Media Diminta Ikut Memberikan Pendidikan Politik ke Masyarakat

"Pascareformasi, media terbebas dari belunggu SIUPP. Setelah freedom from (Orde Baru) selanjutnya freedom for apa?" kata Dewan Pers, Ninok.

oleh Addy Hasan diperbarui 18 Okt 2013, 11:45 WIB
15 tahun pascareformasi yang ditandai dengan jatuhnya Orde Baru, media mendapatkan kebebasan pers yang cukup luas dalam memberikan informasi, hingga hiburan kepada masyarakat. Media, terutama televisi saat ini memiliki pengaruh yang cukup besar karena hadir setiap hari selama 24 jam.

Namun, seiring kebebasan yang didapatkannya media menuai kritik masyarakat karena dinilai kebablasan, bias pemberitaan hingga membawa kepentingan politik. Terlebih, media besar akhir-akhir ini tidak hanya dikuasai pebisnis saja namun juga politisi. Alhasil, apa yang ditayangkan televisi kerap dianggap sebagai kebenaran termasuk opini yang dibangunnya. Namun, media belum memberikan pendidikan politik terhadap masyarakat.

Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari mengaku prihatin banyaknya sorotan media terhadap anggota DPR pusat mau pun daerah dalam pemberitaan kasus korupsi mengakibatkan kelembagaan DPR tidak dipercaya rakyat. Padahal yang dilakukan anggota DPR yang berjumlah sekitar 560 orang adalah perbuatan individu bukan kelembagaan.

"Yang dipercaya saat ini adalah media sedangkan yang paling tidak dipercaya adalah partai politik," kata Hajriyanto dalam seminar nasional di Universitas Indonesia, Kampus Depok, Jawa Barat, Kamis (17/10/2013).

Selain itu, Ia menambahkan banyaknya pemberitaan negatif seakan membuat negara ini dalam keadaan carut marut dan membuat bangsa ini menjadi pesimis akan masa depannya. Menurutnya media ikut bertanggung jawab dalam pembelajaran dan pendidikan politik terhadap warga negara. Jika hanya banyak memberitakan berita negatif maka dikhawatirkan bisa mengakibatkan spiral of pesimism.

"Media bisa menjadi spiral of pessimism yang membuat bangsa ini pesimis dengan masa depannya. Kalau ini dibiarkan maka Indonesia dikhawatirkan bisa menjadi negara gagal. Peran media yang perlu diangkat adalah arasa optimis dengan demokrasi kita sebagai negara demokrasi muslim terbesar di dunia," kata Hajriyanto yang juga politisi Partai Golkar.

Polri

Sementara itu, Humas Polri yang diwakili Kombes Pol Agus Rianto mengatakan Polri mendapatkan stigma buruk dari pemberitaan media yakni tidak dipercaya masyarakat. Ketika Polri memberikan keterangan maka masyarakat cenderung menyalahkan Polri atau menuding Polri melindungi anggotanya.

Ia menyontohkan kasus pembunuhan wanita Fransisca di Bandung, di Jawa Barat, belum lama ini. Namun, sebagian masyarakat Jawa Barat sudah menilai Kompol A terlibat dalam pembunuhan dalam kasus itu sebelum ada pembuktian atau fakta. Saat Kompol A disebut tidak terlibat, Polri dianggap melindungi anggotanya.

"Polisi dituding tidak transparan. Hingga akhirnya keluarga korban datang membawa berkas. Dan akihirnya kita jelaskan bahwa memang Kompol terlibat hubungan asmara tapi bukan pembunuhnya," kata Agus.

Karena itu, ia berharap media bisa menjaga netralitasnya tanpa mengurangi isi berita atau pun memberikan informasi menurut keinginannya sendiri.

"Media melaksanakan tugasnya sesuai dengan fungsi mencerdaskan masyarakat, keseimbangan berita atau "cover both side”, mampu mencegah konflik atau emosi di masyarakat, tidak ada lagi bad news is good news. Dan berkomitmen mejaga kedamaian terutama saat menghadapi Pemilu 2014," imbuh Agus.

KPU

Mantan anggota KPU Khusnul Mariyah menyoroti wartawan kurang melakukan investigasi mendalam. Sebagian besar masih mengandalkan kutipan pernyataan nara sumber tapa melakukan cek dan ricek. Hal ini dialamianya saat mengemban tugas sebagai KPU pada pemilu 2004 lalu.

“Lack of Investigatif. Seharusnya dicek dan ricek ke sumber lain apakah pernyataan itu benar. Ini bisa jadi spiral of stupidity," kata Khusnul.

Ia menambahkan banyak politisi yang memanfaatkan media. Namun, hal yang perlu diingat media bisa mempopulerkan seseorang dan juga membuat seseroang terpilih menjadi wakil rakyat. Tapi media tidak bisa membuat orang memiliki kemampuan leadership.

"Melalui media seseorang bisa populer dan dipilih jadi wakil rakyat atau pemimpin daerah. Tapi media tidak bisa membuat orang memiliki kapabilitas untuk memimpin meliki jiwa leadership" imbuh Khusnul.

Dewan

Sementara itu, Dewan Pers yang diwakili Ninok Laksono mengatakan pihaknya mengakui kesibukan internal media untuk bisa mewujudkan profesionalitas. Menurutnya, hal ini disebabkan profesi wartawan dan jumlah media meningkat drastis pascareformasi baik di pusat mau pun di daerah. Terlebih tidak semua wartawan adalah mahasiswa jurnalistik yang tahu kode etik setelah era kebebsan pers hadir pascareformasi..

"Sekarang belenggu SIUPP sudah tidak. Media setelah freedom from (Orde Baru) lantas freedom for (bebas untuk)apa?" kata Ninok. 

Ia mengakui jumlah wartawan melonjak drastis hingga 200 ribu sampai 200 ribu orang dengan berbagai macam media cetak, radio hingga televisi. Termasuk yang di daerah-daerah.  Karena itu, ia menuturkan Dewan Pers juga telah melakukan sosialisasi ke daerah-daerah kode etik jurnalistik dan peraturan penyiaran,  terlebih mendekati Pemilu 2014. Media harus mampu menjaga netralitasnya.

"Mulai April hingga Juli 2014 media akan disibukkan dengan berita Pemilu. Tapi dengan catatan tidak dibajak tertangkapnya koruptor," jelasnya.

Ninok menambahkan saat ini dunia sudah mulai memasuki era jurnalisme konvergen dengan menggabungkan semua unsur media cetak, telvevisi hingga online dalam satu perusahaan. Berita yang dipasok pun tidak hanya oleh wartawan media mainstream, tapi juga citizen journalist yang memberikan kabar di sekitarnya.

"Masyarakat sudah termediakan. Hampir setiap hari masyarakat nonton televisi dari pagi, siang, sore, malam sampai pagi lagi. Semua waktu ada caranya masing-masing," tukas Ninok. (Adi)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya