Citizen6, Jakarta: Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPI) mungkin satu-satunya serikat buruh yang masih eksis untuk menuntut kenaikan upah sebesar 50%. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, KSPI tidak hanya memobilisasi massa demonstran, namun juga mengkoordinir aksi mogok nasional di berbagai daerah. Kini massa buruh mengancam akan melakukan aksi mogok nasional seperti yang terjadi pada 3 Oktober 2012 lalu. Presiden KSPI Said Iqbal dalam dialog kebangsaan di istora Senayan Jakarta (21/10/13) menjelaskan bahwa mogok nasional dirasa buruh sebagai upaya terakhir agar pemerintah memenuhi tuntutan mereka terkait implementasi jaminan kesehatan seluruh rakyat pada 1 Januari 2014, kenaikan upah 50 persen serta mengenai *
outsourcing* di BUMN.
Said menambahkan, pihaknya memberi waktu pada Menteri BUMN sampai akhir Oktober ini untuk mempertimbangkan tuntutan buruh. Jika tuntutan tersebut tidak dipenuhi, buruh BUMN akan bergabung dengan mogok nasional yang direncanakan berlangsung pada 28 Oktober sampai 1 November 2013.
Selanjutnya, buruh akan melakukan aksi mogok secara sporadis di 200 kabupaten-kota. Para buruh takkan melakukan aktifitas sama-sekali di tempat kerja masing-masing. Kerugian yang akan ditimbulkan akibat aksi ini diperkirakan mencapai Rp.200 triliun dalam sehari. Said juga meminta maaf kepada masyarakat yang akan terganggu akibat mogok nasional para buruh. Pihak KSPI akan tetap membuka ruang dialog dengan pemerintah sebelum menjalankan aksi mogok.
Jika dipikir-pikir, mogok kerja mungkin cara yang paling mutakhir bagi buruh untuk meningkatkan *bargaining position* serta memastikan bahwa pemilik modal dan pemerintah memenuhi –atau setidaknya mempertimbangkan- tuntutan mereka. Disisi lain, aksi mogok nasional yang dilakukan oleh buruh juga memiliki efek domino dengan tendensi negatif terhadap perusahaan, pemerintah, dan masyarakat luas, tak terkecuali kalangan buruh sendiri.
Buruh yang digaji per hari pasti akan merasakan kerugian finansial secara langsung jika terlibat dalam aksi mogok. Selama mogok berlangsung, para buruh tidak terlibat dalam proses produksi. Lantas, siapa yang akan memenuhi kebutuhan hidup jutaan buruh harian dan keluarganya selama mogok berlangsung? Tidak ada perusahaan yang bersedia membayar para karyawannya yang tidak bekerja. Mengacu pada Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) dan ketentuan lainnya, perusahaan manapun akan memperjuangakan hak hukumnya, termasuk untuk tidak membayar karyawan pada hari dimana karyawan tersebut tidak masuk kerja.
Para buruh yang melakukan mogok juga bisa terancam kehilangan lahan pekerjaan karena perusahaan terbebani dengan tuntutan upah yang terlampau tinggi serta kerugian yang diderita selama berlangsungnya mogok. Data dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia mengungkapkan bahwa tidak kurang dari 60.000 buruh industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi (Jabodetabek) mengalami PHK.
Selain PHK, 60 perusahaan industri TPT di Jabodetabek yang merasa terbebani oleh UMP 2013, merelokasi pabriknya ke beberapa daerah di Jawa Tengah, dan Jawa Barat (Majalengka dan Subang) yang upahnya lebih rendah daripada Jabodetabek. Sementara itu, perusahaan-perusahaan asal Jepang berusaha mendiversifikasi basis produksi karena kenaikan upah tenaga kerja di Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Basis produksinya saat ini diproyeksikan ke Myanmar dengan upah tenaga kerja termurah di Asia. Fenomena ini mulai terlihat sejak adanya kenaikan upah minimum yang cukup drastis, hingga 2,2 juta rupiah per bulan, jauh lebih tinggi dari upah buruh Myanmar yang hanya 900 ribu rupiah per bulan. Guna menekan biaya operasional dalam proses produksi dan menghindari kerugian akibat rawannya aksi mogok, pemilik modal juga bisa mengganti tenaga manusia dengan mesin. Jika demikian, angka
pengangguran di Indonesia tentu akan meroket.
Dampak lain dari aksi mogok yang dilakukan buruh adalah terganggunya aktivitas masyarakat karena beberapa ruas jalan dan fasilitas publik lainnya tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Akibatnya produktivitas masyarakat pun menurun. Para demonstran juga kerap bertindak anarkis atau sekedar mengabaikan peraturan lalu lintas sehingga membahayakan pengguna jalan lainnya. Yang lebih memprihatinkan lagi yaitu gunungan sampah yang berserakan di berbagai titik selepas aksi. Tujuan mulia untuk memperjuangkan kesejahteraan hidup buruh seharusnya tidak berdampak kontra produktif terhadap kepentingan masyarakat umum.
Tidak ada yang salah dengan aspirasi buruh utuk memperoleh kehidupan yang lebih layak sebagaimana diamanatkan oleh kenstitusi kita. Ironisnya, cara penyampaian dari serikat buruh tertentu malah berpotensi merugikan anggotanya. Bahkan atas nama solidaritas, aksi mogok yang dilakukan oleh serikat buruh sering dibumbui ancaman *sweeping* terhadap pabrik yang tetap bekerja. Serikat buruh perlu memahami bahwa kondisi satu perusahaan dengan perusahaan lain belum tentu sama. Oleh karena itu, serikat buruh sebaiknya menyampaikan pendapat dan tuntutannya kepada pengusaha, mendengarkan respon pengusaha, kemudian berusaha mencapai kesepakatan tanpa harus melakukan aksi yang berpotensi merugikan perusahaan lain serta menggangu kepentingan masyarakat luas.
Masyarakat tentu akan mendukung gerakan buruh yang dilakukan secara santun dengan menghormati kepentingan umum. Semoga gerakan buruh dapat mengevaluasi perjuangan yang selama ini ditempuh agar tidak menyimpang dari tujuan utamanya; mensejahterakan buruh. (Rio Wattimena/kw)
Rio Wattimena, Pengamat Sosial yang tinggal di Ambon adalah pewarta warga
outsourcing* di BUMN.
Said menambahkan, pihaknya memberi waktu pada Menteri BUMN sampai akhir Oktober ini untuk mempertimbangkan tuntutan buruh. Jika tuntutan tersebut tidak dipenuhi, buruh BUMN akan bergabung dengan mogok nasional yang direncanakan berlangsung pada 28 Oktober sampai 1 November 2013.
Selanjutnya, buruh akan melakukan aksi mogok secara sporadis di 200 kabupaten-kota. Para buruh takkan melakukan aktifitas sama-sekali di tempat kerja masing-masing. Kerugian yang akan ditimbulkan akibat aksi ini diperkirakan mencapai Rp.200 triliun dalam sehari. Said juga meminta maaf kepada masyarakat yang akan terganggu akibat mogok nasional para buruh. Pihak KSPI akan tetap membuka ruang dialog dengan pemerintah sebelum menjalankan aksi mogok.
Jika dipikir-pikir, mogok kerja mungkin cara yang paling mutakhir bagi buruh untuk meningkatkan *bargaining position* serta memastikan bahwa pemilik modal dan pemerintah memenuhi –atau setidaknya mempertimbangkan- tuntutan mereka. Disisi lain, aksi mogok nasional yang dilakukan oleh buruh juga memiliki efek domino dengan tendensi negatif terhadap perusahaan, pemerintah, dan masyarakat luas, tak terkecuali kalangan buruh sendiri.
Buruh yang digaji per hari pasti akan merasakan kerugian finansial secara langsung jika terlibat dalam aksi mogok. Selama mogok berlangsung, para buruh tidak terlibat dalam proses produksi. Lantas, siapa yang akan memenuhi kebutuhan hidup jutaan buruh harian dan keluarganya selama mogok berlangsung? Tidak ada perusahaan yang bersedia membayar para karyawannya yang tidak bekerja. Mengacu pada Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) dan ketentuan lainnya, perusahaan manapun akan memperjuangakan hak hukumnya, termasuk untuk tidak membayar karyawan pada hari dimana karyawan tersebut tidak masuk kerja.
Para buruh yang melakukan mogok juga bisa terancam kehilangan lahan pekerjaan karena perusahaan terbebani dengan tuntutan upah yang terlampau tinggi serta kerugian yang diderita selama berlangsungnya mogok. Data dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia mengungkapkan bahwa tidak kurang dari 60.000 buruh industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi (Jabodetabek) mengalami PHK.
Selain PHK, 60 perusahaan industri TPT di Jabodetabek yang merasa terbebani oleh UMP 2013, merelokasi pabriknya ke beberapa daerah di Jawa Tengah, dan Jawa Barat (Majalengka dan Subang) yang upahnya lebih rendah daripada Jabodetabek. Sementara itu, perusahaan-perusahaan asal Jepang berusaha mendiversifikasi basis produksi karena kenaikan upah tenaga kerja di Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Basis produksinya saat ini diproyeksikan ke Myanmar dengan upah tenaga kerja termurah di Asia. Fenomena ini mulai terlihat sejak adanya kenaikan upah minimum yang cukup drastis, hingga 2,2 juta rupiah per bulan, jauh lebih tinggi dari upah buruh Myanmar yang hanya 900 ribu rupiah per bulan. Guna menekan biaya operasional dalam proses produksi dan menghindari kerugian akibat rawannya aksi mogok, pemilik modal juga bisa mengganti tenaga manusia dengan mesin. Jika demikian, angka
pengangguran di Indonesia tentu akan meroket.
Dampak lain dari aksi mogok yang dilakukan buruh adalah terganggunya aktivitas masyarakat karena beberapa ruas jalan dan fasilitas publik lainnya tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Akibatnya produktivitas masyarakat pun menurun. Para demonstran juga kerap bertindak anarkis atau sekedar mengabaikan peraturan lalu lintas sehingga membahayakan pengguna jalan lainnya. Yang lebih memprihatinkan lagi yaitu gunungan sampah yang berserakan di berbagai titik selepas aksi. Tujuan mulia untuk memperjuangkan kesejahteraan hidup buruh seharusnya tidak berdampak kontra produktif terhadap kepentingan masyarakat umum.
Tidak ada yang salah dengan aspirasi buruh utuk memperoleh kehidupan yang lebih layak sebagaimana diamanatkan oleh kenstitusi kita. Ironisnya, cara penyampaian dari serikat buruh tertentu malah berpotensi merugikan anggotanya. Bahkan atas nama solidaritas, aksi mogok yang dilakukan oleh serikat buruh sering dibumbui ancaman *sweeping* terhadap pabrik yang tetap bekerja. Serikat buruh perlu memahami bahwa kondisi satu perusahaan dengan perusahaan lain belum tentu sama. Oleh karena itu, serikat buruh sebaiknya menyampaikan pendapat dan tuntutannya kepada pengusaha, mendengarkan respon pengusaha, kemudian berusaha mencapai kesepakatan tanpa harus melakukan aksi yang berpotensi merugikan perusahaan lain serta menggangu kepentingan masyarakat luas.
Masyarakat tentu akan mendukung gerakan buruh yang dilakukan secara santun dengan menghormati kepentingan umum. Semoga gerakan buruh dapat mengevaluasi perjuangan yang selama ini ditempuh agar tidak menyimpang dari tujuan utamanya; mensejahterakan buruh. (Rio Wattimena/kw)
Rio Wattimena, Pengamat Sosial yang tinggal di Ambon adalah pewarta warga
Mulai 16 Oktober-1 November ini, Citizen6 mengadakan program menulis bertopik "6 Alasan Aku Cinta Indonesia". Ada merchandise eksklusif bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com