Indonesia bersama empat negara lain, yakni India, Brasil, Turki dan Afrika Selatan dinilai sebagai negara dengan perekonomian yang rapuh di dunia.
Menurut pejabat senior Amerika Serikat (AS), hal itu karena ketidakpastian prospek masa depan negara-negara tersebut antara lain berkaitan dengan pemilihan umum yang berlangsung tahun depan seperti yang terjadi di India, mengutip laman Press Trust of India, Sabtu (26/10/2013) .
"Pertanyaan besar tentang India sekarang adalah apa yang terjadi dalam pemilu tahun depan dan siapa yang akan menjadi pemerintahan baru . Itu pertanyaan yang sangat rumit," ujar Asisten Menteri Keuangan untuk International Finance AS, Charles Collyns.
Dia mengakui jika India menjadi negara demokrasi terbesar di dunia karena memiliki beberapa partai politik. Namun di sisi lain, pihak juga telah dikaitkan dengan kebijakan-kebijakan sosial yang kurang positif.
"Dan itu tidak jelas apakah mereka benar-benar akan mendapatkan kekuasaan bahkan jika mereka menjadi pemegang kursi terbesar di Kongres," jelas Collyns.
Collyns mengatakan India adalah salah satu dari lima negara dengan perekonomian paling rapuh di dunia. Empat lainnya adalah Brasil, Indonesia, Turki dan Afrika Selatan.
"Kelima negara tersebut rapuh karena mereka memiliki defisit neraca berjalan yang besar dan mereka telah sangat bergantung pada modal portofolio untuk membiayai defisit tersebut," tambah dia.
Selain itu kelima negara ini mengalami depresiasi tajam dalam nilai tukar mata uangnya. "Jadi secara bertahap ada diskriminasi jelas antara ekonomi yang paling rapuh dan lainnya," ujar Collyns.
Sebab itu para negara ini dinilai harus mengambil respons kebijakan yang cukup kuat untuk menstabilkan pasar valuta asing mereka.
"Tiga dari mereka benar-benar harus meningkatkan tingkat kebijakan mereka. Brazil, India dan Indonesia harus menaikkan kebijakan suku bunga mereka. Tapi juga harus ada respons kebijakan yang jauh lebih luas dari sekedar menaikkan suku bunga," tutur dia.
Dia menyebutkan negara-negara yang berada di bawah tekanan mengambil sejumlah langkah. Mereka menaikkan suku bunga mereka, mengambil langkah-langkah untuk memperketat likuiditas, melakukan intervensi di pasar, menyediakan swap valuta asing, menyediakan lindung nilai terhadap risiko mata uang asing.
"Mereka mengambil langkah-langkah untuk mendorong arus modal masuk untuk mencoba membangkitkan untuk melindungi posisi mereka, " tandas dia. (Nur)
Menurut pejabat senior Amerika Serikat (AS), hal itu karena ketidakpastian prospek masa depan negara-negara tersebut antara lain berkaitan dengan pemilihan umum yang berlangsung tahun depan seperti yang terjadi di India, mengutip laman Press Trust of India, Sabtu (26/10/2013) .
"Pertanyaan besar tentang India sekarang adalah apa yang terjadi dalam pemilu tahun depan dan siapa yang akan menjadi pemerintahan baru . Itu pertanyaan yang sangat rumit," ujar Asisten Menteri Keuangan untuk International Finance AS, Charles Collyns.
Dia mengakui jika India menjadi negara demokrasi terbesar di dunia karena memiliki beberapa partai politik. Namun di sisi lain, pihak juga telah dikaitkan dengan kebijakan-kebijakan sosial yang kurang positif.
"Dan itu tidak jelas apakah mereka benar-benar akan mendapatkan kekuasaan bahkan jika mereka menjadi pemegang kursi terbesar di Kongres," jelas Collyns.
Collyns mengatakan India adalah salah satu dari lima negara dengan perekonomian paling rapuh di dunia. Empat lainnya adalah Brasil, Indonesia, Turki dan Afrika Selatan.
"Kelima negara tersebut rapuh karena mereka memiliki defisit neraca berjalan yang besar dan mereka telah sangat bergantung pada modal portofolio untuk membiayai defisit tersebut," tambah dia.
Selain itu kelima negara ini mengalami depresiasi tajam dalam nilai tukar mata uangnya. "Jadi secara bertahap ada diskriminasi jelas antara ekonomi yang paling rapuh dan lainnya," ujar Collyns.
Sebab itu para negara ini dinilai harus mengambil respons kebijakan yang cukup kuat untuk menstabilkan pasar valuta asing mereka.
"Tiga dari mereka benar-benar harus meningkatkan tingkat kebijakan mereka. Brazil, India dan Indonesia harus menaikkan kebijakan suku bunga mereka. Tapi juga harus ada respons kebijakan yang jauh lebih luas dari sekedar menaikkan suku bunga," tutur dia.
Dia menyebutkan negara-negara yang berada di bawah tekanan mengambil sejumlah langkah. Mereka menaikkan suku bunga mereka, mengambil langkah-langkah untuk memperketat likuiditas, melakukan intervensi di pasar, menyediakan swap valuta asing, menyediakan lindung nilai terhadap risiko mata uang asing.
"Mereka mengambil langkah-langkah untuk mendorong arus modal masuk untuk mencoba membangkitkan untuk melindungi posisi mereka, " tandas dia. (Nur)