Kennedy, Diplomasi "Memberi Maaf" Indonesia-Australia

23 November hingga 1 Desember National Geographic menayangkan 50 tahun peringatan tewasnya Presiden ke 35 Amerika Serikat, John F Kennedy.

oleh Liputan6 diperbarui 25 Nov 2013, 13:46 WIB
Citizen6, Jakarta: Selama sekitar satu minggu, 23 November hingga 1 Desember National Geographic menayangkan 50 tahun peringatan tewasnya Presiden ke 35 Amerika Serikat, John F Kennedy.  Salah satu dari empat Presiden Amerika Serikat yang tewas ditembak, namun baru kali ini peristiwa penembakan tersebut terekam jelas oleh kamera televisi.

John F Kennedy (JFK) yang meninggal pada usia 46 tahun – dan baru memasuki tahun ke tiganya sebagai Presiden – dianggap sebagai salah satu Presiden yang paling dikenang oleh Amerika Serikat. Salah satu keberhasilan Kennedy yang paling diingat adalah peristiwa Teluk Babi dan Krisis Kuba. Krisis ini berawal dari serangan gagal yang di sponsori Amerika di Teluk Babi, Kuba. Serangan ini memancing kemarahan Uni Soviet ( sekarang Rusia ) dengan menyatakan serangan berikutnya ke Kuba akan memancing perang dunia baru.  

Bukan hanya marah, Moskow kemudian menempatkan arsenal nuklirnya di kawasan terluar Kuba yang hanya berjarak sekitar 150 Km dari Florida. Arsenal nuklir Uni Soviet ini baru akan ditarik, jika Amerika Serikat berjanji tidak akan menyerang Kuba. Namun 22 Oktober 1962, alih-alih menuruti kehendak Moskow, Keneddy justru muncul ke publik dan dengan lantang menyuruh Uni Soviet untuk keluar atau akan menyerang Kuba, karena dalam hitungan hari arsenal nuklir yang dibangun oleh Moskow itu akan dalam kondisi aktif.  

Bukan sekedar pernyataan, Amerika melakukan pemblokadean pada perairan Kuba agar kapal-kapal Uni Soviet tidak bisa masuk.  Jalan buntu berlangsung selama beberapa hari, setelah pengumuman Keneddy itu. Sebenarnya Keneddy hampir menyetujui syarat yang diajukan oleh Uni Soviet, tapi di tengah kemelut itu tanpa diduga muncul kembali surat kedua dari Pemimpin UniSoviet ketika itu, Nikita Khrushchev.  Isinya, Moskow menuntut syarat tambahan berupa penarikan arsenal nuklir Amerika dari Turki.  Sebuah syarat yang sangat sulit dipenuhi mengingat keberadaan senjata tersebut untuk melindungi sekutu Amerika di Eropa.

Jika saja Kennedy menyetujui dua syarat tersebut, maka secara politis, Kennedy akan diingat sebagai pihak yang kalah (Chicken out) – seperti ayam yang lari terbirit-birit dari sebuat pertarungan sabung ayam. Tapi jika tidak, maka Kennedy akan dikenang sebagai Presiden Amerika yang menjadi penyebab perang Nuklir.

Di tengah krisis ini, Kennedy memutuskan untuk bertindak amat hati-hati, tidak emosi bahkan beberapa kali keluar dari ruang rapat untuk melakukan hobinya berenang. Sebuah hal yang mungkin sulit dipahami oleh sebagian pembantunya. Tapi apa yang dilakukan Kennedy ini justru dianggap sebagai jalan keluar untuk selaku berpikir jernih, keluar dari perdebatan para Jendral dan Menterinya yang memiliki argumen sendiri-sendiri, meski pada akhirnya tombol nuklir itu ada pada tangan Kennedy.  

Keputusan yang pertama akan diambilnya adalah "berjanji tidak akan menyerang Kuba" dan mengangap syarat kedua yang dikeluarkan oleh Moskow – berupa penarikan rudal nuklir dari Turki - tidak akan pernah ada. Tentu syarat ini akan ditentang oleh Moskow dan jika ini ditolak maka krisis akan berubah menjadi perang terbuka.  Untuk menyelesaikan masalah ini, John F Kennedy mengirimkan adiknya Robert  F "Bobby" Kennedy yang saat itu menjabat sebagai Jaksa Agung.  

John memanggil Bobby untuk sebuah misi diplomatik paling rahasia – yang kemudian baru terbuka -. Bobby diminta untuk bertemu dengan Duta Besar Uni Soviet, intinya Amerika akan menarik arsenal nuklirnya dari Turki setelah Uni Soviet membongkar arsenal nuklirnya dari Kuba.  Pada 28 Oktober 1962, diadakan persetujuan antara Kennedy dan Kruschev. Kennedy dan Kruschev bertemu di Yenching Palace Chinese Restaurant di Washington D.C. Kennedy menyatakan kalau dia menerima keinginan Kruschev, yaitu mencabut rudalnya di Turki sementara Kruschev mencabut nuklirnya di Kuba.  (http://engkongyudo.wordpress.com/2012/02/02/krisis-misil-kuba-1962-main-part/)

Sebenarnya dari perundingan ini tidak ada satupun pihah yang kalah. Namun John F Kennedy dianggap sebagai "pemenang" setelah Khrushchev  mengumumkan pembongkaran senjata nuklir dari Kuba. Inilah taktik yang jitu dari Kennedy, yaitu Khrushchev datang ke Amerika dan mengumumkan pembongkaran senjata nuklir mereka di Kuba. Jadi secara diplomati John F Kennedy memenangkan "perang diplomasi" yang rumit ini.

Indonesia – Australia   

Jauh memang membandingkan krisis Kuba dengan sengketa diplomatik antara Jakarta dengan Canberra setelah Australia disebut-sebut oleh media massa di Australia melakukan penyadapan pada Presiden SBY, Ibu Ani Yudhoyono, dan sejumlah petinggi di Indonesia lainnya. Tuntutan Jakarta jelas meminta penjelasan bahkan sejumlah kalangan menuntut Canberra meminta maaf.

Tuntutan agar PM Australia, Tony Abbot untuk minta maaf pun sudah datang dari dalam negeri, termasuk dari mantan PM Australia, Julia Gillard.  Secara resmi Sabtu 23 November 2013 yang lalu Canberra sudah mengiriman surat pada Jakarta. Isu surat apalagi jawaban atas surat ini belum dibuka hingga Senin (25/11/2013) pagi tadi. Namun Pengamat hukum internasional Hikmahanto Juwana menyatakan,"Pendapat publik perlu diperhatikan untuk menghindari kemarahan publik yang saat ini ditujukan ke Australia berpindah ke pemerintah. Bila pemerintah dan publik Indonesia berpendapat surat balasan Abbott belum memadai, maka SBY perlu mengambil tindakan yang paling keras dan tegas yang dimungkinkan menurut praktik antarnegara dengan mempertimbangkan demi menjaga kelangsungan hubungan diplomatik Indonesia dan Australia."

Lebih lanjut Hikmahanto menyatakan, "Yaitu memikirkan tindakan apa yang seharusnya dilakukan. Salah satu usulan respons pemerintah adalah pengusiran sejumlah diplomat Australia dalam waktu 1x24 jam." (http://news.liputan6.com/read/754689/dapat-surat-balasan-dari-pm-abbott-apa-langkah-sby-selanjutnya)

Jika mengambil tindakan keras dengan mengusir diplomat atau menghentikan impor sapi atau menghentikan kerjasama militer – tentu akan dianggap sebuah tindakan yang tegas, apalagi Duta Besar Indonesia di Canberra,  Nadjib Riphat Kesoema sudah dipangil pulang. Tapi apa yang terjadi jika justru sebaliknya tindakan Jakarta ini justru akan membuat pihak-pihak di Australia yang tadinya menentang Abbot justru berbalik mendukung dan membalas tindakan Jakarta itu? Kalau ini yang terjadi maka sebuah upaya diplomatik berubah menjadi perang propaganda yang mengarah ke krisis politik dan keamanan.

Jakarta harusnya membuka jalan lain (pintu belakang) – backyard diplomacy sebuah istilah yang kurang umum – tapi ini yang dilakukan oleh Bob Kennedy menjalankan misi rahasianya membujuk Duta besar Uni Soviet untuk membujuk Khurschev datang ke Washington dan mengumumkan penarikan mundur arsenak nuklir mereka dari Kuba.  

Harus ada pesan yang dikirim secara jelas ke Canberra. Pesan itu bukan melalui Twitter atau media sosial lainnya atau keterangan pers, pesan itu haruslah berisikan penjelasan apa yang dirasakan Jakarta, apa yang mungkin terjadi jika "permintaan maaf itu tidak kunjung datang.  Pesan ini selain jelas haruslah dibawa oleh seseorang yang memiliki reputasi yang bagus di Australia – orang yang mengenal Abbot secara pribadi dan melakukan pembicaraan itu secara empat mata.

Diplomasi "memberi maaf "

Diplomasi lain yang perlu dipikirkan oleh statement yang mencerminkan sebuah kebesaran hati. Asumsikan saja memang penyadapan itu ada (dan memang) tidak pernah di bantah oleh Canberra, apakah kemudian kita mau memberi maaf. Memberi maaf terlebih dahulu tanpa menunggu permintaan maaf dari Canberra. Ini akan menjadi statement politik yang luar biasa bagi Presiden SBY – memiliki keberanian untuk memberi maaf, meski maaf itu belum diminta.

Sebab dalam sebuah krisis tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah secara mutlak, pasti ada yang rugi . Terlebih jika kemenangan hanya menjadi klaim politik sesaat. Maka dalam waktu-waktu ini diperlukan perenungan sendiri oleh Presiden SBY – jauh dari kata-kata para Jendral, para pembantunya, apa kata media dan pengamat – , tapi dengarkan suara hati , karena kata hati itu bisa menyelesaikan sebuah krisis. (Raymond Kaya/mar)

Raymond Kaya adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Komunikasi Unvirsitas Mercu Buana Jakarta,  Wartawan di Liputan 6 SCTV.

Mulai 18 November-29 November ini, Citizen6 mengadakan program menulis bertopik "Guruku Idolaku". Dapatkan merchandise menarik dari Liputan6.com bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.

Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.


Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya