Mahkamah Konstitusi (MK) bersikukuh membentuk dewan etik untuk menindak hakim-hakim konstitusi yang melanggar kode etik. Menurutnya Dewan Etik MK dibentuk sesuai putusan rapat permusyawaratan hakim (RPH), 6 Oktober 2013 lalu.
"Sebelumnya diistilahkan majelis etik. Dalam perkembangannya MK memutuskan memberi nama dewan etik. Dewan etik itu baru kami sahkan," kata Wakil Ketua MK, Hamdan Zoelva di Gedung MK, Jakarta, Rabu (30/10/2013).
Hamdan menjelaskan dewan etik nantinya bersifat permanen dan independen. Menurutnya pembentukan dewan etik ini untuk mengisi kekosongan sebelum adanya aturan-aturan detil mengenai Majelis Kehormatan MK berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 tahun 2013.
Hamdan menjelaskan nantinya dewan etik berwenang menerima laporan dari masyarakat dan mengumpulkan informasi terkait perilaku hakim konstitusi.
"Berkaitan dengan itu dewan etik dapat memeriksa, mengumpulkan, menganalisis laporan dan informasi yang didapat dari masyarakat," jelasnya.
Hamdan menambahkan keanggotaan dewan etik terdiri atas 3 unsur yang harus memenuhi syarat. Yakni, mantan hakim konstisusi, tokoh masyarakat, dan akademisi senior yang kredibel.
"Syaratnya 60 tahun ke atas. Dan akan bekerja selama 3 tahun. Setelah habis 3 tahun, mereka tidak bisa dipilih lagi," kata Hamdan.
Nantinya, lanjut Hamdan, dewan etik bisa memberi 3 putusan atau rekomendasi. Pertama, teguran lisan jika hakim terlapor ditemukan ada pelanggaran ringan. Kedua, teguran tertulis kalau hakim terlapor ditemukan ada pelanggaran sedikit lebih berat. Ketiga, kalau ditemukan pelanggaran berat, maka dewan etik memutuskan membawa hakim terlapor ke MKH MK untuk disidang etik.
"Di MKH itu akan diputuskan sanksi apa yang akan diberikan," kata Hamdan.
Terbitnya Perppu yang dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu menyusul terkuaknya dugaan suap sengketa pilkada yang melibatkan mantan Ketua MK Akil Mochtar. Dalam Perppu No 1 tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 24/2003 tentang MK disebutkan salah satunya syarat menjadi Hakim Konstitusi tidak aktif di partai politik sekurang-kurangnya 7 tahun. (Adi)i)
"Sebelumnya diistilahkan majelis etik. Dalam perkembangannya MK memutuskan memberi nama dewan etik. Dewan etik itu baru kami sahkan," kata Wakil Ketua MK, Hamdan Zoelva di Gedung MK, Jakarta, Rabu (30/10/2013).
Hamdan menjelaskan dewan etik nantinya bersifat permanen dan independen. Menurutnya pembentukan dewan etik ini untuk mengisi kekosongan sebelum adanya aturan-aturan detil mengenai Majelis Kehormatan MK berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 tahun 2013.
Hamdan menjelaskan nantinya dewan etik berwenang menerima laporan dari masyarakat dan mengumpulkan informasi terkait perilaku hakim konstitusi.
"Berkaitan dengan itu dewan etik dapat memeriksa, mengumpulkan, menganalisis laporan dan informasi yang didapat dari masyarakat," jelasnya.
Hamdan menambahkan keanggotaan dewan etik terdiri atas 3 unsur yang harus memenuhi syarat. Yakni, mantan hakim konstisusi, tokoh masyarakat, dan akademisi senior yang kredibel.
"Syaratnya 60 tahun ke atas. Dan akan bekerja selama 3 tahun. Setelah habis 3 tahun, mereka tidak bisa dipilih lagi," kata Hamdan.
Nantinya, lanjut Hamdan, dewan etik bisa memberi 3 putusan atau rekomendasi. Pertama, teguran lisan jika hakim terlapor ditemukan ada pelanggaran ringan. Kedua, teguran tertulis kalau hakim terlapor ditemukan ada pelanggaran sedikit lebih berat. Ketiga, kalau ditemukan pelanggaran berat, maka dewan etik memutuskan membawa hakim terlapor ke MKH MK untuk disidang etik.
"Di MKH itu akan diputuskan sanksi apa yang akan diberikan," kata Hamdan.
Terbitnya Perppu yang dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu menyusul terkuaknya dugaan suap sengketa pilkada yang melibatkan mantan Ketua MK Akil Mochtar. Dalam Perppu No 1 tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 24/2003 tentang MK disebutkan salah satunya syarat menjadi Hakim Konstitusi tidak aktif di partai politik sekurang-kurangnya 7 tahun. (Adi)i)