Mantan Panglima TNI Endriartono Sutarto menilai pernyataan Edward Snowden tentang penyadapan oleh Amerika Serikat dan Australia terhadap Indonesia cenderung benar. Sebab, hingga saat ini kedua negara tidak melakukan bantahan serta gugatan kepada Snowden.
"Jika benar Amerika Serikat dan Australia melakukan penyadapan kepada Indonesia, ini sudah melanggar etika diplomasi internasional," kata alumni Akabri Darat 1971 ini di Jakarta, Sabtu (9/11/2013).
Ia menjelaskan, kedutaan besar suatu negara di negara lainnya adalah perwakilan resmi negara yang memiliki hubungan diplomatik dan hubungan baik. Jika kantor kedutaan besar digunakan sebagai tempat penyadapan, itu sudah melanggar hubungan baik dan melanggar etika diplomasi internasional.
Pria yang pernah menjabat sebagai Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) ini menambahkan, etika diplomasi internasional tidak membolehkan suatu negara melakukan penyadapan terhadap negara lainnya, apalagi jika dilakukan oleh kalangan diplomatik.
Di lain sisi, Endriartono menilai wajar jika suatu negara berkeinginan untuk mendapatkan data dan informasi dari negara lainnya, tapi harus melalui cara terbuka dan legal. "Informasi itu tidak boleh dikumpulkan dari penyadapan," tegasnya.
Seorang atase pertahanan di kedutaan besar, kata dia, memiliki tugas untuk mengumpulkan data dan informasi di negara tempatnya ditugaskan tapi harus dilakukan secara terbuka dan legal, seperti informasi dari pemberitaan media massa atau pembicaraan.
Ketika ditanya apa upaya yang bisa dilakukan Indonesia untuk membuktikan penyadapan tersebut, Endriartono menjelaskan, Indonesia bisa melakukan kontra penyadapan oleh Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg), selain meminta Snowden untuk menunjukkan bukti konkret.
"Pemerintah Indonesia harus berusaha keras meyakinkan Edward Snowden untuk menunjukkan bukti atau indikasinya," ujar Endiartono.
Sementara itu, pemerintah Indonesia sudah melayangkan protes keras dan mengkaji ulang kerja sama intelijen dengan AS dan Australia terkait isu penyadapan ini. Bersama Jerman dan Brasil, RI bahkan mengajukan resolusi Antipenyadapan ke PBB. (Ant/Ado/Mut)
"Jika benar Amerika Serikat dan Australia melakukan penyadapan kepada Indonesia, ini sudah melanggar etika diplomasi internasional," kata alumni Akabri Darat 1971 ini di Jakarta, Sabtu (9/11/2013).
Ia menjelaskan, kedutaan besar suatu negara di negara lainnya adalah perwakilan resmi negara yang memiliki hubungan diplomatik dan hubungan baik. Jika kantor kedutaan besar digunakan sebagai tempat penyadapan, itu sudah melanggar hubungan baik dan melanggar etika diplomasi internasional.
Pria yang pernah menjabat sebagai Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) ini menambahkan, etika diplomasi internasional tidak membolehkan suatu negara melakukan penyadapan terhadap negara lainnya, apalagi jika dilakukan oleh kalangan diplomatik.
Di lain sisi, Endriartono menilai wajar jika suatu negara berkeinginan untuk mendapatkan data dan informasi dari negara lainnya, tapi harus melalui cara terbuka dan legal. "Informasi itu tidak boleh dikumpulkan dari penyadapan," tegasnya.
Seorang atase pertahanan di kedutaan besar, kata dia, memiliki tugas untuk mengumpulkan data dan informasi di negara tempatnya ditugaskan tapi harus dilakukan secara terbuka dan legal, seperti informasi dari pemberitaan media massa atau pembicaraan.
Ketika ditanya apa upaya yang bisa dilakukan Indonesia untuk membuktikan penyadapan tersebut, Endriartono menjelaskan, Indonesia bisa melakukan kontra penyadapan oleh Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg), selain meminta Snowden untuk menunjukkan bukti konkret.
"Pemerintah Indonesia harus berusaha keras meyakinkan Edward Snowden untuk menunjukkan bukti atau indikasinya," ujar Endiartono.
Sementara itu, pemerintah Indonesia sudah melayangkan protes keras dan mengkaji ulang kerja sama intelijen dengan AS dan Australia terkait isu penyadapan ini. Bersama Jerman dan Brasil, RI bahkan mengajukan resolusi Antipenyadapan ke PBB. (Ant/Ado/Mut)