Masa remaja Raja Dangdut, Rhoma Irama pernah juga dilalui dengan berkelana. Bersama sang kakak, Benny dan teman-temannya, Rhoma pernah pergi ke Bandung, Yogya dan Solo. Awal mula keinginan Rhoma pergi dari rumah adalah ketika dirinya berniat untuk belajar agama di Jombang, Jawa Timur.
"Saya ingin berlajar agama, mau nyantri, ke Jombang," ujar Rhoma kepada sang kakak. Setelah pamit kepada kedua orangtuanya, dengan diantar oleh Benny dan ketiga temannya, Daeng, Umar, dan Haris, mereka pun langsung berangkat ke Jombang naik kereta api dengan tak lupa membawa gitarnya.
"Karena kami berangkat hanya membawa bekal sedikit, kami pun nekat naik kereta tanpa bayar," kata Benny. Tapi, perjalanan itu sendiri tidak berlangsung lancar, karena mereka tidak membeli karcis. Sepanjang jalan Rhoma dan teman-temannya harus main kucing-kucingan dengan kondektur, meski akhirnya pasrah.
Ketika sampai di Stasiun Tugu Yogja, perasaan takut tertangkap kondektur pun semakin memuncak. Mereka pun memutuskan untuk turun dari kereta api.
"Daripada kita tertangkap dan ditutunkan di tempat yang sepi, lebih baik turun disini sekarang," ajak Benny kepada adik dan teman-temannya. Dengan harapan nantinya akan bisa meneruskan perjalanan ke Jombang, mereka pun kemudian mampir di sebuah warung.
Sambil melepas lelah duduk-duduk santai di dekat warung, mereka pun bermain gitar. Entah bagaimana mulanya, Benny sendiripun juga merasa heran, karena tiba-tiba banyak orang mengelilingi mereka. Bahkan ada di antara mereka yang kemudian memberikan uang.
"Saya lihat waktu itu Oma meneteskan air mata. Kenapa dia menangis saya tidak tahu pasti. Mungkin ia terharu karena orang-orang memberinya uang, tapi mungkin juga karena ia menghayati lagu yang dibawakannya," ujar Benny.
Di Yogja mereka mengukir tekad untuk tidak pulang sebelum jadi orang. Tekad anak muda yang masih dipengaruhi mimpi-mimpi indah tentang kehidupan. Mereka pun kemudian naik kereta api lagi menuju Solo. Di kota ini, mereka terus berusaha bertahan hidup dengan cara mengamen. Ketika makan siang di sebuah warung di Gading, mereka berkenalan dengan seorang pria pengamen bernama Mas Gito. Setelah mengobrol sejenak, Mas Gito mengajak mereka mampir ke rumahnya.
"Mas Gito ini orangnya baik, begitu juga istrinya. Suami istri ini kemudian menyediakan sebuah kamar untuk tempat tinggal kami selama di Solo," kata Benny.
Merasa kerasan di kota Solo, Rhoma dan kakaknya memutuskan untuk menunda belajar agama di Jombang. Benny melihat adiknya tetap harus melanjutkan sekolah. Rhoma kemudian masuk SMA St Yoseph. Setiap pagi dirinya sekolah, dan siang berangkat ngamen.
Karena biaya sekolahnya makin tinggi, untuk mencukupinya Benny maupun Rhoma kemudian menjual beberapa potong bajunya. Meski setiap hari mengamen, penampilan mereka tetap seperti orang kaya. Sebagai anak dari keluarga cukup, pakaian mereka memang bagus- bagus. Celana blue jeans buatan luar negeri yang belum dipakai banyak orang. Bahkan Benny mengenakan sepatu bermerk yang waktu itu sangat terkenal dan langka, yang tentu saja mahal harganya.
Setiap kali mereka mengamen di rumah atau di jalan-jalan di sepanjang kota Solo banyak di antara penonton yang bertanya-tanya, kenapa anak-anak muda sekeren mereka ngamen. Termasuk di antaranya Mas Gito, rekan dekat mereka saat berada di Solo. Mas Gito yakin bahwa kelompok pengamen yang satu ini adalah anak-anak keluarga kaya. Begitu penasarannya, sampai-sampai Mas Gito mendesak mereka untuk membawanya ke Jakarta.
Sebaliknya, Benny dan kawan-kawannya justru memanfaatkan Mas Gito untuk kepentingan mereka. Karena mereka tidak ingin mencemaskan orangtua, mereka mengabarkan bahwa sekarang ini mereka bekerja di Solo dan mengaku bekerja di sebuah perusahaan mobil milik Mas Gito.
Mas Gito inipun kemudian mereka ajak ke Jakarta dan menginap di rumah mereka. Sandiwara mereka berhasil mengelabui orangtua mereka. Tapi, setahun bersekolah di St Yoseph, Rhoma ternyata tidak lulus ujian.
Keberadaan Rhoma dan kakaknya di kota ini dirasa sudah tidak aman lagi, karena mereka pernah berkelahi dengan kelompok Pemuda Rakyat, salah satu ormas PKI yang ganas . Ini terjadi sekitar tahun 1964.
"Kalau Oma lulus, berarti kamu semua terus tinggal di Solo. Tapi, karena Oma tidak lulus, maka ia harus bersedia diajak pulang ke Jakarta," ujar Benny. Di Jakarta, Rhoma kemudian melanjutkan sekolah di SMA 17 Agustus sampai akhirnya lulus tahun 1964. Ia kemudian melanjutkan kuliah di Fakultas Sosial Politik Universitas 17 Agustus, tapi hanya bertahan satu tahun. Lagi-lagi Rhoma lebih tertarik ke dunia musik!.(Adt/Bs)
Kisah Sebelumnya:
Rhoma Irama, Jagoan Berkelahi dari Bukit Duri
Rhoma Irama Pernah Dikeroyok 15 Orang
Nama Rhoma Irama Diambil dari Nama Grup Sandiwara Keliling
Rhoma Irama Kecil yang Hobinya Berkelahi
"Saya ingin berlajar agama, mau nyantri, ke Jombang," ujar Rhoma kepada sang kakak. Setelah pamit kepada kedua orangtuanya, dengan diantar oleh Benny dan ketiga temannya, Daeng, Umar, dan Haris, mereka pun langsung berangkat ke Jombang naik kereta api dengan tak lupa membawa gitarnya.
"Karena kami berangkat hanya membawa bekal sedikit, kami pun nekat naik kereta tanpa bayar," kata Benny. Tapi, perjalanan itu sendiri tidak berlangsung lancar, karena mereka tidak membeli karcis. Sepanjang jalan Rhoma dan teman-temannya harus main kucing-kucingan dengan kondektur, meski akhirnya pasrah.
Ketika sampai di Stasiun Tugu Yogja, perasaan takut tertangkap kondektur pun semakin memuncak. Mereka pun memutuskan untuk turun dari kereta api.
"Daripada kita tertangkap dan ditutunkan di tempat yang sepi, lebih baik turun disini sekarang," ajak Benny kepada adik dan teman-temannya. Dengan harapan nantinya akan bisa meneruskan perjalanan ke Jombang, mereka pun kemudian mampir di sebuah warung.
Sambil melepas lelah duduk-duduk santai di dekat warung, mereka pun bermain gitar. Entah bagaimana mulanya, Benny sendiripun juga merasa heran, karena tiba-tiba banyak orang mengelilingi mereka. Bahkan ada di antara mereka yang kemudian memberikan uang.
"Saya lihat waktu itu Oma meneteskan air mata. Kenapa dia menangis saya tidak tahu pasti. Mungkin ia terharu karena orang-orang memberinya uang, tapi mungkin juga karena ia menghayati lagu yang dibawakannya," ujar Benny.
Di Yogja mereka mengukir tekad untuk tidak pulang sebelum jadi orang. Tekad anak muda yang masih dipengaruhi mimpi-mimpi indah tentang kehidupan. Mereka pun kemudian naik kereta api lagi menuju Solo. Di kota ini, mereka terus berusaha bertahan hidup dengan cara mengamen. Ketika makan siang di sebuah warung di Gading, mereka berkenalan dengan seorang pria pengamen bernama Mas Gito. Setelah mengobrol sejenak, Mas Gito mengajak mereka mampir ke rumahnya.
"Mas Gito ini orangnya baik, begitu juga istrinya. Suami istri ini kemudian menyediakan sebuah kamar untuk tempat tinggal kami selama di Solo," kata Benny.
Merasa kerasan di kota Solo, Rhoma dan kakaknya memutuskan untuk menunda belajar agama di Jombang. Benny melihat adiknya tetap harus melanjutkan sekolah. Rhoma kemudian masuk SMA St Yoseph. Setiap pagi dirinya sekolah, dan siang berangkat ngamen.
Karena biaya sekolahnya makin tinggi, untuk mencukupinya Benny maupun Rhoma kemudian menjual beberapa potong bajunya. Meski setiap hari mengamen, penampilan mereka tetap seperti orang kaya. Sebagai anak dari keluarga cukup, pakaian mereka memang bagus- bagus. Celana blue jeans buatan luar negeri yang belum dipakai banyak orang. Bahkan Benny mengenakan sepatu bermerk yang waktu itu sangat terkenal dan langka, yang tentu saja mahal harganya.
Setiap kali mereka mengamen di rumah atau di jalan-jalan di sepanjang kota Solo banyak di antara penonton yang bertanya-tanya, kenapa anak-anak muda sekeren mereka ngamen. Termasuk di antaranya Mas Gito, rekan dekat mereka saat berada di Solo. Mas Gito yakin bahwa kelompok pengamen yang satu ini adalah anak-anak keluarga kaya. Begitu penasarannya, sampai-sampai Mas Gito mendesak mereka untuk membawanya ke Jakarta.
Sebaliknya, Benny dan kawan-kawannya justru memanfaatkan Mas Gito untuk kepentingan mereka. Karena mereka tidak ingin mencemaskan orangtua, mereka mengabarkan bahwa sekarang ini mereka bekerja di Solo dan mengaku bekerja di sebuah perusahaan mobil milik Mas Gito.
Mas Gito inipun kemudian mereka ajak ke Jakarta dan menginap di rumah mereka. Sandiwara mereka berhasil mengelabui orangtua mereka. Tapi, setahun bersekolah di St Yoseph, Rhoma ternyata tidak lulus ujian.
Keberadaan Rhoma dan kakaknya di kota ini dirasa sudah tidak aman lagi, karena mereka pernah berkelahi dengan kelompok Pemuda Rakyat, salah satu ormas PKI yang ganas . Ini terjadi sekitar tahun 1964.
"Kalau Oma lulus, berarti kamu semua terus tinggal di Solo. Tapi, karena Oma tidak lulus, maka ia harus bersedia diajak pulang ke Jakarta," ujar Benny. Di Jakarta, Rhoma kemudian melanjutkan sekolah di SMA 17 Agustus sampai akhirnya lulus tahun 1964. Ia kemudian melanjutkan kuliah di Fakultas Sosial Politik Universitas 17 Agustus, tapi hanya bertahan satu tahun. Lagi-lagi Rhoma lebih tertarik ke dunia musik!.(Adt/Bs)
Kisah Sebelumnya:
Rhoma Irama, Jagoan Berkelahi dari Bukit Duri
Rhoma Irama Pernah Dikeroyok 15 Orang
Nama Rhoma Irama Diambil dari Nama Grup Sandiwara Keliling
Rhoma Irama Kecil yang Hobinya Berkelahi