Keputusan Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan BI Rate sebesar 25 basis poin ke level 7,5%, otomatis bakal menggiring naiknya suku bunga deposito dan kredit para nasabahnya. Meski ada jeda waktu, kenaikan itu hampir pasti akan terjadi.
Naiknya suku bunga BI rate tentu saja menjadi kabar menggembirakan bagi investor asing. Naiknya bunga acuan bakal menaikkan bunga surat utang yang selama ini menjadi instrumen pilihan investasi pemodal asing.
Di sisi lain, keputusan Dewan Gubernur BI justru makin mencekik nasabah yang memiliki utang kredit ratusan juta rupiah ke perbankan. Bayang-bayang naiknya beban hidup akibat kenaikan bunga kredit khususnya Kredit Pemilikan Rumah (KPR) seolah sudah muncul di depan mata.
Menanggapi keputusan mengejutkan bank sentral ini, Liputan6.com, Kamis (14/11/2013) mencoba mengetahui respons masyarakat terhadap level BI Rate yang berada di level tertinggi sejak 4 tahun terakhir:
Maya Nurani (33 Tahun), Asisten Manager
Bagi Maya, naiknya kembali BI Rate membuat jantungnya berdegup. Kekhawatiran kenaikan bunga KPR sudah berada di pelupuk mata. "Baru saja naik, sekarang naik lagi. Walaupun ada jarak 3-6 bulan, tetap saja naik," keluhnya.
Maya saat ini memang tengah menjadi debitor dari sebuah bank milik pemerintah. Bersama suami, Maya mengajukan KPR berjangka waktu 15 tahun yang baru dicicilnya selama lima tahun. Sebelum kenaikan BI rate, Maya biasanya menyisihkan pendapatannya sebesar Rp 2,4 juta untuk membayar cicilan KPR.
Sejak kenaikan BI rate beberapa bulan yang lalu, Maya harus merogoh kocek lebih dalam. Bank pemberi KPR mengabarkan cicilannya naik menjadi Rp 2,6 juta per bulan. Pikiran Maya makin kalut karena kenaikan KPR terjadi di tengah naiknya tagihan listrik dan uang sekolah.
Untuk menyiasati kondisi ini, Maya pun harus rela memangkas pos anggarannya untuk hiburan. Bahkan, untuk mencari lauk pauk pun, Maya kini memilih membeli ikan daripada daging.
Kenaikan BI rate memang menjadi pengalaman pahit bagi Maya. Sepanjang menjadi nasabah KPR, Maya tak pernah sekalipun merasakan turunnya bunga KPR. Padahal, bank sentral sudah beberapa kali menurunkan BI rate ketika kondisi ekonomi Indonesia tengah membaik.
"Selama ini tak pernah turun, alasan bank penurunan BI rate hanya berlaku untuk pengajuan KPR yang baru," keluhnya.
Sebetulnya, Maya memaklumi kenaikan BI rate yang berpengaruh pada naiknya bunga KPR. Namun menurutnya alangkah indahnya, jika bank juga menurunkan bunga KPR jika bank sentral menurunkan BI rate.
Putri Anglea (29 tahun), Pegawai Swasta
Beruntung bagi Putri. Kenaikan BI rate yang terjadi sebanyak lima kali dalam setahun ini tak membuatnya merasa khawatir. Maklum, Putri yang mengajukan kredit KPR untuk rumahnya di kawasan Bumi Serpong Damai masih menikmati masa indah dengan fasilitas suku bunga tetap (flat).
Saat ini Putri harus mengeluarkan uang Rp 2,8 juta per bulan untuk melunasi utang KPR bernilai Rp 276 juta. Butuh 15 tahun untuk Putri menyelesaikan cicilannya tersebut.
Meski tak terpengaruh dengan kenaikan BI rate, Putri memiliki kekhawatiran yang sama dengan Maya. Dengan posisinya sebagai pegawai swasta dan ibu rumah tangga, Putri harus memikirkan biaya hidup bagi keluarganya.
"Ngeri lah kalau naik. Kita jadi pusing mengatur keuangan. Belum lagi listrik naik, bensin naik, harga sembako naik, apa sih yang dimau pemerintah?" tanya Putri.
Eko Kara (40 tahun), Pegawai Swasta
Hampir senasib dengan Maya, Eko Kara yang berprofesi sebagai karyawan swasta harus membuat banyak pengorbanan dengan kenaikan BI Rate. Eko saat ini memiliki cicilan KPR bertenor 15 tahun yang harus dibayar Rp 2,3 juta per bulan.
Mengambil pinjaman KPR Rp 280 juta, Eko sebelumnya hanya membayar cicilan Rp 2,2 juta per bulan. "Saya masih harus menyelesaikan 12 tahun lagi," keluh Eko.
Naiknya BI Rate yang bakal mengerek bunga KPR membuat Eko harus membuat persiapan. Pos pengeluaran yang dikurangi pun sudah dipilihnya. "Pasti ada yang dikurangi, pos untuk jalan-jalan berkurang karena listrik juga ikut naik," ungkapnya.
Eko sebetulnya berharap kenaikan BI rate dan biaya hidup yang ditanggungnya selama ini bakal tertutupi dengan kenaikan gaji. Namun, harapan itu pun tak bisa dipastikannya. Sebagai pegawai, Eko hanya bisa menunggu kebijakan perusahaan untuk menaikkan penghasilannya.
"Kalau gaji tak naik, terpaksa kurangi uang jajan. Mau gimana lagi?" katanya pasrah. (Shd/Igw)
Naiknya suku bunga BI rate tentu saja menjadi kabar menggembirakan bagi investor asing. Naiknya bunga acuan bakal menaikkan bunga surat utang yang selama ini menjadi instrumen pilihan investasi pemodal asing.
Di sisi lain, keputusan Dewan Gubernur BI justru makin mencekik nasabah yang memiliki utang kredit ratusan juta rupiah ke perbankan. Bayang-bayang naiknya beban hidup akibat kenaikan bunga kredit khususnya Kredit Pemilikan Rumah (KPR) seolah sudah muncul di depan mata.
Menanggapi keputusan mengejutkan bank sentral ini, Liputan6.com, Kamis (14/11/2013) mencoba mengetahui respons masyarakat terhadap level BI Rate yang berada di level tertinggi sejak 4 tahun terakhir:
Maya Nurani (33 Tahun), Asisten Manager
Bagi Maya, naiknya kembali BI Rate membuat jantungnya berdegup. Kekhawatiran kenaikan bunga KPR sudah berada di pelupuk mata. "Baru saja naik, sekarang naik lagi. Walaupun ada jarak 3-6 bulan, tetap saja naik," keluhnya.
Maya saat ini memang tengah menjadi debitor dari sebuah bank milik pemerintah. Bersama suami, Maya mengajukan KPR berjangka waktu 15 tahun yang baru dicicilnya selama lima tahun. Sebelum kenaikan BI rate, Maya biasanya menyisihkan pendapatannya sebesar Rp 2,4 juta untuk membayar cicilan KPR.
Sejak kenaikan BI rate beberapa bulan yang lalu, Maya harus merogoh kocek lebih dalam. Bank pemberi KPR mengabarkan cicilannya naik menjadi Rp 2,6 juta per bulan. Pikiran Maya makin kalut karena kenaikan KPR terjadi di tengah naiknya tagihan listrik dan uang sekolah.
Untuk menyiasati kondisi ini, Maya pun harus rela memangkas pos anggarannya untuk hiburan. Bahkan, untuk mencari lauk pauk pun, Maya kini memilih membeli ikan daripada daging.
Kenaikan BI rate memang menjadi pengalaman pahit bagi Maya. Sepanjang menjadi nasabah KPR, Maya tak pernah sekalipun merasakan turunnya bunga KPR. Padahal, bank sentral sudah beberapa kali menurunkan BI rate ketika kondisi ekonomi Indonesia tengah membaik.
"Selama ini tak pernah turun, alasan bank penurunan BI rate hanya berlaku untuk pengajuan KPR yang baru," keluhnya.
Sebetulnya, Maya memaklumi kenaikan BI rate yang berpengaruh pada naiknya bunga KPR. Namun menurutnya alangkah indahnya, jika bank juga menurunkan bunga KPR jika bank sentral menurunkan BI rate.
Putri Anglea (29 tahun), Pegawai Swasta
Beruntung bagi Putri. Kenaikan BI rate yang terjadi sebanyak lima kali dalam setahun ini tak membuatnya merasa khawatir. Maklum, Putri yang mengajukan kredit KPR untuk rumahnya di kawasan Bumi Serpong Damai masih menikmati masa indah dengan fasilitas suku bunga tetap (flat).
Saat ini Putri harus mengeluarkan uang Rp 2,8 juta per bulan untuk melunasi utang KPR bernilai Rp 276 juta. Butuh 15 tahun untuk Putri menyelesaikan cicilannya tersebut.
Meski tak terpengaruh dengan kenaikan BI rate, Putri memiliki kekhawatiran yang sama dengan Maya. Dengan posisinya sebagai pegawai swasta dan ibu rumah tangga, Putri harus memikirkan biaya hidup bagi keluarganya.
"Ngeri lah kalau naik. Kita jadi pusing mengatur keuangan. Belum lagi listrik naik, bensin naik, harga sembako naik, apa sih yang dimau pemerintah?" tanya Putri.
Eko Kara (40 tahun), Pegawai Swasta
Hampir senasib dengan Maya, Eko Kara yang berprofesi sebagai karyawan swasta harus membuat banyak pengorbanan dengan kenaikan BI Rate. Eko saat ini memiliki cicilan KPR bertenor 15 tahun yang harus dibayar Rp 2,3 juta per bulan.
Mengambil pinjaman KPR Rp 280 juta, Eko sebelumnya hanya membayar cicilan Rp 2,2 juta per bulan. "Saya masih harus menyelesaikan 12 tahun lagi," keluh Eko.
Naiknya BI Rate yang bakal mengerek bunga KPR membuat Eko harus membuat persiapan. Pos pengeluaran yang dikurangi pun sudah dipilihnya. "Pasti ada yang dikurangi, pos untuk jalan-jalan berkurang karena listrik juga ikut naik," ungkapnya.
Eko sebetulnya berharap kenaikan BI rate dan biaya hidup yang ditanggungnya selama ini bakal tertutupi dengan kenaikan gaji. Namun, harapan itu pun tak bisa dipastikannya. Sebagai pegawai, Eko hanya bisa menunggu kebijakan perusahaan untuk menaikkan penghasilannya.
"Kalau gaji tak naik, terpaksa kurangi uang jajan. Mau gimana lagi?" katanya pasrah. (Shd/Igw)