Citizen6, Jakarta: Perkembangan situasi di Papua harus mendapatkan pencermatan tersendiri dan pengelolaan yang bijaksana dari pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat. Karena tidak tertanganinya berbagai permasalahan yang ada di Papua sangat berpotensi menimbulkan strategic surprises bagi pemerintah ke depan. Apalagi dari berbagai pemberitaan media massa lokal, sosial media ataupun obrolan kalangan aktivis, tidak dapat dipungkiri lagi dapat ditarik sebuah kesimpulan besar, sebenarnya situasi di Papua masih meradang, "tensi politiknya" masih tinggi dan bisa menjadi "wild card" pasca Pemilu 2014.
Hipotesis di atas bukankah hipotesis yang menakut-nakuti pemerintah pusat ataupun instansi negara yang menangani masalah Papua selama ini, karena sejatinya hipotesis tersebut berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di Papua saat ini.
Di Kampus Umel Mandiri, Kelurahan Vim, Distrik Abepura, Papua, Koalisi Gerakan Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua (Gempar) di akhir Oktober 2013 mengadakan jumpa pers. Yason Ngelia mengatakan, 12 tahun implementasi UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Provinsi Papua tidak menunjukkan manfaat berarti bagi rakyat Papua, meskipun UU tersebut hadir dengan tawaran afirmatif dengan memberikan kekhususan dan keberpihakan terhadap rakyat asli Papua.
Aktivis Papua lainnya, Mambri Rumbrawer mengatakan, kehadiran Otsus masih sebatas besaran jumlah uang, bukan keberpihakan kepada rakyat Papua. Pemerintah merancang UU Otsus Plus atau UU Pemerintahan Papua, untuk menyejahterakan rakyat Papua, namun pikiran dan perumusan RUU tersebut tidak sesuai prosedur konstitusional. Kehadiran RUU Otsus Plus akan memperkeruh situasi sosial dan politik Papua, sehingga sebelum disahkan, RUU Otsus Plus harus terlebih dahulu memperhatikan nilai-nilai hukum tersebut dan dampak yang akan terjadi nantinya.
Menurut hemat penulis, kegiatan jumpa pers ini sebenarnya mencerminkan hakikat aktivitas dan sikap menyebarluaskan sikap anti Otsus melalui media massa, melakukan agitasi dan propaganda anti Otsus dalam rangka memanfaatkan media massa untuk menggalang sikap anti Otsus dan menolak UU Otsdus untuk Papua, dengan agenda setting berupa tema yang digunakan seolah-olah sebuah studi penelitian atau evaluasi sudah dilakukan dan hasilnya menyimpulkan UU Otsus tidak ada gunanya.
Dalam setiap konflik yang terjadi di Papua, yang juga perlu juga dicermati adalah kemungkinan adanya kehadiran pihak asing. Sebab indikasi awalnya sudah ada yaitu pertemuan anggota Negara Republik Federasi Papua Barat (NRFPB) di Manokwari, Papua Barat dipimpin Markus Yenu dalam rangka penyambutan Richard De Natalie (anggota Parlemen Australia) ke Papua.
Rencana kunjungan Richard De Natalie ini akan dimanfaatkan NRFPB mendesak Pemerintah Indonesia agar memberikan kebebasan bagi jurnalis internasional untuk meliput semua kegiatan di wilayah Papua. Masyarakat awam pasti akan mudah untuk menerjemahkan fakta ini, bahwa pertemuan tersebut menggambarkan dukungan internasional terhadap gerakan kemerdekaan rakyat Papua serta rencana kedatangan anggota Parlemen Australia ke Papua melakukan diskusi mendesak diberikannya kemerdekaan kepada Papua.
Namun, tampaknya NFRPB akan kecewa dan kehilangan muka, karena Pemerintah Pusat sudah memberikan ijin kepada jurnalis asing untuk mengunjungi Papua dan Papua Barat. Karena pada 29 Oktober 2013 yang lalu, Mr Karlis Salna, koresponden Tetap Australia Associated Press Biro Jakarta dan Mr James Graham David Mc Donald dari Australia National University berkunjung ke Papua. Dalam kesempatan itu, jurnalis asing tersebut konon mendapatkan fakta bahwa sejak diberlakukannya UU Otsus di Papua, kasus pelanggaran HAM menurun meskipun masih ada beberapa kejadian, namun hal tersebut dinilai sebagai tindak kriminal murni. (Rika Prasatya/mar)
Rika Prasatya adalah pewarta warga yang bisa dihubungi lewat email: rikaprasatya@gmail.com
Mulai 6 November-15 November ini, Citizen6 mengadakan program menulis bertopik "Jika Aku Punya Startup". Dapatkan 3 tiket masuk ke acara Startup Asia Jakarta 2013, yang masing-masing tiketnya bernilai Rp 3,3 jutaan ditambah merchandise eksklusif bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.
.
Hipotesis di atas bukankah hipotesis yang menakut-nakuti pemerintah pusat ataupun instansi negara yang menangani masalah Papua selama ini, karena sejatinya hipotesis tersebut berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di Papua saat ini.
Di Kampus Umel Mandiri, Kelurahan Vim, Distrik Abepura, Papua, Koalisi Gerakan Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua (Gempar) di akhir Oktober 2013 mengadakan jumpa pers. Yason Ngelia mengatakan, 12 tahun implementasi UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Provinsi Papua tidak menunjukkan manfaat berarti bagi rakyat Papua, meskipun UU tersebut hadir dengan tawaran afirmatif dengan memberikan kekhususan dan keberpihakan terhadap rakyat asli Papua.
Aktivis Papua lainnya, Mambri Rumbrawer mengatakan, kehadiran Otsus masih sebatas besaran jumlah uang, bukan keberpihakan kepada rakyat Papua. Pemerintah merancang UU Otsus Plus atau UU Pemerintahan Papua, untuk menyejahterakan rakyat Papua, namun pikiran dan perumusan RUU tersebut tidak sesuai prosedur konstitusional. Kehadiran RUU Otsus Plus akan memperkeruh situasi sosial dan politik Papua, sehingga sebelum disahkan, RUU Otsus Plus harus terlebih dahulu memperhatikan nilai-nilai hukum tersebut dan dampak yang akan terjadi nantinya.
Menurut hemat penulis, kegiatan jumpa pers ini sebenarnya mencerminkan hakikat aktivitas dan sikap menyebarluaskan sikap anti Otsus melalui media massa, melakukan agitasi dan propaganda anti Otsus dalam rangka memanfaatkan media massa untuk menggalang sikap anti Otsus dan menolak UU Otsdus untuk Papua, dengan agenda setting berupa tema yang digunakan seolah-olah sebuah studi penelitian atau evaluasi sudah dilakukan dan hasilnya menyimpulkan UU Otsus tidak ada gunanya.
Dalam setiap konflik yang terjadi di Papua, yang juga perlu juga dicermati adalah kemungkinan adanya kehadiran pihak asing. Sebab indikasi awalnya sudah ada yaitu pertemuan anggota Negara Republik Federasi Papua Barat (NRFPB) di Manokwari, Papua Barat dipimpin Markus Yenu dalam rangka penyambutan Richard De Natalie (anggota Parlemen Australia) ke Papua.
Rencana kunjungan Richard De Natalie ini akan dimanfaatkan NRFPB mendesak Pemerintah Indonesia agar memberikan kebebasan bagi jurnalis internasional untuk meliput semua kegiatan di wilayah Papua. Masyarakat awam pasti akan mudah untuk menerjemahkan fakta ini, bahwa pertemuan tersebut menggambarkan dukungan internasional terhadap gerakan kemerdekaan rakyat Papua serta rencana kedatangan anggota Parlemen Australia ke Papua melakukan diskusi mendesak diberikannya kemerdekaan kepada Papua.
Namun, tampaknya NFRPB akan kecewa dan kehilangan muka, karena Pemerintah Pusat sudah memberikan ijin kepada jurnalis asing untuk mengunjungi Papua dan Papua Barat. Karena pada 29 Oktober 2013 yang lalu, Mr Karlis Salna, koresponden Tetap Australia Associated Press Biro Jakarta dan Mr James Graham David Mc Donald dari Australia National University berkunjung ke Papua. Dalam kesempatan itu, jurnalis asing tersebut konon mendapatkan fakta bahwa sejak diberlakukannya UU Otsus di Papua, kasus pelanggaran HAM menurun meskipun masih ada beberapa kejadian, namun hal tersebut dinilai sebagai tindak kriminal murni. (Rika Prasatya/mar)
Rika Prasatya adalah pewarta warga yang bisa dihubungi lewat email: rikaprasatya@gmail.com
Mulai 6 November-15 November ini, Citizen6 mengadakan program menulis bertopik "Jika Aku Punya Startup". Dapatkan 3 tiket masuk ke acara Startup Asia Jakarta 2013, yang masing-masing tiketnya bernilai Rp 3,3 jutaan ditambah merchandise eksklusif bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.
.