Citizen6, Jakarta: Tepat pada 3 November 2013, amnesti yang diberikan kerajaan Saudi Arabia terhadap TKI (Tenaga Kerja Indonesia) berakhir dan menyisakan tanya. Banyak TKI yang masih belum mendapatkan kesempatan emas ini.
Berdasarkan data yang diihimpun Migrant Institute, masih ada puluhan ribu orang yang belum mendapatkan kesempatan mendapatkan amnesti dari pihak kerajaan Saudi Arabia. Hal tersebut dikarenakan pemerintah tidak serius menangani TKI-Overstay (TKI-O) untuk mendapatkan amnesti. Ini dilihat Migrant Institute, dari sentralisasi pembuatan Surat Perjalanan Laksana Passport (SPLP) yang hanya terpusat di satu titik, yakni Jeddah.
Adi Candra Utama, Direktur Eksekutif Migrant Institute mengatakan, sentralisasi pembuatan SPLP ini patut dipertanyakan. Mengapa untuk mengurus puluhan ribu TKI-O, pemerintah hanya membuka di satu titik.
"Masa kalah dengan jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) saat pemilu yang mencapai 20 TPS," ungkapnya.
Selain itu, pembuatan SPLP yang hanya berdasarkan data yang dimiliki TKI seperti KTP atau lainnya membuat banyak data TKI yang tidak sesuai antara SPLP dengan paspor saat pertama kali TKI masuk ke Arab Saudi.
"Seharusnya pemerintah membuatkan SPLP untuk TKI-O itu berdasarkan data dari paspor mereka. Karena pemerintah Arab Saudi meminta syarat kesesuaian data TKI dengan dokumen asli paspor saat pertama TKI ke Arab, bukan data yang lain. Jadi percuma jika TKI pakai KTP untuk membuat SPLP, dan ternyata data di KTP nya tidak sama dengan paspor saat ia pertama kali ke Arab Saudi," jelas Adi Candra Utama, Direktur Migrant Institute.
Kedua hal tersebut, menurut Migrant Institute, menjadi penyebab banyaknya TKI-O di Arab Saudi yang tidak mendapatkan kesempatan emas ini. Migrant Institute menilai pelayanan pemerintah terhadap TKI-O di Arab dalam mendapatkan amnesti dibilang gagal. Pemerintah tidak bisa melindungi warga negaranya di luar negeri.
Menyikapi hal tersebut, maka Migrant Institute menyatakan sikap prihatin atas kondisi yang saat ini menimpa ribuan TKI-Overstayer di Arab Saudi, meminta pemerintah dalam hal ini kedutaan besar RI di Arab Saudi dan BNP2TKI untuk segera mengambil langkah-langkah strategis yang diperlukan untuk memastikan perlindungan TKI-O, mendesak pemerintah melakukan investigasi atas kegagalan jalannya program amnesti, dan memastikan ditegakkannya hukum kepada pihak-pihak yang diduga mengambil keuntungan ekonomi dari program ini yang menyebabkan gagalnya program secara keseluruhan, dan mendesak pemerintah untuk mengambil pelajaran dari gagalnya program amnesti di Arab Saudi dalam kerangka perbaikan sistem tata kelola TKI terutama di negara penempatan. (Lia Joulia/mar)
Lia Joulia adalah pewarta warga.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.
Berdasarkan data yang diihimpun Migrant Institute, masih ada puluhan ribu orang yang belum mendapatkan kesempatan mendapatkan amnesti dari pihak kerajaan Saudi Arabia. Hal tersebut dikarenakan pemerintah tidak serius menangani TKI-Overstay (TKI-O) untuk mendapatkan amnesti. Ini dilihat Migrant Institute, dari sentralisasi pembuatan Surat Perjalanan Laksana Passport (SPLP) yang hanya terpusat di satu titik, yakni Jeddah.
Adi Candra Utama, Direktur Eksekutif Migrant Institute mengatakan, sentralisasi pembuatan SPLP ini patut dipertanyakan. Mengapa untuk mengurus puluhan ribu TKI-O, pemerintah hanya membuka di satu titik.
"Masa kalah dengan jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) saat pemilu yang mencapai 20 TPS," ungkapnya.
Selain itu, pembuatan SPLP yang hanya berdasarkan data yang dimiliki TKI seperti KTP atau lainnya membuat banyak data TKI yang tidak sesuai antara SPLP dengan paspor saat pertama kali TKI masuk ke Arab Saudi.
"Seharusnya pemerintah membuatkan SPLP untuk TKI-O itu berdasarkan data dari paspor mereka. Karena pemerintah Arab Saudi meminta syarat kesesuaian data TKI dengan dokumen asli paspor saat pertama TKI ke Arab, bukan data yang lain. Jadi percuma jika TKI pakai KTP untuk membuat SPLP, dan ternyata data di KTP nya tidak sama dengan paspor saat ia pertama kali ke Arab Saudi," jelas Adi Candra Utama, Direktur Migrant Institute.
Kedua hal tersebut, menurut Migrant Institute, menjadi penyebab banyaknya TKI-O di Arab Saudi yang tidak mendapatkan kesempatan emas ini. Migrant Institute menilai pelayanan pemerintah terhadap TKI-O di Arab dalam mendapatkan amnesti dibilang gagal. Pemerintah tidak bisa melindungi warga negaranya di luar negeri.
Menyikapi hal tersebut, maka Migrant Institute menyatakan sikap prihatin atas kondisi yang saat ini menimpa ribuan TKI-Overstayer di Arab Saudi, meminta pemerintah dalam hal ini kedutaan besar RI di Arab Saudi dan BNP2TKI untuk segera mengambil langkah-langkah strategis yang diperlukan untuk memastikan perlindungan TKI-O, mendesak pemerintah melakukan investigasi atas kegagalan jalannya program amnesti, dan memastikan ditegakkannya hukum kepada pihak-pihak yang diduga mengambil keuntungan ekonomi dari program ini yang menyebabkan gagalnya program secara keseluruhan, dan mendesak pemerintah untuk mengambil pelajaran dari gagalnya program amnesti di Arab Saudi dalam kerangka perbaikan sistem tata kelola TKI terutama di negara penempatan. (Lia Joulia/mar)
Lia Joulia adalah pewarta warga.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.