Martunis pernah berada sangat dekat dengan maut. Minggu pagi, 26 Desember 2004, bocah Aceh berusia 7 tahun itu hendak bermain bola. Ia mengenakan replika tim nasional Portugal. Tiba-tiba, tsunami menghempas Serambi Mekah.
Ia terbawa arus balik tsunami ke laut namun selamat karena sempat meraih kasur. Lalu, gelombang laut mengantarnya ke rawa-rawa mangrove. Di sana, Martinus relatif aman.
Warga menemukan Martunis pada 15 Januari 2005 dan mengantarnya kepada awak televisi Inggris yang sedang meliput. Dalam sekejap, Martunis tenar di seluruh dunia. Federasi sepak bola Portugal mengundangnya. Bintang-bintang seperti Luis Figo dan Cristiano Ronaldi menemui.
Tsunami itu dipicu gempa 9,1 skala Richter yang berpusat di Samudera Hindia, kurang lebih 160 km sebelah barat Aceh dengan kedalaman 10 kilometer. Ada jeda sekitar 30 menit antara gempa dan tsunami.
Lebih dari 100 ribu warga negara Indonesia, sebagian besar di Aceh, yang tak selamat dalam bencana dahsyat itu. Termasuk, ibu dan adik Martunis. Total ada 230 ribu orang menjadi korban tewas dan mereka berasal dari 14 negara.
Menurut data Badan Survei Geologi AS (USGS), 1,7 juta orang di 14 negara di Asia Selatan dan Afrika Timur terpaksa mengungsi. Mereka kehilangan rumah yang rusak atau ambruk akibat terjangan tsunami.
Gempa 9,1 SR itu memicu gelombang raksasa yang menyapu sejumlah pantai di Samudera Hindia hingga ketinggian 30 meter.
[baca: Topan Filipina `Memori` Tsunami Aceh]
Tidak hanya Indonesia (Aceh), gelombang tsunami tersebut juga menghantam Thailand, pantai barat Malaysia, Sri Lanka, India, hingga pantai timur Afrika. Indonesia, Thailand, Sri Lanka, dan India tercatat sebagai negara terparah yang terkena dampak gelombang tsunami.
USGS memperkirakan, gempa ini mengeluarkan energi yang setara dengan 23 ribu kali bom yang dijatuhkan di Hiroshima, Jepang, pada 1945.
Ribuan gedung hancur oleh gempa dan tsunami, terutama di Meulaboh dan Banda Aceh. Infrastruktur hancur. Tetapi, kebanyakan korban korban disebabkan oleh tsunami.
Sesaat setelah gempa, hewan-hewan seperti panik, berlarian. Menurut sejumlah saksi mata, burung-burung terbang menjauhi pantai.
Di tempat lain, hal mirip-mirip dilaporkan terjadi. Di Sri Lanka, gajah-gajah menjerit dan berlari ke bukit sebelum datangnya tsunami.
Tak ada peringatan akan adanya tsunami. Beberapa waktu kemudian, baru Indonesia membangun sistem peringatan dini di berbagai kawasan di pantai barat Sumatra.
Segera, bantuan dari dunia internasional berdatangan. Bank Dunia sempat menghitung kerugian akibat tsunami mencapai Rp 45 triliun. Pada kenyataannya, tsunami mengakibatkan kerugian lebih dari US$ 10 miliar atau Rp 185 triliun.
Para relawan tiba di Aceh. Juga para konsultan asing. Pemerintah Indonesia lalu membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh pada April 2005.
Gempa dan tsunami 2004 ini seperti menjadi gedoran keras bagi bangsa Indonesia untuk mengerti betapa buruk dampak yang diakibatkan bencana alam. Lalu, lihatlah, dibentuk UU No. 27/2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Setahun kemudian, dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Inilah bencana alam terdahsyat pada abad ke-21. Sejauh ini. Semoga tak ada lagi yang lebih besar. Semoga tak ada lagi Martinus-Martinus lain yang mesti kehilangan kerabat. (Yus)
Ia terbawa arus balik tsunami ke laut namun selamat karena sempat meraih kasur. Lalu, gelombang laut mengantarnya ke rawa-rawa mangrove. Di sana, Martinus relatif aman.
Warga menemukan Martunis pada 15 Januari 2005 dan mengantarnya kepada awak televisi Inggris yang sedang meliput. Dalam sekejap, Martunis tenar di seluruh dunia. Federasi sepak bola Portugal mengundangnya. Bintang-bintang seperti Luis Figo dan Cristiano Ronaldi menemui.
Tsunami itu dipicu gempa 9,1 skala Richter yang berpusat di Samudera Hindia, kurang lebih 160 km sebelah barat Aceh dengan kedalaman 10 kilometer. Ada jeda sekitar 30 menit antara gempa dan tsunami.
Lebih dari 100 ribu warga negara Indonesia, sebagian besar di Aceh, yang tak selamat dalam bencana dahsyat itu. Termasuk, ibu dan adik Martunis. Total ada 230 ribu orang menjadi korban tewas dan mereka berasal dari 14 negara.
Menurut data Badan Survei Geologi AS (USGS), 1,7 juta orang di 14 negara di Asia Selatan dan Afrika Timur terpaksa mengungsi. Mereka kehilangan rumah yang rusak atau ambruk akibat terjangan tsunami.
Gempa 9,1 SR itu memicu gelombang raksasa yang menyapu sejumlah pantai di Samudera Hindia hingga ketinggian 30 meter.
[baca: Topan Filipina `Memori` Tsunami Aceh]
Tidak hanya Indonesia (Aceh), gelombang tsunami tersebut juga menghantam Thailand, pantai barat Malaysia, Sri Lanka, India, hingga pantai timur Afrika. Indonesia, Thailand, Sri Lanka, dan India tercatat sebagai negara terparah yang terkena dampak gelombang tsunami.
USGS memperkirakan, gempa ini mengeluarkan energi yang setara dengan 23 ribu kali bom yang dijatuhkan di Hiroshima, Jepang, pada 1945.
Ribuan gedung hancur oleh gempa dan tsunami, terutama di Meulaboh dan Banda Aceh. Infrastruktur hancur. Tetapi, kebanyakan korban korban disebabkan oleh tsunami.
Sesaat setelah gempa, hewan-hewan seperti panik, berlarian. Menurut sejumlah saksi mata, burung-burung terbang menjauhi pantai.
Di tempat lain, hal mirip-mirip dilaporkan terjadi. Di Sri Lanka, gajah-gajah menjerit dan berlari ke bukit sebelum datangnya tsunami.
Tak ada peringatan akan adanya tsunami. Beberapa waktu kemudian, baru Indonesia membangun sistem peringatan dini di berbagai kawasan di pantai barat Sumatra.
Segera, bantuan dari dunia internasional berdatangan. Bank Dunia sempat menghitung kerugian akibat tsunami mencapai Rp 45 triliun. Pada kenyataannya, tsunami mengakibatkan kerugian lebih dari US$ 10 miliar atau Rp 185 triliun.
Para relawan tiba di Aceh. Juga para konsultan asing. Pemerintah Indonesia lalu membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh pada April 2005.
Gempa dan tsunami 2004 ini seperti menjadi gedoran keras bagi bangsa Indonesia untuk mengerti betapa buruk dampak yang diakibatkan bencana alam. Lalu, lihatlah, dibentuk UU No. 27/2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Setahun kemudian, dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Inilah bencana alam terdahsyat pada abad ke-21. Sejauh ini. Semoga tak ada lagi yang lebih besar. Semoga tak ada lagi Martinus-Martinus lain yang mesti kehilangan kerabat. (Yus)