Ketua Ikatan Sarjana Ilmu Ekonomi (ISEI) Darmin Nasution mengingatkan pemerintah untuk tidak menyalahkan pertumbuhan sebagai penyebab defisit neraca perdagangan.
Darmin menjelaskan, sektor pertanian di Tanah Air saat ini tengah mengalami dinamika negatif karena jumlah produk yang semakin lama terus berkurang.
Kondisi inilah kebutuhan pangan nasional masih harus dipenuhi dari luar negeri sehingga berdampak pada defisit neraca perdagangan.
"Apapun juga pertanian terlalu penting, kita mengalami dinamika sektor pertanian ada kecenderungan defisitnya makin lama makin banyak," kata Darmin, dalam diskusi persiapan WTO, di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Selasa (12/11/2013).
Pemerintah, tegas Darmin, seharusnya mencari jalan keluar atas dinamika tersebut bukannya menyalahkan pertumbuhan perekonomian. "Tapi diluar WTO bagaimana sebenarnya kita menjawab dinamika yang kita ciptakan sendiri, jangan dinamika seperti itu pertumbuhannya yang disalahkan," tuturnya.
Permasalahan perdagangan yang selama ini terjadi di tanah air, lanjutnya, dipicu perbedaan cara pandang antar masing-masing instansi pemerintah dalam menilai dinamika yang terjadi. "Yang saya tahu ada kesenjangan pola berfikir," ungkapnya.
Menurunya produk pangan di Tanah Air membuat Indonesia kini berganti status menjadi negara pengimpor setelah sempat berjaya sebagai negara ekportir pangan dunia.
"Kita dulu ekspor sapi, kita ekspor sapi ke Hongkong, Singapura, dulu masih bulat-bulat sapinya tahun 1970, habis itu kita importir. Dulu kita eksportir kedua sekarang jadi importir dan seterusnya sampai ke garam, apa sajalah semakin lama-makin banyak," pungkasnya.
Seperti diketahui, Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III 2013 hanya mencapai 5,62% pertumbuhan tersebut melambat berdasarkan rencana pemerintah untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan atau current account deficit.(Pew/Shd)
Darmin menjelaskan, sektor pertanian di Tanah Air saat ini tengah mengalami dinamika negatif karena jumlah produk yang semakin lama terus berkurang.
Kondisi inilah kebutuhan pangan nasional masih harus dipenuhi dari luar negeri sehingga berdampak pada defisit neraca perdagangan.
"Apapun juga pertanian terlalu penting, kita mengalami dinamika sektor pertanian ada kecenderungan defisitnya makin lama makin banyak," kata Darmin, dalam diskusi persiapan WTO, di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Selasa (12/11/2013).
Pemerintah, tegas Darmin, seharusnya mencari jalan keluar atas dinamika tersebut bukannya menyalahkan pertumbuhan perekonomian. "Tapi diluar WTO bagaimana sebenarnya kita menjawab dinamika yang kita ciptakan sendiri, jangan dinamika seperti itu pertumbuhannya yang disalahkan," tuturnya.
Permasalahan perdagangan yang selama ini terjadi di tanah air, lanjutnya, dipicu perbedaan cara pandang antar masing-masing instansi pemerintah dalam menilai dinamika yang terjadi. "Yang saya tahu ada kesenjangan pola berfikir," ungkapnya.
Menurunya produk pangan di Tanah Air membuat Indonesia kini berganti status menjadi negara pengimpor setelah sempat berjaya sebagai negara ekportir pangan dunia.
"Kita dulu ekspor sapi, kita ekspor sapi ke Hongkong, Singapura, dulu masih bulat-bulat sapinya tahun 1970, habis itu kita importir. Dulu kita eksportir kedua sekarang jadi importir dan seterusnya sampai ke garam, apa sajalah semakin lama-makin banyak," pungkasnya.
Seperti diketahui, Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III 2013 hanya mencapai 5,62% pertumbuhan tersebut melambat berdasarkan rencana pemerintah untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan atau current account deficit.(Pew/Shd)