Indonesia tak tinggal diam menanggapi kabar penyadapan ilegal yang diduga dilakukan dua negara sahabat, Amerika Serikat dan Australia. Menyusul laporan media Sydney Morning Herald -- berdasarkan bocoran dari Edward Snowden -- bahwa Kedubes Negeri Kanguru di Jakarta diduga digunakan oleh AS untuk program pengumpulan data elektronik rahasia.
Protes telah disampaikan pada Kedubes AS. Dubes Australia di Jakarta, Greg Moriarty pun dipanggil. Namun, jawaban pasti belum didapat pihak Indonesia.
"Jawaban yang diperoleh dari kepala perwakilan Kedubes AS dan Australia di Jakarta sama dengan yang diterima negara-negara lain dengan situasi serupa: AS dan Australia tak dapat mengonfirmasi atau menyangkal kabar tersebut," kata Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa dalam konferensi pers di Kementerian Luar Negeri, Senin (4/11/2013). "Ini jawaban yang umum."
Khusus AS, tambah Menlu Marty, mereka mengaku sedang mengevaluasi pengumpulan data intelijen.
Saat ini, kata Marty, yang harus ditekankan dan perlu dilakukan adalah meningkatkan kewaspadaan dan kapasitas dalam negeri untuk meminimalisasi kemungkinan penyadapan.
Tak hanya itu. Indonesia akan mengkaji ulang kerjasama pertukaran informasi dengan AS dan Australia. "Kalau mereka melakukan pengumpulan data intelijen di luar kerangka resmi, apa manfaat kerangka resmi tersebut?" kata Menlu Marty.
Soal yang terakhir, Indonesia akan memikirkannya masak-masak dan akan menyampaikannya ke pihak mereka. "Ke depan kita tak dapat lagi menerima tindakan seperti ini. Kita menuntut kejadian seperti ini tak terjadi di masa depan," tegas Marty. "Cukup sudah."
Meski tak bisa melakukan apapun terkait hal yang sudah terjadi, Marty menambahkan, dugaan penyadapan akan mempengaruhi tingkat kepercayaan Indonesia kepada dua negara. "Mereka perlu mengambil langkah-langkah untuk memulihkannya."
Di saat pemerintah masih mengkaji dan mempertimbangkan matang, aksi balasan dilakukan di dunia maya.
Sekelompok peretas yang menamakan diri 'Anonymous Indonesia' membajak ratusan situs Australia. Ada lebih dari 100 website yang diretas. Kebanyakan situs bisnis Australia.
Dalam postingannya, para peretas yang mengaku jaringan kelompok aktivis internasional Anonymous pun menulis kata-kata protes "Stop Spying on Indonesia" -- hentikan memata-matai Indonesia.
Latar Belakang
Dugaan penyadapan berasal dari dokumen yang dibocorkan oleh Edward Snowden, mantan kontraktor untuk Badan Keamanan Nasional AS (NSA).
Dokumen tersebut diterbitkan oleh majalah Jerman, Der Spiegel, yang membahas secara rinci program intelijen sinyal bernama Stateroom. Di sana disebut, Kedubes AS, Inggris, Australia dan Kanada menyimpan perangkat penyadapan untuk mengumpulkan komunikasi elektronik.
Seperti dimuat BBC, negara-negara itu, bersama Selandia Baru, juga memiliki perjanjian berbagi intelijen yang dikenal dengan Five Eyes.
Kedubes Australia di Jakarta diklaim sebagai salah satu kedubes yang terlibat seperti dilaporkan media Fairfax Australia.
Selain itu kedubes Australia di Bangkok, Hanoi, Beijing dan Dili serta Komisi Tinggi di Kuala Lumpur serta Port Moresby, Papua Nugini, juga disebut terlibat. (Ein)
Protes telah disampaikan pada Kedubes AS. Dubes Australia di Jakarta, Greg Moriarty pun dipanggil. Namun, jawaban pasti belum didapat pihak Indonesia.
"Jawaban yang diperoleh dari kepala perwakilan Kedubes AS dan Australia di Jakarta sama dengan yang diterima negara-negara lain dengan situasi serupa: AS dan Australia tak dapat mengonfirmasi atau menyangkal kabar tersebut," kata Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa dalam konferensi pers di Kementerian Luar Negeri, Senin (4/11/2013). "Ini jawaban yang umum."
Khusus AS, tambah Menlu Marty, mereka mengaku sedang mengevaluasi pengumpulan data intelijen.
Saat ini, kata Marty, yang harus ditekankan dan perlu dilakukan adalah meningkatkan kewaspadaan dan kapasitas dalam negeri untuk meminimalisasi kemungkinan penyadapan.
Tak hanya itu. Indonesia akan mengkaji ulang kerjasama pertukaran informasi dengan AS dan Australia. "Kalau mereka melakukan pengumpulan data intelijen di luar kerangka resmi, apa manfaat kerangka resmi tersebut?" kata Menlu Marty.
Soal yang terakhir, Indonesia akan memikirkannya masak-masak dan akan menyampaikannya ke pihak mereka. "Ke depan kita tak dapat lagi menerima tindakan seperti ini. Kita menuntut kejadian seperti ini tak terjadi di masa depan," tegas Marty. "Cukup sudah."
Meski tak bisa melakukan apapun terkait hal yang sudah terjadi, Marty menambahkan, dugaan penyadapan akan mempengaruhi tingkat kepercayaan Indonesia kepada dua negara. "Mereka perlu mengambil langkah-langkah untuk memulihkannya."
Di saat pemerintah masih mengkaji dan mempertimbangkan matang, aksi balasan dilakukan di dunia maya.
Sekelompok peretas yang menamakan diri 'Anonymous Indonesia' membajak ratusan situs Australia. Ada lebih dari 100 website yang diretas. Kebanyakan situs bisnis Australia.
Dalam postingannya, para peretas yang mengaku jaringan kelompok aktivis internasional Anonymous pun menulis kata-kata protes "Stop Spying on Indonesia" -- hentikan memata-matai Indonesia.
Latar Belakang
Dugaan penyadapan berasal dari dokumen yang dibocorkan oleh Edward Snowden, mantan kontraktor untuk Badan Keamanan Nasional AS (NSA).
Dokumen tersebut diterbitkan oleh majalah Jerman, Der Spiegel, yang membahas secara rinci program intelijen sinyal bernama Stateroom. Di sana disebut, Kedubes AS, Inggris, Australia dan Kanada menyimpan perangkat penyadapan untuk mengumpulkan komunikasi elektronik.
Seperti dimuat BBC, negara-negara itu, bersama Selandia Baru, juga memiliki perjanjian berbagi intelijen yang dikenal dengan Five Eyes.
Kedubes Australia di Jakarta diklaim sebagai salah satu kedubes yang terlibat seperti dilaporkan media Fairfax Australia.
Selain itu kedubes Australia di Bangkok, Hanoi, Beijing dan Dili serta Komisi Tinggi di Kuala Lumpur serta Port Moresby, Papua Nugini, juga disebut terlibat. (Ein)