Lingkar Madani: Proses Lahirnya Perppu MK Bersifat Politis

Lingkar Madani Indonesia menilai lahirnya Perppu MK lebih kentara aroma politisnya ketimbang hukum. Semuanya diserahkan ke DPR.

oleh Oscar Ferri diperbarui 22 Okt 2013, 13:05 WIB
Presiden SBY menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2013 untuk menyelamatkan Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru saja didera kasus suap. Namun, banyak yang menyayangkan Perppu tersebut lantaran secara substansial dianggap tidak bermakna.

Bahkan, Perppu itu kini sudah didaftarkan untuk diuji secara materi di MK oleh pengacara Habiburokhman. Menanggapi hal itu, Direktur Lingkar Madani (Lima) Indonesia, Ray Rangkuti, melihat Perppu itu lebih bersifat politis ketimbang proses hukum.

"Meskipun outputnya adalah hukum, tetapi proses keluarnya Perppu itu bersifat politik. Karena definisi genting dan mendesak itu definisi politik," kata Ray di Gedung MK, Jakarta, Selasa (21/10/2013).

Namun demikian, Ray mengatakan akan lebih tepat jika Habib juga ke DPR. Sebab, DPR adalah lembaga yang berwenang mengesahkan Perppu. "Meminta agar DPR menyatakan mendukung untuk menegakkan proses itu. Karena menurut saya, kalau prosesnya yang mau mereka sengketakan, bagi saya lebih tepat kepada putusan politik," kata Ray.

Yang jelas, lanjut Ray, Perppu itu saat ini belum bisa diberlakukan karena belum ada persetujuan parlemen. "Kan sebelum diterima DPR, tidak berlaku Perppu ini. Artinya belum bisa dieksekusi (di MK). Tetapi kalau mereka menyatakan sah baru dieksekusi," kata Ray.

Sebelumnya, Habiburokhman mendaftarkan gugatan uji materiil ke MK terhadap Perppu No 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK. Menurut Habib, Perppu itu bertentangan dengan Pasal 22 UUD 1945 karena dikeluarkan tidak dalam keadaan genting dan memaksa.

Menurut Habib, dikeluarkannya Perppu itu mereduksi persoalan korupsi menjadi seolah-olah hanya terjadi di MK. Padahal, persoalan korupsi adalah persoalan yang terjadi di hampir seluruh institusi negara. Baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. "Jadi ini obat yang salah untuk penyakit korupsi di Indonesia," katanya. (Ado)



POPULER

Berita Terkini Selengkapnya