Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menyelamatkan Mahkamah Konstitusi (MK) menyusul terungkapnya dugaan suap sengketa pilkada Ketua nonaktif Akil Mochtar. Namun, terbitnya Perppu MK itu menuai pro dan kontra.
Praktisi hukum Habiburokhman mengatakan menolak Perppu MK dan akan mengajukan judicial review (JR) ke MK, Senin besok, 21 Oktober 2013. Menurutnya, Perppu No. 1 tahun 2013 tentang penyelamatan MK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam Pasal 22 UUD 1945 disebutkan, perppu dapat dikeluarkan oleh presiden saat negara dalam keadaan genting dan kepentingan memaksa. Sementara, prahara yang menimpa MK bukan hal yang genting dan memaksa seperti yang dimaksud undang-undang.
"Dalam hal ini tidak ada kegentingan di MK. Yang ada kegentingan pada pemberantasan korupsi. Jadi seharusnya yang dibuat perppu adalah tentang pemberantasan korupsi bukan penyelamatan MK," kata Habiburakhman saat dihubungi Liputan6.com, Minggu (20/10/2013).
Habib menambahkan, dalam perppu ada dua klausul tentang majelis kehormatan MK untuk pengawasan hakim dan panel ahli sebagai syarat pemilihan hakim MK. Keduanya dianggap tidak detail mekanismenya. Dalam panel ahlli misalnya, perppu hanya menyebut 4 orang dipilih oleh Komisi Yudisial (KY).
"Panel ahli diusulkan masyarakat yang dipilih oleh KY, tpai kita tidak tahu mekanisme pemilihannya seperti apa. Justru 4 orang itu yang kita ragukan independensinya," jelas Habiburakhman.
Ia menegaskan daripada perppu ini jadi ajang saling curiga lebih baik presiden fokus pada pemberantasan korupsi, bukan MK secara institusi. Misalnya, dengan membuat perppu pemberantasan korupsi berisikan hukuman lebih berat bagi para koruptor.
"Solusinya, evaluasi secara tuntas pembertasan korupsi, baik undang-undangnya, maupaun lainnya. Temasuk soal efek jera, pemiskinan, dan penambahan hukuman maksimal bagi koruptor," tukas Habiburakhman. (Don/Adi)
Praktisi hukum Habiburokhman mengatakan menolak Perppu MK dan akan mengajukan judicial review (JR) ke MK, Senin besok, 21 Oktober 2013. Menurutnya, Perppu No. 1 tahun 2013 tentang penyelamatan MK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam Pasal 22 UUD 1945 disebutkan, perppu dapat dikeluarkan oleh presiden saat negara dalam keadaan genting dan kepentingan memaksa. Sementara, prahara yang menimpa MK bukan hal yang genting dan memaksa seperti yang dimaksud undang-undang.
"Dalam hal ini tidak ada kegentingan di MK. Yang ada kegentingan pada pemberantasan korupsi. Jadi seharusnya yang dibuat perppu adalah tentang pemberantasan korupsi bukan penyelamatan MK," kata Habiburakhman saat dihubungi Liputan6.com, Minggu (20/10/2013).
Habib menambahkan, dalam perppu ada dua klausul tentang majelis kehormatan MK untuk pengawasan hakim dan panel ahli sebagai syarat pemilihan hakim MK. Keduanya dianggap tidak detail mekanismenya. Dalam panel ahlli misalnya, perppu hanya menyebut 4 orang dipilih oleh Komisi Yudisial (KY).
"Panel ahli diusulkan masyarakat yang dipilih oleh KY, tpai kita tidak tahu mekanisme pemilihannya seperti apa. Justru 4 orang itu yang kita ragukan independensinya," jelas Habiburakhman.
Ia menegaskan daripada perppu ini jadi ajang saling curiga lebih baik presiden fokus pada pemberantasan korupsi, bukan MK secara institusi. Misalnya, dengan membuat perppu pemberantasan korupsi berisikan hukuman lebih berat bagi para koruptor.
"Solusinya, evaluasi secara tuntas pembertasan korupsi, baik undang-undangnya, maupaun lainnya. Temasuk soal efek jera, pemiskinan, dan penambahan hukuman maksimal bagi koruptor," tukas Habiburakhman. (Don/Adi)