Langkah Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjual salah satu unit bisninya, TelkomVision, kepada Transcorp dituding sebagaian keputusan tindakan gegabah. Sayap usaha dari PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) yang berbisnis TV langganan ini sebetulnya masih berpeluang menjanjikan keuntungan meski kinerjanya tercatat merugi.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Erik Satrya Wardhana mengatakan, pihaknya telah merekomendasikan pembatalan rencana penjualan TelkomVision tersebut.
"Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan seharusnya tidak gegabah dalam memutuskan penjualan TelkomVision kepada Transcorp, karena kami sudah merekomendasikan kepada pemerintah untuk membatalkan rencana penjualan TelkomVision," tegas dia dalam keterangan resminya di Jakarta, Selasa (5/11/2013).
Seperti diberitakan sebelumnya, Telkom akhirnya menjual anak usahanya, PT Indonusa Telemedia (TelkomVision) kepada PT TransCorp milik pengusaha Chairul Tanjung. Perusahaan pelat merah ini telah menuntaskan penjualan 1,03 miliar lembar saham atau setara 80% saham TelkomVision senilai Rp 926,5 miliar pada 8 Oktober 2013.
Erik yang merupakan anggota DPR dari Fraksi Hati Nurani Rakyat (Hanura) itu mengatakan rekomendasi pembatalan dilontarkan karena dirinya tidak dapat menerima alasan bahwa transaksi dilakukan karena TelkomVision terus merugi.
"Dalam laporan yang kami terima, Telkomvision memang merugi namun kerugiannya selama 5 tahun terakhir sudah menurun. Artinya, prospeknya cerah dan masih berpeluang bisa meraup keuntungan asalkan dikelola lebih baik," ujar Erik.
Sekadar informasi, merujuk riset Media Partners Asia (2012), Indonesia diproyeksikan memiliki pertumbuhan pelanggan TV berbayar tertinggi di Asia Pasifik sebesar 26,7% hingga tahun 2016.
Bandingkan dengan Thailand yang hanya separuhnya sebesar 13,6%, China 9,1%, India 7%, Malaysia dan Singapura yang masing-masing 4,6%. Bahkan sekelas Korea dan Hongkong masing-masing diprediksi hanya tumbuh 3,4% dan 1,8%.
Jumlah pelanggan TV berbayar di Indonesia pun diprediksi akan mencapai 7,7 juta pelanggan pada tahun 2020. Ini berarti bakal tumbuh lebih dari 3 kali lipat dibanding tahun 2012 yang sebanyak 2,44 juta pelanggan.
"Ada beberapa TV berlangganan yang lebih belakangan beroperasi namun bisnisnya tetap dipertahankan oleh masing-masing pemiliknya. Berarti, pada umumnya para pelaku industri ini masih optimis dan serius mengelola," tukas Erik.
Dia menyayangkan penjualan TelkomVision yang sudah berdiri sejak 1997 dan beroperasi pada 1999 lantaran langkah yang tergesap-gesa dari Dahlan Iskan dan direksi Telkom. Karena pada prinsipnya negara tidak boleh dirugikan oleh aksi-aksi korporasi yang dilakukan BUMN, termasuk rencana penjualan TelkomVision ini.
"Jika Kementerian BUMN pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) mendatang hanya memberikan penjelasan yang sama seperti pada RDP sebelumnya, maka DPR tetap meminta pemerintah untuk membatalkan penjualan tersebut. Solusinya memilih opsi lain yang lebih menguntungkan untuk menyelamatkan TelkomVision," tegas Erik. (Fik/Ahm
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Erik Satrya Wardhana mengatakan, pihaknya telah merekomendasikan pembatalan rencana penjualan TelkomVision tersebut.
"Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan seharusnya tidak gegabah dalam memutuskan penjualan TelkomVision kepada Transcorp, karena kami sudah merekomendasikan kepada pemerintah untuk membatalkan rencana penjualan TelkomVision," tegas dia dalam keterangan resminya di Jakarta, Selasa (5/11/2013).
Seperti diberitakan sebelumnya, Telkom akhirnya menjual anak usahanya, PT Indonusa Telemedia (TelkomVision) kepada PT TransCorp milik pengusaha Chairul Tanjung. Perusahaan pelat merah ini telah menuntaskan penjualan 1,03 miliar lembar saham atau setara 80% saham TelkomVision senilai Rp 926,5 miliar pada 8 Oktober 2013.
Erik yang merupakan anggota DPR dari Fraksi Hati Nurani Rakyat (Hanura) itu mengatakan rekomendasi pembatalan dilontarkan karena dirinya tidak dapat menerima alasan bahwa transaksi dilakukan karena TelkomVision terus merugi.
"Dalam laporan yang kami terima, Telkomvision memang merugi namun kerugiannya selama 5 tahun terakhir sudah menurun. Artinya, prospeknya cerah dan masih berpeluang bisa meraup keuntungan asalkan dikelola lebih baik," ujar Erik.
Sekadar informasi, merujuk riset Media Partners Asia (2012), Indonesia diproyeksikan memiliki pertumbuhan pelanggan TV berbayar tertinggi di Asia Pasifik sebesar 26,7% hingga tahun 2016.
Bandingkan dengan Thailand yang hanya separuhnya sebesar 13,6%, China 9,1%, India 7%, Malaysia dan Singapura yang masing-masing 4,6%. Bahkan sekelas Korea dan Hongkong masing-masing diprediksi hanya tumbuh 3,4% dan 1,8%.
Jumlah pelanggan TV berbayar di Indonesia pun diprediksi akan mencapai 7,7 juta pelanggan pada tahun 2020. Ini berarti bakal tumbuh lebih dari 3 kali lipat dibanding tahun 2012 yang sebanyak 2,44 juta pelanggan.
"Ada beberapa TV berlangganan yang lebih belakangan beroperasi namun bisnisnya tetap dipertahankan oleh masing-masing pemiliknya. Berarti, pada umumnya para pelaku industri ini masih optimis dan serius mengelola," tukas Erik.
Dia menyayangkan penjualan TelkomVision yang sudah berdiri sejak 1997 dan beroperasi pada 1999 lantaran langkah yang tergesap-gesa dari Dahlan Iskan dan direksi Telkom. Karena pada prinsipnya negara tidak boleh dirugikan oleh aksi-aksi korporasi yang dilakukan BUMN, termasuk rencana penjualan TelkomVision ini.
"Jika Kementerian BUMN pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) mendatang hanya memberikan penjelasan yang sama seperti pada RDP sebelumnya, maka DPR tetap meminta pemerintah untuk membatalkan penjualan tersebut. Solusinya memilih opsi lain yang lebih menguntungkan untuk menyelamatkan TelkomVision," tegas Erik. (Fik/Ahm