor budaya.
Di zaman lampau, di kebanyakan budaya, perilaku seksual yang diterima berdasar pada premis yang menyebutkan, pria butuh dan berhak atas seks sementara kesenangan atas seksual pada wanita harus dinomorduakan setelah kebutuhan si pria terpenuhi kebutuhan seksualnya dan kegiatan reproduksi dilaksanakan. Konsekuensinya, seksualitas pada wanita menjadi sangat terkait dengan yang namanya kegiatan reproduksi semata.
Demikian setidaknya yang pernah disampaikan Dr. Nalini Muhdi, Sp.KJ (K) dalam sebuah simposium seperti ditulis, Sabtu (4/10/2013). Menurut Nalini, nilai-nilai yang hidup di abad sembilan belas ini jelas mendesakkan banyak tabu dan larangan terutama bagi wanita.
Wanita disebutnya kerap menjadi alat, untuk mengamankan kelangsungan hidup manusia lewat prokreasi dan memenuhi kesenangan pria. Karena itu, hanya demi kesehatan seksual prialah semua kegiatan seks itu berjalan.
Namun di zaman yang sudah modern ini, pandangan ini sudah sangat ketinggalan alias kuno. Wanita menyadari bahwa dirinya setara dengan pria, termasuk dalam kehidupan rumah tangga dan perannya sebagai orangtua.
Hak-hak sosial, tanggung jawab, profesi, serta keuangannya sudah otonom disadari menjadi miliknya. Pada saat yang sama, para wanita menyadari adanya sudut pandang baru mengenai fungsi seksual mereka.
"Mereka menyadari bahwa seksualitas tidak hanya berfungsi sebagai kegiatan prokreasi atau pembentukan manusia baru, melainkan merupakan kegiatan rekreasi untuk mendapatkan kepuasan" ujar psikiater di RSU Dr. Soetomo sekaligus dosen di FK Unair Surabaya.
(Abd)
Di zaman lampau, di kebanyakan budaya, perilaku seksual yang diterima berdasar pada premis yang menyebutkan, pria butuh dan berhak atas seks sementara kesenangan atas seksual pada wanita harus dinomorduakan setelah kebutuhan si pria terpenuhi kebutuhan seksualnya dan kegiatan reproduksi dilaksanakan. Konsekuensinya, seksualitas pada wanita menjadi sangat terkait dengan yang namanya kegiatan reproduksi semata.
Demikian setidaknya yang pernah disampaikan Dr. Nalini Muhdi, Sp.KJ (K) dalam sebuah simposium seperti ditulis, Sabtu (4/10/2013). Menurut Nalini, nilai-nilai yang hidup di abad sembilan belas ini jelas mendesakkan banyak tabu dan larangan terutama bagi wanita.
Wanita disebutnya kerap menjadi alat, untuk mengamankan kelangsungan hidup manusia lewat prokreasi dan memenuhi kesenangan pria. Karena itu, hanya demi kesehatan seksual prialah semua kegiatan seks itu berjalan.
Namun di zaman yang sudah modern ini, pandangan ini sudah sangat ketinggalan alias kuno. Wanita menyadari bahwa dirinya setara dengan pria, termasuk dalam kehidupan rumah tangga dan perannya sebagai orangtua.
Hak-hak sosial, tanggung jawab, profesi, serta keuangannya sudah otonom disadari menjadi miliknya. Pada saat yang sama, para wanita menyadari adanya sudut pandang baru mengenai fungsi seksual mereka.
"Mereka menyadari bahwa seksualitas tidak hanya berfungsi sebagai kegiatan prokreasi atau pembentukan manusia baru, melainkan merupakan kegiatan rekreasi untuk mendapatkan kepuasan" ujar psikiater di RSU Dr. Soetomo sekaligus dosen di FK Unair Surabaya.
(Abd)