Skenario `Kiamat` Baru, Suhu Bumi Naik Dimulai dari Manokwari

Ilmuwan memprediksi, Manokwari yang jadi episentrum pemanasan global akan mengalami lonjakan temperatur pada tahun 2020.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 10 Okt 2013, 14:09 WIB
Bumi yang menua dan makin rusak sedang bergegas menuju masa depannya yang apokaliptik: pola kehidupan manusia yang tak lagi ajeg, krisis kemanusiaan, kultur yang tercerabut, jutaan spesies yang terancam punah.

Sejumlah kota besar dunia seperti New York dan London bahkan diperkirakan tak lagi bisa dihuni, dalam 45 tahun ke depan. Demikian menurut studi terbaru yang diterbitkan di jurnal ilmiah, Nature, pekan ini.

Semua itu akibat perubahan iklim ekstrem yang disebabkan ulah manusia sendiri.

Skenario 'kiamat' itu tak akan terjadi dalam waktu lama. Itu mungkin diawali dekade ini di wilayah Indonesia. Menurut perkiraan ilmuwan University Hawaii, tepatnya adalah di Manokwari, Papua Barat. Lalu menjalar ke semua bagian dunia -- pada pertengahan abad.

Ilmuwan memprediksi, Manokwari yang jadi episentrum pemanasan global akan mengalami lonjakan temperatur pada 2020.

Dan sementara jam menuju 'kiamat' terus berdetak, para peneliti mengatakan, sudah terlambat untuk mencegahnya. Manusia kini harus siap-siap, menghadapi perubahan drastis, tahun-tahun yang dingin belakangan akan makin panas, bahkan menjadi yang terpanas.

Para ahli dari University Hawaii, Manoa, mengatakan, meski kita mengerahkan segala daya dan upaya untuk menghentikan atau mengurangi emisi gas rumah kaca, perubahan tak lagi bisa dielakkan, kita hanya mampu menundanya, hingga sekitar 2069.

"Kita sudah terbiasa dengan iklim di daerah di mana kita tinggal. Dengan perubahan iklim ini, apa yang pasti terjadi adalah, kita akan segera meninggalkan zona nyaman," kata ahli biologi, Camilo Mora, pimpinan studi seperti dikabarkan NBC News, Kamis (10/10/2013). "Akan menjadi kondisi tak nyaman bagi kita, manusia, juga semua spesies."

Mora dan para koleganya menggunakan koleksi model iklim global untuk membuat indeks yang memperkirakan titik-titik mana di dunia yang mengalami perubahan di luar norma-norma variabilitas antara tahun 1860 dan 2005.

"Rata-rata, wilayah tropis akan mengalami perubahan iklim yang tak terprediksi 16 tahun lebih dulu daripada wilayah dunia lainnya," kata Mora. Diawali paling cepat 2020 di Manokwari, Indonesia.

Hitung-hitungan di atas kertas, jika manusia terus menggunakan bahan bakar fosil, seperti yang terjadi saat ini, ambang batas global adalah sekitar 2047. Santo Domingo di Republik Dominika ambang batasnya 2026, Paris 2054, dan Austin, Texas pada 2058. Jika gas rumah kaca berhasil distabilkan, perkiraan waktu itu hanya bisa ditunda hanya dalam hitungan dekade.

Kota New York diperkirakan akan menghadapi perubahan suhu yang dramatis pada 2047, Los Angeles pada 2048, dan London 2056. Hanya jika emisi gas rumah kaca bisa distabilkan, New York masih bisa dihuni sampai 2072 dan London sampai 2088.

3 Pilihan

Foto dok. Liputan6.com


Menurut tim Mora, selama rezim perubahan iklim baru masih tertunda, ada 3 pilhan yang bisa diambil: pindah ke lokasi yang lebih sesuai atau tetap di sana dan beradaptasi. Jika tidak, pilihan ketiga adalah kepunahan.

"Hal yang sama terjadi pada manusia. Namun lebih rumit. "Kita punya batas politik yang tak bisa dilintasi dengan mudah. Seperti orang di Meksiko -- jika iklim menggila di sana, tak bisa mereka dengan mudah ke AS," kata Mora.

Tergantung pada skenario mitigasi, pada 2050 antara 1 miliar dan 5 miliar orang akan tinggal di daerah dengan iklim yang sangat tak menentu. Demikian ungkap penulis lain, Ryan Longman.

"Negara pertama merasakan dampak perubahan iklim yang tak menentu adalah yang secara ekonomi tak punya kapasitas untuk merespons," kata dia. Ironisnya, negara-negara yang paling bertanggung jawab -- negara maju -- baru belakangan merasakannya.

Lalu apa yang harus dilakukan?

Menurut Roger Pielke Jr, analis perubabahan iklim dari University of Colorado, Boulder mengatakan, mengambil kebijakan sekonyong-konyong menyusul peringatan dari ilmuwan, adalah tidak tepat.

"Lebih baik mendesain kebijakan yang punya manfaat jangka pendek seperti pekerjaan, akses energi, dan mengurangi polusi -- yang juga dapat mengatasi tantangan jangka panjang yakni akumulasi karbondioksida di atmosfer," kata dia. Bukan menakut-nakuti publik.

Poros Baru: Wilayah Tropis

Penelitian yang diungkap Mora dan rekan-rekannya diakui sebagai poros baru bagaimana cara ilmuwan iklim berfokus pada  variabilitas iklim daripada perubahan mutlak, misalnya, dengan menggeser perhatian mereka dari Kutub Utara yang terpencil dan para beruang kutubnya ke wilayah tropis -- di mana manusia lebih banyak tinggal.

Meski iklim memanas dengan cepat di kutub dengan efek yang besar, namun, pemanasan, meski hanya beberapa derajat, akan mengganggu keseimbangan kehidupan, membuat panen gagal, berakibat pada jutaan bahkan miliaran orang.

"Pemanasan di tropis mungkin tak seberapa (dibanding di kutub), namun dampaknya akan segera terlihat, menghancurkan spesies, juga manusia," kata Stuart Pimm, ahli biologi konservasi di Duke University, yang tidak terlibat dengan studi terbaru, namun akrab dengan topiknya.

Sementara, ilmuwan lain skeptis dengan presisi angka tahun yang diperkirakan tim Mora. Dan dari mana mereka berasal. Salah satunya yang mempertanyakan adalah Eric Post, ahli biologi dari Penn State University.

Namun, ia mengatakan, metodologi itu dapat meningkatkan pemahaman tentang peran perubahan iklim atas punahnya keanekaragaman hayati, terutama di tataran regional.

"Jika penilaian Mora terbukti akurat, para praktisi konservasi bisa mengambil pelajaran -- laju perubahan ikllim kini tak lagu dimulai, tapi sudah ditetapkan, garis finish-nya adalah ancaman kepunahan yang terdekat di daerah tropis," kata dia. (Ein/Yus)

Foto dok. Liputan6.com

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya