Kasus dugaan malapraktik yang menimpa dr. Ayu terus bergulir. Hari ini, Senin (25/11/2013), salah satu koleganya, dr. Hendry Simanjuntak, ditangkap di Medan, Sumatera Utara dan dijebloskan di Rutan Malendeng, tempat di mana dr. Ayu dipenjara.
Berikut kronologis penangkapan dr. Hendry Simanjuntak, yang tim Health Liputan6.com dapatkan dari Persatuan Obstetri dan Ginekologi (POGI)
Dr. Hendry Simanjuntak mengatakan, Sabtu (23 November 2013) sekitar pukul 19:00 WIB, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumahnya. Ketika dibuka, betapa kagetnya ia, karena yang datang adalah aparat kepolisian bersenjata lengkap dan kejaksaan.
Menurut pengakuannya, aparat kepolisian yang datang ke rumahnya berpakaian biasa dan mengenakan topi, serta membawa senjata laras panjang.
"Tiba-tiba saja saya diciduk, ditarik. Mereka menuduh saya yang tidak-tidak. Padahal saya di dalam rumah dan tidak ada niatan untuk melarikan diri," kata dr. Hendry menceritakan.
Aksi aparat yang terkesan keras itu membuat sang kakek angkat bicara dan mengingatkan para aparat untuk tidak menggunakan kekerasan dalam proses penangkapan. Namun, omongan dari pria itu tidak digubris sama sekali, dan aparat itu malah menyeret baju, dan menarik dr. Hendry dari dalam rumahnya.
Bak seorang teroris yang begitu membahayakan, aparat kepolisian pun memborgol kedua tangan dr. Hendry dan memasukkannya secara paksa ke dalam mobil tahanan.
Begitu tiba di kejaksaan, surat putusan dibacakan. Namun, ketika dr. Hendry berusaha untuk menelepon kuasa hukumnya, tindakan tidak mengenakkan kembali diterimanya.
"Begitu saya mau telepon lawyer saya, telepon saya dirampas dari tangan saya. Saya tanya, 'Kenapa tidak boleh ditelepon? Itu hak saya. Itu sudah melanggar hak asasi manusia'," kata dr. Hendry kembali bercerita.
Menurut pihak kejaksaan, apa yang dilakukan pihaknya terhadap dr. Hendry merupakan prosedur yang harus dijalani. Berbagai usaha dilakukan dr. Hendry untuk dapat menelepon kuasa hukumnya. Tapi, semuanya dirasa percuma.
Sewaktu dibawa ke Kejari Medan, dr. Hendry masih dalam kondisi diborgol. Dan selama di perjalanan pula, pria itu merasa bahwa mobil kejaksaan yang ditumpanginya berjalan begitu cepat, tanpa menghiraukan orang yang berada di dalamnya.
"Sampai di Kejari Medan dalam tempo cepat. Sopirnya kayak orang kesurupan. Entah berapa kali mobil itu mau tabrakan," kata dr. Hendry lagi.
Setiba di Kejari Medan, aparat kepolisian yang membawa dr. Hendry tadi menyerahkan pria itu ke pihak kepolisian. Tanpa pemberitahuan yang jelas, tiba-tiba ia dimasukkan ke dalam ruang tahanan, masih dalam kedua tangan yang terborgol.
"Di ruang tahanan, dalam keadaan terborgol, saya merasa sedih, saya diperlakukan seperti teroris," kata dr. Hendry sedih.
Di dalam tahanan, dr. Hendry kembali memohon izin untuk dapat menelepon istri dan kuasa hukumnya. Lagi-lagi ia tak mendapatkan izin, karena alasan prosedur. "Dia bilang ke saya, 'Nanti bapak teleponnya bisa di bandara'. Tapi saya tahu, kalau itu bohong," kata dia lagi.
Tak tahan dengan perlakuan yang diterimanya, dr. Hendry berusaha untuk berontak, dan mengatakan ke penjaga ruang tahanan mengapa ia sampai diborgol seperti itu. Setelah mengatakan akan melaporkan kejadian ini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, barulah borgol yang ada ditangannya dilepas.
Setelah itu, dr. Hendry tak berhenti meminta izin untuk dapat menghubungi istri dan kuasa hukumnya. Setelah mengajukan protes, akhirnya keinginannya itu terwujud. Hanya saja, pihak kejaksaan mengizinkannya untuk menelepon sang istri, bukan kuasa hukumnya.
"Saya telepon istri saya, dan memberitahu kalau saya ditangkap. Saya minta tolong dia teleponin ketua POGI. Saya bilang, kalau saya di Kejari Manado, bawakan pakaian dalam saya," kata dr. Hendry lagi.
Setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, tibalah dr. Hendry di Manado. Tiba di sana sore hari, dan langsung dijebloskan ke dalam mobil tahanan, masih dalam keadaan kedeua tangan diborgol.
"Saya dikawal lengkap, dalam kondisi diborgol. Kejaksaan datang untuk mengeksekusi saya," katanya lagi.
Selama di pesawat, lanjut dr. Hendry, ia meminta agar borgol dilepaskan dan meyakinkan pihak polisi bahwa dia tak akan lari ke mana-mana.
Sewaktu tiba di Manado, Jaksa menanyakan kepadanya mengapa ia melarikan diri. Dengan lantang dr. Hendry mengatakan bahwa dia tidak melarikan diri sama sekali. Melainkan, ia menjalani dinas di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Medan.
"Saya tidak pernah melarikan diri. Saya di sini ke makam nenek saya, apa saya salah kalau berziarah? Mereka memperlakukan saya seperti teroris, dan menyeret saya tanpa tahu masalah apa yang terjadi," kata dr. Hendry emosi.
Ketika ditahan di Manado, pria itu kembali diborgol kedua tangannya. Dan selama di dalam tahanan, ia berusaha untuk membela dirinya, dan mengatakan bahwa ia bukanlah seorang teroris yang patut menerima tindakan seperti ini.
"Setelah saya beritahu ke pihak berwajib bahwa saya tertimpa tindakan pidana malapraktik, barulah ada perubahan sikap," katanya.
"Sikap aparat kepolisian ke saya sangat-sangat anarkis terhadap saya," kata dr. Hendry.
Merawat bunda
Ternyata, dr. Hendry pun pernah menghabiskan waktunya di Jakarta. Itu dilakukannya untuk merawat sang bunda yang tengah dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) karena sakit kanker.
"Saya juga katakan bahwa ibu saya sedang kritis, karena penyakit kanker. Benar saya di RSCM, karena merawat ibu saya yang sedang sakit kanker," kata dr. Hendry menegaskan.
Pernyataan dr. Hendry membuat Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) segera rapat bersama staf dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia untuk menyelesaikan masalah ini.
Di akhir perbincangan, dr. Hendry mengatakan bahwa dirinya merasa dianiaya karena perlakuan tak menyenangkan yang diterimanya. Sebab, polisi yang menangkapnya tidak tahu kalau dr. Hendry merupakan dokter, dan disangka seorang pemerkosa.
"Mereka menyeret, memborgol saya di depan keluarga saya. Padahal saat itu saya kooperatif, dan tidak ada perlawanan sama sekali. Mengapa saya diborgol? Saya tidak lari ke mana-mana," kata dr. Hendry lagi.
(Adt/Abd)
Berikut kronologis penangkapan dr. Hendry Simanjuntak, yang tim Health Liputan6.com dapatkan dari Persatuan Obstetri dan Ginekologi (POGI)
Dr. Hendry Simanjuntak mengatakan, Sabtu (23 November 2013) sekitar pukul 19:00 WIB, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumahnya. Ketika dibuka, betapa kagetnya ia, karena yang datang adalah aparat kepolisian bersenjata lengkap dan kejaksaan.
Menurut pengakuannya, aparat kepolisian yang datang ke rumahnya berpakaian biasa dan mengenakan topi, serta membawa senjata laras panjang.
"Tiba-tiba saja saya diciduk, ditarik. Mereka menuduh saya yang tidak-tidak. Padahal saya di dalam rumah dan tidak ada niatan untuk melarikan diri," kata dr. Hendry menceritakan.
Aksi aparat yang terkesan keras itu membuat sang kakek angkat bicara dan mengingatkan para aparat untuk tidak menggunakan kekerasan dalam proses penangkapan. Namun, omongan dari pria itu tidak digubris sama sekali, dan aparat itu malah menyeret baju, dan menarik dr. Hendry dari dalam rumahnya.
Bak seorang teroris yang begitu membahayakan, aparat kepolisian pun memborgol kedua tangan dr. Hendry dan memasukkannya secara paksa ke dalam mobil tahanan.
Begitu tiba di kejaksaan, surat putusan dibacakan. Namun, ketika dr. Hendry berusaha untuk menelepon kuasa hukumnya, tindakan tidak mengenakkan kembali diterimanya.
"Begitu saya mau telepon lawyer saya, telepon saya dirampas dari tangan saya. Saya tanya, 'Kenapa tidak boleh ditelepon? Itu hak saya. Itu sudah melanggar hak asasi manusia'," kata dr. Hendry kembali bercerita.
Menurut pihak kejaksaan, apa yang dilakukan pihaknya terhadap dr. Hendry merupakan prosedur yang harus dijalani. Berbagai usaha dilakukan dr. Hendry untuk dapat menelepon kuasa hukumnya. Tapi, semuanya dirasa percuma.
Sewaktu dibawa ke Kejari Medan, dr. Hendry masih dalam kondisi diborgol. Dan selama di perjalanan pula, pria itu merasa bahwa mobil kejaksaan yang ditumpanginya berjalan begitu cepat, tanpa menghiraukan orang yang berada di dalamnya.
"Sampai di Kejari Medan dalam tempo cepat. Sopirnya kayak orang kesurupan. Entah berapa kali mobil itu mau tabrakan," kata dr. Hendry lagi.
Setiba di Kejari Medan, aparat kepolisian yang membawa dr. Hendry tadi menyerahkan pria itu ke pihak kepolisian. Tanpa pemberitahuan yang jelas, tiba-tiba ia dimasukkan ke dalam ruang tahanan, masih dalam kedua tangan yang terborgol.
"Di ruang tahanan, dalam keadaan terborgol, saya merasa sedih, saya diperlakukan seperti teroris," kata dr. Hendry sedih.
Di dalam tahanan, dr. Hendry kembali memohon izin untuk dapat menelepon istri dan kuasa hukumnya. Lagi-lagi ia tak mendapatkan izin, karena alasan prosedur. "Dia bilang ke saya, 'Nanti bapak teleponnya bisa di bandara'. Tapi saya tahu, kalau itu bohong," kata dia lagi.
Tak tahan dengan perlakuan yang diterimanya, dr. Hendry berusaha untuk berontak, dan mengatakan ke penjaga ruang tahanan mengapa ia sampai diborgol seperti itu. Setelah mengatakan akan melaporkan kejadian ini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, barulah borgol yang ada ditangannya dilepas.
Setelah itu, dr. Hendry tak berhenti meminta izin untuk dapat menghubungi istri dan kuasa hukumnya. Setelah mengajukan protes, akhirnya keinginannya itu terwujud. Hanya saja, pihak kejaksaan mengizinkannya untuk menelepon sang istri, bukan kuasa hukumnya.
"Saya telepon istri saya, dan memberitahu kalau saya ditangkap. Saya minta tolong dia teleponin ketua POGI. Saya bilang, kalau saya di Kejari Manado, bawakan pakaian dalam saya," kata dr. Hendry lagi.
Setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, tibalah dr. Hendry di Manado. Tiba di sana sore hari, dan langsung dijebloskan ke dalam mobil tahanan, masih dalam keadaan kedeua tangan diborgol.
"Saya dikawal lengkap, dalam kondisi diborgol. Kejaksaan datang untuk mengeksekusi saya," katanya lagi.
Selama di pesawat, lanjut dr. Hendry, ia meminta agar borgol dilepaskan dan meyakinkan pihak polisi bahwa dia tak akan lari ke mana-mana.
Sewaktu tiba di Manado, Jaksa menanyakan kepadanya mengapa ia melarikan diri. Dengan lantang dr. Hendry mengatakan bahwa dia tidak melarikan diri sama sekali. Melainkan, ia menjalani dinas di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Medan.
"Saya tidak pernah melarikan diri. Saya di sini ke makam nenek saya, apa saya salah kalau berziarah? Mereka memperlakukan saya seperti teroris, dan menyeret saya tanpa tahu masalah apa yang terjadi," kata dr. Hendry emosi.
Ketika ditahan di Manado, pria itu kembali diborgol kedua tangannya. Dan selama di dalam tahanan, ia berusaha untuk membela dirinya, dan mengatakan bahwa ia bukanlah seorang teroris yang patut menerima tindakan seperti ini.
"Setelah saya beritahu ke pihak berwajib bahwa saya tertimpa tindakan pidana malapraktik, barulah ada perubahan sikap," katanya.
"Sikap aparat kepolisian ke saya sangat-sangat anarkis terhadap saya," kata dr. Hendry.
Merawat bunda
Ternyata, dr. Hendry pun pernah menghabiskan waktunya di Jakarta. Itu dilakukannya untuk merawat sang bunda yang tengah dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) karena sakit kanker.
"Saya juga katakan bahwa ibu saya sedang kritis, karena penyakit kanker. Benar saya di RSCM, karena merawat ibu saya yang sedang sakit kanker," kata dr. Hendry menegaskan.
Pernyataan dr. Hendry membuat Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) segera rapat bersama staf dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia untuk menyelesaikan masalah ini.
Di akhir perbincangan, dr. Hendry mengatakan bahwa dirinya merasa dianiaya karena perlakuan tak menyenangkan yang diterimanya. Sebab, polisi yang menangkapnya tidak tahu kalau dr. Hendry merupakan dokter, dan disangka seorang pemerkosa.
"Mereka menyeret, memborgol saya di depan keluarga saya. Padahal saat itu saya kooperatif, dan tidak ada perlawanan sama sekali. Mengapa saya diborgol? Saya tidak lari ke mana-mana," kata dr. Hendry lagi.
(Adt/Abd)