Botak Sudah Bukan Masalah Lagi bagi Pria, Ada Obatnya!

Ilmuwan sudah menemukan penyebab kebotakan pria. Dari penemuan itu bisa diharapkan pengobatan yang bisa menghentikannya

oleh Gabriel Abdi Susanto diperbarui 17 Okt 2013, 19:55 WIB
Ketika pria bertambah usia, rambut tampak semakin tipis. Sejumlah pria malah ada yang mengalami penipisan rambut sebelum waktunya. Ilmuwan sudah menemukan penyebab kebotakan pria. Dari penemuan itu bisa diharapkan pengobatan yang bisa menghentikan atau bahkan mengembalikan rambut yang menipis.

Penyebab kebotakan pria secara biologis sudah ditemukan. Dalam sebuah penelitian terhadap pria botak dan tikus laboratorium, ilmuwan dari Amerika Serikat menemukan protein yang memicu kerontokan rambut. Dari sana, mereka sedang menuju ke arah pengembangan krim yang langsung mengobati kebotakan. Demikian laporan yang diterbitkan dalam Jurnal Science Translational Medicine seperti ditulis, Kamis (17/10/2013).

Sebagai mana diketahui, sebagian besar pria mengalami kebotakan pada usia paruh baya. Sekitar 80 persen pria mengalami kerontokan rambut sampai usia 70 tahun.

Hormon testosteron berperan penting dalam kebotakan. Demikian juga faktor genetik. Keduanya menyebabkan folikel rambut mengerut dan akhirnya menjadi sangat kecil dan tak terlihat oleh mata telanjang. Dan di kepala tampaklah kebotakan.

Ilmuwan  dari University of Pennsylvania telah menganalisis gen yang bekerja ketika pria mulai botak. Mereka menemukan kadar protein kunci, yang disebut prostaglandin D synthase, meningkat dalam sel-sel folikel rambut yang terletak di kulit kepala yang botak, bukan di daerah yang berambut.

Tikus-tikus dalam percobaan memiliki kadar protein itu dalam kadar tinggi ketika sepenuhnya botak. Sementara rambut manusia yang ditransplantasi berhenti tumbuh ketika diberi protein tersebut.

Rambut Tidur  
Prof. George Cotsarelis dari departemen dermatologi yang memimpin penelitian itu mengatakan, ”Pada dasarnya kami membuktikan bahwa protein prostaglandin meningkat di kulit kepala yang botak pada pria. Protein itu menghambat pertumbuhan rambut. Jadi kami mengidentifikasi target untuk mengobati kebotakan berpola pada pria.”

Penghambatan pertumbuhan rambut terpicu ketika protein terikat pada sebuah reseptor dalam sel-sel folikel rambut, kata Prof. Cotsarelis. Beberapa obat yang menargetkan protein ini sudah diidentifikasi. Beberapa di antaranya sudah berada dalam tahap ujiklinis.

Mereka mengatakan, ada potensi untuk mengembangkan obat yang bisa dioleskan ke kulit kepala untuk mencegah kebotakan. Kemungkinan juga rambut bisa tumbuh kembali di kepala yang sudah telanjur botak.

Penelitian lain juga membuktikan ada kemungkinan kepala yang telanjur botak bisa memiliki rambut kembali. Percobaan pada tikus, sebagaimana dilaporkan jurnal Cell, mengatakan sel punca rambut dikontrol oleh lemak. Menginjeksi sejenis sel lemak menstimulasi pertumbuhan rambut tikus. Tim peneliti dari Yale University yang melakukan penelitian mengatakan, hasil penelitian ini memungkinkan rambut botak untuk ditumbuhkan kembali.

Menurut mereka, terdapat peningkatan empat kali lipat jumlah prekursor sel lemak dalam kulit di sekitar folikel rambut ketika mulai tumbuh. Tikus yang botak tidak memproduksi sel lemak tersebut.

Rambut secara normal tumbuh dalam siklus tertentu dan ada siklus dorman, yakni rambut tidur atau tidak tumbuh. Pada tikus botak, folikel terperangkap dalam fase dorman siklus kehidupan rambut.

Ilmuwan kemudian menyuntik sel lemak pada tikus botak yang diambil dari tikus sehat. Dua pekan kemudian, folikel rambut mulai tumbuh. Menginjeksi faktor pertumbuhan pada sel kulit tikus botak bisa memulai pertumbuhan 86 persen folikel.

Namun, belum diketahui proses kimiawi ini juga terjadi pada kepala manusia. Penelitian sebelumnya pada pria membuktikan bahwa bagian yang botak di kulit kepala memiliki jumlah sel punca yang sama dengan bagian yang punya rambut.

“Jika kita bisa membuat sel lemak di kulit bicara dengan sel punca tidur (dorman) di dasar folikel rambul, kita mungkin bisa membuat rambut tumbuh kembali,” kata Prof.Valerie Horsley dari Yale University.

(Abd)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya