Citizen6, Jakarta: Di era digitalisasi ataupun tahun politik saat ini dan tahun depan, banyak kepentingan dari berbagai kelompok untuk memanfaatkan pers atau media massa sebagai alat atau corong kepentingannya.
Namun disisi lain, diakui juga oleh salah seorang pembicara yang juga Pemred sebuah media dalam sebuah seminar di BEM FE Universitas Jayabaya yang belum lama ini digelar. Ia menyatakan, dalam Pemilu 2014 pers akan memainkan peran sebagai "tensi politik" dengan memanfaatkan orang-orang atau figur tertentu sebagai corongnya. Namun jika tidak berhati-hati pers malah cenderung melanggar kode etik jurnalistik, setidaknya tidak melakukan berita secara cover both sides.
Demikian dikemukakan Hernoto Ramlan (Pemerhati Komunikasi dan Informasi) di Jakarta, pada Minggu 10 November 2013 ketika menanggapi berita berjudul "Bukannya Menangkal Intelijen Asing, BIN Malah Digunakan Memata-matai Musuh SBY (http://www.rmol.co/read/2013/11/09/132532/Bukannya-Menangkal-Intelijen-Asing,-BIN-Malah-Digunakan-Memata-matai-Musuh-SBY-)".
Inti dari berita tersebut mengatakan, Badan Intelijen Negara (BIN) hanya sering digunakan untuk memata-matai rakyat yang dianggap kontra dan mengganggu kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Sehingga BIN mandul melakukan penangkalan terhadap operasi intelijen negara lain dan publik nyaris tidak mendengar capaian-capain prestasi BIN dalam melakukan operasi pengamanan negara, seperti yang dilakukan oleh badan intelijen negara lain.
"BIN hanya bangga melakukan jumpa pers tentang penanganan dan penangkapan terhadap aksi-aksi mahasiswa yang menolak kenaikan harga BBM," jelas Jeppri F Silalahi dari Indonesia Law Reform Institute dalam keterangan pers, Jumat 8 November 2013 malam.
Kelemahan dan politisasi BIN ini merupakan bukti ketiga yang dibeberkan Jeppri bahwa Indonesia sebenarnya memberikan kesempatan kepada Amerika Serikat untuk melakukan aktivitas penyadapan di negeri ini.
"Menurut informasi, sandi negara kita juga telah lama tidak diperbaharui sehingga sangat mudah untuk ditembus. Hal ini harus diperhatikan dan dibahas serius oleh pemerintah dan DPR," tegas Jeppri.
Menurut Hernoto Ramlan, untung saja pihak BIN tidak melakukan hak jawab. Walaupun pemakaian hak jawab tersebut benar secara kode etik jurnalistik, namun efek dari hak jawab tersebut malah merugikan BIN.
"Jika BIN melalui Kepala BIN misalnya merespons pernyataan Jeppri F Silalahi tersebut, maka berita tersebut malah membesarkan ataupun menguntungkan nama Jeppri dan lembaganya yang selama ini kurang dikenal oleh masyarakat," tambah pengamat intelijen dari Pandeglang, Banten ini.
Intinya, saran Hernoto Ramlan, "BIN jangan menari di atas bunyi gendang yang dimainkan oleh kelompok oposisi ataupun orang lain. Kepala BIN juga harus menyadari bahwa situasi saat ini rawan politisasi dan berita tersebut hanya merupakan "testing the water" saja.
Sementara itu, pengamat komunikasi massa, Yudistira menyatakan, pemberitaan tersebut mencerminkan kondisi media massa saat ini yang sebenarnya banyak kalangan wartawannya yang tidak memenuhi atau bahkan tidak lulus atau belum mengikuti uji kompetensi atau standar kompetensi yang dilakukan Dewan Pers.
"Sepertinya, media massa online cenderung banyak menyalahi kode etik jurnalistik. Karena baru mewawancarai satu orang narasumber yang juga sebenarnya diragukan apakah mengetahui atau tidak tentang dinamika intelijen, langsung menyalahkan intelijen," urai alumnus pasca sarjana Kajian Stategik Intelijen UI ini.
Menurut Arman Ndupa, kalangan media massa harus berhati-hati dalam menjalankan aktivitas jurnalistiknya, agar tidak dimanfaatkan berbagai kelompok dalam tahun politik seperti saat ini.
"Sepanjang Komisi I DPR-RI dan Presiden RI merasa bahwa kinerja BIN baik-baik saja, maka berita-berita seperti ini tidak perlu direspons secara langsung oleh BIN," sarannya. (Datuak Alat Tjumano/mar)
Datuak Alat Tjumano adalah pewarta warga dan peneliti Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi yang tinggal di Jakarta.
Mulai 6 November-15 November ini, Citizen6 mengadakan program menulis bertopik "Jika Aku Punya Startup". Dapatkan 3 tiket masuk ke acara Startup Asia Jakarta 2013, yang masing-masing tiketnya bernilai Rp 3,3 jutaan ditambah merchandise eksklusif bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.
Namun disisi lain, diakui juga oleh salah seorang pembicara yang juga Pemred sebuah media dalam sebuah seminar di BEM FE Universitas Jayabaya yang belum lama ini digelar. Ia menyatakan, dalam Pemilu 2014 pers akan memainkan peran sebagai "tensi politik" dengan memanfaatkan orang-orang atau figur tertentu sebagai corongnya. Namun jika tidak berhati-hati pers malah cenderung melanggar kode etik jurnalistik, setidaknya tidak melakukan berita secara cover both sides.
Demikian dikemukakan Hernoto Ramlan (Pemerhati Komunikasi dan Informasi) di Jakarta, pada Minggu 10 November 2013 ketika menanggapi berita berjudul "Bukannya Menangkal Intelijen Asing, BIN Malah Digunakan Memata-matai Musuh SBY (http://www.rmol.co/read/2013/11/09/132532/Bukannya-Menangkal-Intelijen-Asing,-BIN-Malah-Digunakan-Memata-matai-Musuh-SBY-)".
Inti dari berita tersebut mengatakan, Badan Intelijen Negara (BIN) hanya sering digunakan untuk memata-matai rakyat yang dianggap kontra dan mengganggu kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Sehingga BIN mandul melakukan penangkalan terhadap operasi intelijen negara lain dan publik nyaris tidak mendengar capaian-capain prestasi BIN dalam melakukan operasi pengamanan negara, seperti yang dilakukan oleh badan intelijen negara lain.
"BIN hanya bangga melakukan jumpa pers tentang penanganan dan penangkapan terhadap aksi-aksi mahasiswa yang menolak kenaikan harga BBM," jelas Jeppri F Silalahi dari Indonesia Law Reform Institute dalam keterangan pers, Jumat 8 November 2013 malam.
Kelemahan dan politisasi BIN ini merupakan bukti ketiga yang dibeberkan Jeppri bahwa Indonesia sebenarnya memberikan kesempatan kepada Amerika Serikat untuk melakukan aktivitas penyadapan di negeri ini.
"Menurut informasi, sandi negara kita juga telah lama tidak diperbaharui sehingga sangat mudah untuk ditembus. Hal ini harus diperhatikan dan dibahas serius oleh pemerintah dan DPR," tegas Jeppri.
Menurut Hernoto Ramlan, untung saja pihak BIN tidak melakukan hak jawab. Walaupun pemakaian hak jawab tersebut benar secara kode etik jurnalistik, namun efek dari hak jawab tersebut malah merugikan BIN.
"Jika BIN melalui Kepala BIN misalnya merespons pernyataan Jeppri F Silalahi tersebut, maka berita tersebut malah membesarkan ataupun menguntungkan nama Jeppri dan lembaganya yang selama ini kurang dikenal oleh masyarakat," tambah pengamat intelijen dari Pandeglang, Banten ini.
Intinya, saran Hernoto Ramlan, "BIN jangan menari di atas bunyi gendang yang dimainkan oleh kelompok oposisi ataupun orang lain. Kepala BIN juga harus menyadari bahwa situasi saat ini rawan politisasi dan berita tersebut hanya merupakan "testing the water" saja.
Sementara itu, pengamat komunikasi massa, Yudistira menyatakan, pemberitaan tersebut mencerminkan kondisi media massa saat ini yang sebenarnya banyak kalangan wartawannya yang tidak memenuhi atau bahkan tidak lulus atau belum mengikuti uji kompetensi atau standar kompetensi yang dilakukan Dewan Pers.
"Sepertinya, media massa online cenderung banyak menyalahi kode etik jurnalistik. Karena baru mewawancarai satu orang narasumber yang juga sebenarnya diragukan apakah mengetahui atau tidak tentang dinamika intelijen, langsung menyalahkan intelijen," urai alumnus pasca sarjana Kajian Stategik Intelijen UI ini.
Menurut Arman Ndupa, kalangan media massa harus berhati-hati dalam menjalankan aktivitas jurnalistiknya, agar tidak dimanfaatkan berbagai kelompok dalam tahun politik seperti saat ini.
"Sepanjang Komisi I DPR-RI dan Presiden RI merasa bahwa kinerja BIN baik-baik saja, maka berita-berita seperti ini tidak perlu direspons secara langsung oleh BIN," sarannya. (Datuak Alat Tjumano/mar)
Datuak Alat Tjumano adalah pewarta warga dan peneliti Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi yang tinggal di Jakarta.
Mulai 6 November-15 November ini, Citizen6 mengadakan program menulis bertopik "Jika Aku Punya Startup". Dapatkan 3 tiket masuk ke acara Startup Asia Jakarta 2013, yang masing-masing tiketnya bernilai Rp 3,3 jutaan ditambah merchandise eksklusif bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.