Kisah Otaku, Pria yang Pilih `Bercinta` dengan Gadis Virtual

Sejumlah pria muda Jepang mirip 'herbivora' -- pasif dan tak punya ambisi duniawi. Punya andil ke penurunan populasi Negeri Sakura.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 24 Okt 2013, 14:12 WIB
Angka kelahiran di Jepang sangat rendah, jika tak ada upaya untuk mengatasinya, populasi Negeri Sakura terancam menyusut. Salah satu faktor berkurangnya kelahiran bayi adalah munculnya generasi baru yang disebut otaku -- para pria yang mencintai manga, anime, dan komputer lebih dari seks.

Di Tokyo, salah satu metropolitan terbesar dunia, rumah bagi 35 juta penduduknya, sulit dipercaya ada masalah terkait penurunan populasi di sana. Tapi, itu fakta. Sebuah area bernama Akihabara -- yang didedikasikan bagi para pecinta manga dan anime -- menjadi  petunjuk bagi permasalahan Jepang secara keseluruhan.

Akihabara adalah surganya para otaku.

Otaku adalah generasi kikuk yang dihasilkan dari 20 tahun stagnasi ekonomi. Mereka memilih menghilang, menenggelamkan diri dalam dunia fantasinya sendiri.

Kunio Kitamara dari Asosiasi Keluarga Berencana Jepang menggambarkan, sejumlah pria muda Jepang sebagai 'herbivora' -- pasif dan tak punya ambisi duniawi.

Mereka tak seperti generasi alfa -- pemuda pascaperang dengan ambisi berkobar yang menjadikan Jepang yang kalah perang sebagai raksasa ekonomi dunia. Banyak pria di masa kini yang  bahkan tak mau bekerja dan menarik diri dari hubungan sosial, termasuk dengan lawan jenis.

Sebuah survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan pada tahun 2010 menemukan, 36% laki-laki Jepang yang berusia 16 hingga 19 tidak tertarik pada seks. Angka yang melonjak dua kali lipat dalam waktu dua tahun.

Kekasih Virtual

Sejumlah otaku mengaku, mereka menjalin hubungan cinta dengan kekasih virtual.

Pacar mereka sebenarnya adalah permainan game Nitendo yang disebut 'Love Plus' yang hadir dalam tablet kecil yang gampang dibawa ke mana-mana.

Nurikan dan Yuge -- dua otaku -- membawa pacar-pacar mereka Rinko dan Ne-ne, dalam kencan nyata, ke taman, dan membeli kue untuk merayakan hari jadian.  

"Ini adalah hubungan yang kami harapkan sejak SMA," kata Nurikan, seperti dimuat BBC Magazine, Kamis (24/10/2013). Di permainan itu, Nurikan berusia 15 tahun. Padahal, nyatanya ia berusia 38 tahun.

"Selama aku masih punya waktu, aku akan menjalani hubungan ini selamanya," kata Yuge (39). Dalam dunia fantasinya, ia berusia 17 tahun.

Yege mengaku sering menaruh Ne-ne -- atau konsol gamenya itu ke keranjang sepeda. Mengambil foto mereka berdua di lokasi-lokasi tertentu. Mirip kebiasaan muda mudi yang pacaran.

Dan meski Yuge berminat menjalin hubungan dengan perempuan biasa, dan Nurikan bahkan sudah menikah, mereka mengaku, memiliki pacar virtual lebih mudah daripada pasangan sungguhan.

"Dengan pacar yang nyata, selalu harus mempertimbangkan pernikahan, jadi aku harus berpikir dua kali sebelum berkencan dengan perempuan 3 dimensi," kata dia.

Sementara, Nurikan merahasiakan pacar virtualnya, Rinko dari istrinya. Pria itu berharap tak harus memilih satu di antara keduanya.

Pesimistis dengan Masa Depan

Mengapa persisnya mereka terjebak dalam dunia fantasi seperti anak-anak, belum jelas.

Pengamat sosial yang tinggal di Tokyo,  Roland Kelts mengatakan, kebanyakan pemuda Jepang pesimistis dengan masa depan. Mereka tak yakin bisa mendapatkan harta sebanyak yang dimiliki orang tua, juga tidak ingin berkomitmen untuk menjalin hubungan.

"Dibanding dengan China atau Vietnam, kebanyakan anak muda di sana memakai skuter pergi ke kelab malam, bergoyang, atau bahkan berhubungan seks -- mereka akan merasa lebih baik, meski tahu benar mereka akan menguras uang orang tua mereka," kata dia. "Tak ada orang Jepang bisa seperti itu."

Beberapa survei menunjukkan bahwa bahkan ketika pria dan wanita Jepang menjalin hubungan, mereka amat jarang berhubungan seks. Dalam satu survei hanya 27 % responden mengatakan mereka berhubungan seks setiap minggu.

Tingkat pernikahan juga terjun bebas, dan hanya sedikit bayi dihasilkan. Sementara, hanya 2%  bayi yang lahir di luar nikah. Akibatnya banyak bangsal-bangsa melahirkan di rumah sakit sepi pengunjung. Di sebuah RS Hokkaido bahkan ditutup karena tak ada pasien yang datang.

Foto dok. Liputan6.com


Pernikahan juga dianggap beban berat. Biaya properti di Jepang amat mahal. Kebutuhan bakal makin membengkak ketika memiliki anak. Pria Jepang masa kini juga kalah ambisius dengan kaum hawa soal karir. Kemapanan hidup bukan lagi prioritas utama para pria.

Bom waktu demografis Jepang juga terkait dengan kurangnya imigrasi. Jepang masih menutup diri dari para imigran, meski mengalami kelangkaan tenaga terampil.

Jepang memang telah berhasil melestarikan budayanya yang unik di dunia yang semakin mengglobal, namun seberapa bisa identitas itu bertahan di tengah masalah populasi?

Atau hanya soal waktu bagi para lelaki untuk tumbuh, jadi dewasa, melakukan hubungan seksual, dan membuat lebih banyak bayi? (Ein)

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya