Aktivis Kontas dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta bersitegang dengan petugas Bareskrim di ruang pengaduan Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri. Sebab penyidik Bareskrim menolak laporan Kontras dan LBH terkait penganiayaan buruh di Bekasi pada Kamis 31 Oktober 2013 lalu.
Kejadian itu berawal saat Koordinator Badan Pekerja Kontras, Haris Azhar bersama dengan perwakilan buruh dan LBH datang melapor atas tindakan kekerasan oknum ormas yang berujung jatuhnya korban. Namun petugas piket malah mengarahkan Kontras dan LBH untuk melapor ke DPR.
"Anda ini polisi, Anda harusnya menerima kami! Jangan malah melempar ke DPR. Ini saya bersama korban dan keluarga korban. Belum jadi Jenderal saja sudah sombong!" ucap Haris dengan nada tinggi kepada penjaga piket Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Senin (4/11/2013).
Mereka pun memutuskan keluar dari Gedung Bareskrim Polri. Selang beberapa lama, Kadiv Humas Polri Irjen Pol Ronny F Sompie tiba di Gedung Bareskrim Polri. Merasa tak puas atas pelayanan penyidik, Haris dan Maruli pun melemparkan amarahnya kepada Ronny.
"Ini orang mau mogok (kerja) kemudian dihadang dengan samurai. Ini bukan di Jepang abad 16. Orang bawa samurai ke mana-mana. Ini berarti ada niat jahat. Makanya kita datang ke sini ingin melengkapi proses Polda Metro Jaya," tegas Haris kepada Ronny.
Ronny pun menerima masukan Haris dan siap menjembatani laporan dari para buruh tersebut. "Makanya saya ingin menjembatani kalian untuk menerima laporan itu. Saya kan humas dan punya kompetensi," sambung Ronny.
Setelah perdebatan itu, Kontras dan LBH akhirnya diperbolehkan melaporkan kejadian itu dengan syarat massa yang berjumlah sekitar 25 orang masuk secara bergiliran.
Maruli yang merupakan perwakilan LBH Jakarta mengatakan saat hendak melapor, penyidik polisi yang bertugas menyarankan agar lebih dulu ditanyakan ke DPR selaku pembuat undang-undangnya.
"Masa, kami kan mau melaporkan ada terjadinya tindak pidana, pembacakon di Bekasi, ada aktor intelektualnya yang kami laporkan fakta-faktanya, yang itu harusnya ditindaklanjuti petugas kepolisian. Tapi malah kami ingin melapor dari kuasa hukum dan keluarga korban malah ditanya ke DPR," heran Maruli.
"Nah, dalam rangka ini kepolisian seperti apa, apa maksud pembuat UU ini, UU ketenagaakerjaan, UU serikat pekerja, serikat buruh, padahal itu kan kriminal, tindakan pembacokan terjadi, masa harus tanya dulu ke DPR," pungkas Maruli dengan nada kecewa. (Ali/Mut)
Kejadian itu berawal saat Koordinator Badan Pekerja Kontras, Haris Azhar bersama dengan perwakilan buruh dan LBH datang melapor atas tindakan kekerasan oknum ormas yang berujung jatuhnya korban. Namun petugas piket malah mengarahkan Kontras dan LBH untuk melapor ke DPR.
"Anda ini polisi, Anda harusnya menerima kami! Jangan malah melempar ke DPR. Ini saya bersama korban dan keluarga korban. Belum jadi Jenderal saja sudah sombong!" ucap Haris dengan nada tinggi kepada penjaga piket Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Senin (4/11/2013).
Mereka pun memutuskan keluar dari Gedung Bareskrim Polri. Selang beberapa lama, Kadiv Humas Polri Irjen Pol Ronny F Sompie tiba di Gedung Bareskrim Polri. Merasa tak puas atas pelayanan penyidik, Haris dan Maruli pun melemparkan amarahnya kepada Ronny.
"Ini orang mau mogok (kerja) kemudian dihadang dengan samurai. Ini bukan di Jepang abad 16. Orang bawa samurai ke mana-mana. Ini berarti ada niat jahat. Makanya kita datang ke sini ingin melengkapi proses Polda Metro Jaya," tegas Haris kepada Ronny.
Ronny pun menerima masukan Haris dan siap menjembatani laporan dari para buruh tersebut. "Makanya saya ingin menjembatani kalian untuk menerima laporan itu. Saya kan humas dan punya kompetensi," sambung Ronny.
Setelah perdebatan itu, Kontras dan LBH akhirnya diperbolehkan melaporkan kejadian itu dengan syarat massa yang berjumlah sekitar 25 orang masuk secara bergiliran.
Maruli yang merupakan perwakilan LBH Jakarta mengatakan saat hendak melapor, penyidik polisi yang bertugas menyarankan agar lebih dulu ditanyakan ke DPR selaku pembuat undang-undangnya.
"Masa, kami kan mau melaporkan ada terjadinya tindak pidana, pembacakon di Bekasi, ada aktor intelektualnya yang kami laporkan fakta-faktanya, yang itu harusnya ditindaklanjuti petugas kepolisian. Tapi malah kami ingin melapor dari kuasa hukum dan keluarga korban malah ditanya ke DPR," heran Maruli.
"Nah, dalam rangka ini kepolisian seperti apa, apa maksud pembuat UU ini, UU ketenagaakerjaan, UU serikat pekerja, serikat buruh, padahal itu kan kriminal, tindakan pembacokan terjadi, masa harus tanya dulu ke DPR," pungkas Maruli dengan nada kecewa. (Ali/Mut)